webnovel

Tuntutan Orang Tua yang Membebani Anak-anaknya (3)

Di malam hari di rumah Andre, papanya sedang marah besar saat ini. Andre tidak henti-hentinya mendapatkan omelan dari papanya. Andre hanya bisa terdiam dan menerima semua omelan itu dengan tidak ikhlas.

"Kamu udah buat malu papa, Andre! Kamu seharusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk orang lain. Gimana reputasi papa setelah ini? Kamu sengaja mau buat papa malu? Dan karena perbuatan kamu yang nggak berguna itu, papa harus ganti rugi puluhan juta. Walaupun papa bisa bayar itu semua, kamu pikir gampang cari duit?" Papa Andre mengusap wajahnya dengan gusar.

"Perbuatan kamu ini udah kelewatan banget. Sebagai hukuman, nggak Cuma uang jajan kamu yang papa potong. Semua akses kamu papa batasi. Mulai sekarang, kamu diantar jemput pak Hendra dan kamu akan selalu diawasi dia. Pulang sekolah langsung pulang, pulang bimbel langsung pulang. Nggak ada acara main sana-sini."

Andre yang awalnya hanya mendengarkan, segera bangkit dari duduknya, ia sangat tidak percaya papanya membatasi semua kegiatannya. "Papa nggak bisa gitu dong!" Ucap Andre dengan nada tinggi.

"Pa, kamu berlebihan itu namanya. Mama nggak setuju," mama Andre sangat tidak menyetujui keputusan suaminya itu. Anaknya sudah besar dan tidak seharusnya semua gerak-geriknya dibatasi seperti ini. Anaknya juga membutuhkan kebebasan. Mama Andre bukannya membenarkan perbuatan anaknya yang sangat merugikan itu, hanya saja hukuman ini sangat berlebihan menurutnya.

Andre yang menyadari nada bicaranya yang meninggi, segera menolehkan kepalanya ke arah mamanya. Pandangannya bukan ke mamanya, melainkan kepada adik perempuannya yang ada di belakang mamanya. Adiknya itu sangat ketakutan saat melihat Andre yang berteriak karena selama ini kakaknya tidak pernah seperti itu. Ia juga merasa sedih karena papanya menghukum kakaknya.

Andre segera menyuruh adiknya untuk ke kamarnya melalui gerakan isyarat matanya. Ia tidak akan membiarkan adiknya melihat kejadian saat ini dan yang akan terjadi beberapa saat lagi. Adiknya itu pun menurut dan masuk ke dalam kamarnya. Sebelum masuk ke kamarnya, Andre dapat melihat setetes air mata lolos begitu saja dari mata adiknya itu. Dan hal itu sangat menyakiti hatinya.

"Mama jangan terlalu manjain dia. Andre harus dikasih hukuman biar dia jera. Kita nggak bisa biarin dia sebebas itu. Gimana kalo malah jadi berandalan nantinya. Bahkan sekarang ini dia udah jadi berandalan." Ucap papa Andre.

"Papa pikir dengan kekang aku, semua bakalan baik-baik aja? Papa nggak bisa langsung hukum aku gini. Pas ngehukum aja papa paling gampang, giliran untuk apresiasi apa yang udah aku capai, papa paling lama dan nggak mau tau. Papa Cuma mikirin reputasi papa tanpa mikirin anak papa. Aku, nggak pernah sedikitpun dapat perhatian dari papa. Papa nggak pernah mau tau gimana aku belajar, gimana kegiatan aku di sekolah, aku bahagia atau engga."

"Asal papa tau aja, aku ini terbebani sama tuntutan papa itu. Aku juga mau bebas, nikmati masa remaja aku. Apa nggak boleh?" Andre menjeda ucapannya sebentar. Dan sebelum papanya berbicara, ia melanjutkan. "Aku ngelakuin hal itu juga karena ulah mantan kepala sekolah itu. Aku masih nggak terima kak Angga mati karena dia. Kenapa sih Cuma hukum penjara yang di dapat? Kenapa nggak dibayar pakai nyawa aja–"

"Cukup Andre! Kamu nggak boleh seperti itu. Itukan kejadian yang nggak disengaja. Lagian, kepala sekolah itu juga udah nerima hukumannya. Stop jadi pendendam, itu bisa ngerugiin kamu."

Andre mendengus setelah mendengar ucapan papanya. "Papa emang nggak ngerti perasaan aku ya. Apa papa sebenernya emang nggak peduli sama kak Angga?" Suara Andre terdengar sangat tenang, tetapi seperti terdapat ribuan luka pada kalimatnya tersebut. Andre yang sedang berdiri di hadapan papanya, mengetukkan kakinya ke lantai tiga kali sambil menunduk. Kemudian ia berucap, "Yang harus papa tau, papa juga salah satu pembunuh kak Angga disini."

