Chelsea benar-benar menyesali pengendalian dirinya yang lemah.
Wanita itu menghela napas berat. Dia berguling perlahan dari tempat tidur. Berusaha tidak menimbulkan suara dan gerakan berarti, Chelsea melompat ringan turun ranjang dan berjingkat-jingkat keluar kamar.
Dia sempat melapisi tubuh polosnya dengan piyama katun tebal. Kakinya yang beralas sandal rumah berbahan bulu tebal menapak hampir tanpa suara di lantai. Langkah Chelsea tertuju lurus ke arah ruangan terfavoritnya di rumah ini.
Dapur.
Bagian rumah yang seolah telah menyatu dengan jiwa dan raganya itu mampu memberi ketenangan batin bagi Chelsea. Berinteraksi dengan aneka peralatan dapur, bahan makanan mentah, panas kompor, dan aroma lezat makanan adalah ekstase kenikmatan yang telah menjadi candu bagi wanita itu sejak bertahun-tahun silam.
Namun, pagi ini Chelsea tidak membuat kue. Dia hanya menjerang air dan mulai meracik kopi favoritnya. Satu doppio pahit tanpa tambahan apa pun.
Saat semua bahan ritual paginya lengkap tersaji, kopi dan dua potong besar kue kismis oatmeal yang diambilnya dari toples persediaan, Chelsea lantas merenung di ambang jendela.
Setelah satu bulan penuh hidup selibat dan mencoba melupakan Glen, pada akhirnya dia kembali terjebak bersama pria itu di tempat tidur. Urusan ranjang memang selalu meluluhkan segala komitmen Chelsea untuk melenyapkan sosok Glen dari keping hidupnya.
"Pertahanan diriku memang sangat buruk," keluh wanita itu lirih.
Disesapnya satu teguk kecil kopi. Pandangan Chelsea menerawang ke bagian samping rumahnya. Daun maskel mulai berubah warna jadi merah indah menghiasi pagi musim gugur di Cacaote. Walau matahari sudah malu-malu muncul, penampakan ngengat masih juga berkeliaran di sekitar halaman dan mengancam mulut-mulut pengunjung bakerinya.
"Kamu seperti lalat musim panas, Glen." Wanita itu bergumam. "Diusir pergi pun tetap saja datang kembali."
"Jadi, kamu samain aku dengan lalat?"
Chelsea seketika terlonjak kaget. Cangkir kopi kecilnya hampir saja tergelincir dari genggaman.
"Astaga, selain lalat kamu juga hantu." Chelsea mengomel. Dia meraih selembar tisu dapur dan mengepel tumpahan kopi di konter.
"Jahat sekali menyamakan aku dengan hewan." Glen protes. "Mana toples kuenya?"
"Di samping kulkas, di atas konter dapur. Ada rak mini warna putih. Toplesnya di rak deret kedua, yang bening."
Glen menatap Chelsea setidaknya tujuh detik penuh dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana wanita itu mampu mengingat detail dengan sangat baik. Namun, akhirnya dia mengangkat bahu.
Chelsea seorang chef pastry. Sudah menjadi tugasnya untuk memperhatikan detail dengan baik. Apalagi aneka kudapan yang dibuat oleh tangan dingin wanita itu memang berukuran kecil-kecil, tetapi menuntut keindahan hingga titik sempurna.
Saat berhasil menemukan kepingan kue kismis oatmeal yang sama dengan yang digigit wanitanya, Glen kembali bergabung dengan Chelsea di samping jendela dapur. Satu tangannya meraih pinggang ramping wanita itu, sementara tangan satunya sibuk memindahkan isi toples ke dalam perut.
"Aku kehilanganmu di tempat tidur," aku Glen dengan nada tidak senang.
"Selamat datang di rumahku kalau begitu." Chelsea menjawab santai.
Glen melirik wanita di pelukannya. Chelsea yang polos tanpa make up, dengan rambut digelung seadanya ke atas, dan memakai piyama yang sengaja kedodoran karena tiga kancing teratas tidak ditutup benar-benar terlihat menggairahkan bagi pria itu.
Dan hasrat Glen kembali terpacu. Momen saat masa pacaran mereka bertahun-tahun silam kembali terbentang di depan mata. Wanitanya tidak pernah menolak keintiman yang selalu Glen tawarkan. Aktivitas mereka di atas ranjang adalah salah satu hal membahagiakan yang akan selalu dikenang oleh pria itu.
"Kamu berubah sekarang," tuduh Glen.
Chelsea mengangkat bahu. "Hidup harus terus berubah, bukan?"
"Tapi kamu terlalu drastis." Kening Glen berkerut.
Chelsea mengangkat bahu. "Benarkah?"
Wanita itu menjauh dari Glen. Masa perenungan sudah usai. Sekarang waktunya kembali ke dunia nyata.
Itu artinya tidak ada tempat bagi mereka berdua untuk saling memantik romansa. Chelsea harus segera membuka kafe agar rekeningnya tidak kering.
"Kau harus pergi dari sini." Wanita itu berkata dengan aksen Australia yang kental.
"Chels ...."
"Sebentar lagi pegawaiku datang. Aku tak mau terlihat seperti orang yang sedang berkencan."