Papa Andre sangat tidak mengerti maksud dari perkataan anaknya itu. Ia menatap anaknya dengan tidak percaya.

Andre mengangkat kepalanya, ia menatap papanya yang terdiam dengan wajah penuh tanda tanya. "Kak Angga ngamuk waktu itu karena dia depresi. Aku tau ini setelah seminggu kak Angga meninggal." Andre membuka tas sekolahnya yang terletak di sofa dan mengambil sebuah kertas dari tas tersebut. Ia meletakkan kertas tersebut di atas meja.

"Kak Angga diam-diam konsultasi ke psikiater dan dia didiagnosa terserang depresi. Papa tau apa penyebab kak Angga depresi? Dia depresi karena papa! Sama kayak aku, papa juga selalu tuntut kak Angga jadi sempurna. Papa selalu batasi apa yang dia lakukan. Bahkan, untuk kebahagiaan dan impiannya sendiri aja papa yang ngatur. Papa nggak pernah kasih kami kebebasan untuk memilih tujuan hidup kami. Kami nggak bisa selalu turutin semua permintaan papa." Andre mengucapkan kalimatnya tersebut dengan nada tinggi hingga urat-urat lehernya terlihat dengan jelas.

Mata Andre memerah karena menahan tangisnya dan dengan sekuat tenaga untuk tidak terlihat lemah. Andre mengeluarkan semua yang dia rasakan selama ini. Di masa remaja yang harusnya bisa berekspresi dengan bebas, Andre malah kebalikannya. Karena papanya yang seorang politikus dan selalu menjaga reputasinya, ia dituntut untuk menjadi sempurna, anak yang patut diteladani dan tidak boleh sedikitpun membuat kesalahan. Dan Andre melakukan itu semua, ia selalu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan yang selalu diteladani banyak orang. Maka dari itu, banyak pula para orang tua yang membandingkan anaknya dengan Andre, kemudian menuntut anaknya untuk menjadi seperti Andre.

Padahal, Andre sama dengan anak yang lainnya. Ia juga mempunyai sisi liar di dalam dirinya. Hanya saja, semua itu tertutupi dengan penampilan baiknya. Andre seperti sebuah gunung yang sudah tidak aktif lagi, tetapi sewaktu-waktu bisa meledak dengan dahsyat. Dan saat inilah meledaknya, tidak tanggung-tanggung. Tanpa memedulikan apapun lagi, Andre langsung pergi dari rumahnya entah kemana. Bahkan, ia mengabaikan mamanya yang mencegahnya untuk pergi.

Papanya menatap kepergian Andre dengan linglung, seolah berusaha mencerna semua yang terjadi. Papa Andre mengambil kertas yang ada di atas meja tersebut dan membacanya. Jantungnya seperti dihujam ratusan bahkan ribuan pisau yang sangat tajam. Sakit sekali. Ia tidak tahu jika akhirnya akan seperti ini, ia tidak tahu bahwa perbuatannya ini menyiksa anaknya. Padahal, ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

Andai saja ia tidak terlalu menuntut anak-anaknya ini dan itu, Angga pasti tidak akan depresi. Angga tidak akan mengamuk di hari itu. Dan Angga tidak akan pergi meninggalkan mereka secepat ini. Andai saja ia memberikan sedikit kebebasan kepada anak-anaknya dan Angga masih hidup sampai saat ini, Andre tidak akan menjadi pendendam. Dan Andre tidak akan menjadi pembuat onar seperti ini.

Ia hanya bisa berandai-andai sekarang ini. Nasi sudah menjadi bubur. Waktu tidak dapat diulang kembali hanya untuk mengubah semua yang sudah terjadi.

Tangis mama Andre pecah setelah melihat isi kertas yang berasal dari rumah sakit itu. Luka lama di hatinya itu memberontak dan berhasil keluar ke permukaan. Sementara adik Andre yang saat ini berada di dalam kamar, menangis dalam diamnya. Ia mendengarkan semua yang dibicarakan kakak dan kedua orang tuanya itu. Ia duduk dengan memeluk lutut dan membenamkan wajahnya untuk sedikit meredam tangisnya. Saat mengetahui bahwa kakaknya pergi, ia segera berlari keluar kamar. Ia berlari berusaha mengejar kakaknya yang sudah pergi. Tetapi usahanya sia-sia, kakinya tidak mampu mengejar motor kakaknya yang melaju dengan sangat cepat.