Glen masih belum putus asa. Pertanyaannya bernada mendesak.
"Apa karena ada orang lain?"
Alis Chelsea terangkat tinggi. "Orang lain apa?"
"Yah, kamu tak terlihat suka bersamaku."
Chelsea menghela napas berat. Dia sudah kewalahan mengatasi perasaannya yang terombang-ambing. Kini Glen semakin memperparahnya dengan bertanya akan hubungan percintaan Chelsea yang sedang kering kerontang.
"Tak ada orang lain," kata Chelsea mencoba bernada dingin. "Hanya ada aku dan Cacaote."
Pernyataan itu sudah cukup jelas. Chelsea sedang tidak berminat pada manusia. Fokusnya hanya tertuju pada kafe tempatnya mencari uang saat ini.
"Berarti aku masih punya kesempatan."
"Glen, jangan." Chelsea menggelengkan kepala. "Jangan pernah mencoba mengulang masa lalu kita."
"Kenapa? Aku lajang dan kamu lajang. Beres."
Kepala Chelsea kembali menggeleng-geleng keras. Bibir ranum wanita itu mengerucut.
"Kata siapa kau lajang?" Chelsea menelengkan kepala. "Tomi sudah cerita banyak hal padaku. Keluargamu termasuk tipikal yang tidak bisa dibantah dan ditolak. Itu artinya kehendak keluargamu adalah mutlak."
Chelsea meletakkan cangkir kopinya di wastafel. Dia membilas sampai bersih seraya berkata pada Glen.
"Dan jelas kehendak keluargamu adalah Mita, bukan aku."
"Chels ...."
"Sudahlah, Glen. Peristiwa semalam anggaplah hanya kesembronoan kita semata." Chelsea mengeringkan tangan dengan lap.
Dia perlu mandi dan menyegarkan diri. Wanita itu berharap kucuran air shower juga akan mendinginkan kepalanya yang mulai berasap.
Kalau bisa, sekalian saja mendinginkan hasratnya yang menggebu-gebu pada pria ini. Chelsea terbukti memang belum bisa melupakan Glen. Move on adalah hal terabsurd yang dianggapnya pernah ada, tetapi ternyata hanya bayangan semu semata.
"Enak saja kamu bilang kesembronoan." Glen menolak keras.
"Jangan memperumit masalah. Sudah jelas kau datang ke negara ini tanpa izin orang tuamu. Bukankah semalam kau mencoba kabur dari para pengawal yang sedang mengejarmu?"
Glen gemas sendiri. Tangannya gatal ingin mengguncang-guncang kepala wanita yang berdiri dua meter di hadapannya. Glen ingin Chelsea tahu jika dirinya tidak menyerah pada wanita itu.
"Justru karena itulah aku tidak ingin melepasmu." Glen menggeram gusar. "Aku sudah berjuang keras tiba di tempatmu. Enak saja kalau aku disuruh berhenti sekarang."
Sepasang alis Chelsea bertaut. Sorot mata wanita itu penuh dengan pertanyaan. Dia mencoba tidak terdistraksi oleh perkataan Glen, meski hatinya sudah jumpalitan tidak karuan dengan kalimat demi kalimat yang ujungnya sudah bisa Chelsea tebak.
"Aku ingin kembali padamu, Chels."
Terucapkan sudah.
Chelsea menjilat bibir yang mendadak kering. Dia menelan ludah. Sungguh, seandainya dirinya setransparan kaca kafe di depan niscaya Glen sudah bisa melihat kembang api yang meledak di hatinya.
Ini adalah hal yang diharapkan wanita itu sejak lama. Chelsea tidak munafik bila dirinya juga menginginkan Glen. Namun, Chelsea cukup waras untuk tahu apa yang sedang dihadapinya saat ini.
Glen mungkin ingin berjuang bersamanya lagi. Namun, keputusan pria itu untuk meninggalkannya empat tahun lalu, kemudian fakta jika pria itu ternyata sudah bertunangan, membuat Chelsea jadi galau.
Dia tidak ingin merusak hubungan siapa pun. Mulut Glen memang bicara jika pertunangannya dengan Mita sudah dibatalkan. Namun, firasat Chelsea tidak berkata seperti itu.
"Pulang saja, Glen."
Chelsea melihat ekspresi Glen berubah setelah mendengar perintahnya. Hati Chelsea tersengat nyeri.
"Kita sudah bahagia dengan hidup kita masing-masing. Tolong, jangan memperumit masalah. Aku tidak ingin memancing permusuhan dengan siapa pun."
"Siapa yang kamu takuti?" Glen berderap menghampiri wanitanya. "Katakan padaku, Chels. Aku berjanji akan melindungimu—"
"Tidak." Chelsea menggelengkan kepala. "Aku bisa melindungi diriku sendiri. Itulah yang aku lakukan selama empat tahun ini."
"Chels—"
"Oh, maaf. Sepertinya aku mengganggu."
Dua kepala menoleh bersamaan. Tampak Diane terbelalak melihat ke arah pasangan yang tengah berdiri berhadapan di depan wastafel cuci piring.
"Chels, kau sudah kenal dengan pegawai baru kita?" tanya Diane dengan nada bingung.