webnovel

Tuntutan Orang Tua yang Membebani Anak-anaknya (1)

Keesokan harinya, Brian berjalan di koridor sekolah dengan langkah tegas. Wajahnya masih dipenuhi amarah dari kemarin. Sesampainya di kelas, ia langsung menghampiri orang yang dicari sekaligus penyebab kemarahannya ini. Brian menarik kerah baju Andre dan langsung melayangkan pukulannya ke wajah Andre. Andre yang tersungkur keluar kelas akibat pukulan dari Brian, segera bangkit dan membalas Brian.

"Lo gila ya?! Maksud lo apa ngancurin tempat latihan kami hah?! Kurang ajar!" Brian terus saja menghujani Andre dengan pukulannya. Mulut Andre mengeluarkan darah akibat pukulan tersebut. Bukannya marah, Andre malah menertawakan Brian. Ia meludahkan darah di mulutnya.

"Gimana? Sedih? Marah? Itu belum seberapa. Mau lihat lagi?" Andre masih terus memprovokasi Brian. Membuat Brian marah adalah tujuannya.

"Dasar kurang ajar!" Brian memukul Andre lagi. Sekarang, Andre membalas pukulan Brian secara bertubi-tubi. Tidak dapat dihindari lagi, wajah Brian sekarang pun tidak sama buruknya dengan wajah Andre. Penuh luka dan darah. Para murid yang mengelilingi mereka hanya bisa mematung dan melihat perkelahian keduanya.

Salah seorang dari para murid yang menonton itu, berlari secepat kilat ke ruang guru dan melaporkan kejadian ini kepada guru mereka. Wajah guru BK menjadi sangat hitam saat mendengar hal tersebut. Beliau berjalan ke tempat Brian dan Andre berkelahi.

Sesampainya di kelas 12 IPA 2, beliau langsung berteriak dengan marah, "Kalian berdua, ikut bapak sekarang!"

Kedua orang yang sedang berkelahi itu, menghentikan aksi mereka dan saling menatap satu sama lain. Lalu dengan malas, mereka menurut kepada guru tersebut dan mengikutinya. Mereka berdua disuruh untuk mengobati luka yang sangat mengerikan itu.

Dokter sekolah yang saat ini menangani mereka hanya bisa memijat kepalanya yang berdenyut karena melihat kondisi wajah yang mengerikan itu. Bahkan seragam sekolah yang mereka kenakan, terdapat bercak darah yang keluar dari mulut mereka. Setelah selesai diobati, Brian dan Andre segera menuju ke kantor kepala sekolah. Benar, bukan ruang BK lagi, melainkan kantor kepala sekolah!

Di sana, sudah ada guru BK, wali kelas, dan kepala sekolah. Brian dan Andre duduk bersebelahan sesuai perintah wali kelasnya.

"Kalian ini anak sekolah atau preman?" Ucap Pak Anton yang sedang berusaha menahan emosinya karena saat ini ada kepala sekolah di hadapannya. Kepala sekolah sudah mempersilakan pak Anton untuk berbicara ataupun memarahi muridnya tersebut. Walaupun mungkin akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Ah, tapi akan lebih parah jika tidak masuk ke telinga sama sekali.

"Kenapa lagi kalian berantem? Ada masalah apa lagi?" Tanya kepala sekolah dengan suara tenang.

"Andre ngerusak semua alat musik di tempat kami biasa latihan, pak." Jawab Brian.

Pak Anton menghela napasnya sebelum memulai pembicaraan yang panjang. "Kalian ini kapan berhenti musuhannya? Nggak capek? Saya aja capek ngelihat kalian berantem terus. Andre, kamu ketua kelas, seharusnya kamu bisa menjadi teladan yang baik untuk teman-teman kamu. Saya tau kamu memang murid yang patut diteladani, tetapi kenapa setiap berantem sama Andre malah begini? Apa sepertinya predikat ketua kelas terbaik yang kami berikan ke kamu itu sia-sia?" Kalimat terakhir pak Anton lebih ke pernyataan dibanding pertanyaan.

"Atas dasar apa kamu melakukan perbuatan tidak terpuji itu?" Tanya kepala sekolah.

Wali kelas mereka hanya diam. Dia akan kesulitan bicara di kondisi seperti ini. Untuk alasan Andre melakukan hal tersebut, wali kelasnya juga tahu alasannya. Wali kelas menganggap anak didiknya sudah seperti anaknya sendiri. Dia adalah tempat anak didiknya mencurahkan isi hati mereka. Dia tahu masalah apa yang menimpa Andre, entah itu tentang keluarganya ataupun masalah yang lain. Sangat tahu.

Bisa dibilang, perbuatan Andre ini didasari oleh kemarahan dan kebencian yang mendalam. Baik itu kepada Brian, keluarganya, atau bahkan dirinya sendiri.

"Maaf jika terdengar kurang ajar, pak. Tetapi saya rasa, bapak sudah tau alasannya. Bahkan mungkin semua orang sudah tau alasannya." Nada bicara Andre terdengar sangat tenang seolah dia tidak ada urusannya dengan masalah yang terjadi ini. Cara dia berbicara tidak terdengar seperti anak yang kurang ajar, karena dia masih tahu sopan santun berbicara kepada guru. Terlepas dari permasalahan dan permusuhannya dengan Brian, sikap yang dimiliki Andre memang patut dicontoh. Sungguh. Dia memiliki tata krama yang sangat baik. Hanya saja, jika sudah menyangkut permusuhannya dengan Brian, seolah semuanya menguap begitu saja dan tidak tersisa sedikit pun tata krama.

Kepala sekolahnya juga jelas tahu alasan Andre apa. Sudah pasti karena kejadian hampir 2 tahun yang lalu itu.

"Andre, kalau kamu memang masih marah atas kejadian itu, tidak seharusnya kamu berbuat seperti ini. Kamu harusnya tau, yang rugi bukan Cuma Brian, tetapi diri kamu sendiri juga rugi. Karena kelakuanmu ini, sudah pasti kamu harus ganti semua kerugiannya. Kerugian yang di dapat Brian dan teman-temannya itu sangat mahal pastinya. Walaupun kamu mampu ganti rugi, jangan seperti ini." Kemarahan di hati pak Anton sedikit demi sedikit sudah berkurang. Nada bicaranya pun sudah terdengar lebih tenang lagi.

"Kamu juga Brian. Apa nggak bisa bicarain baik-baik? Saya tau kamu marah, tapi apa dengan berantem bisa nyelesaiin semua masalah? Engga 'kan? Kamu sudah berulang kali dinasihati untuk nggak selalu kebawa emosi, tapi tetap aja kamu lebih mentingin emosi kamu. Kalian ini sudah di tahap masuk ke usia dewasa. Umur 18 tahun itu sudah berjalan ke usia dewasa. Seharusnya kalian harus lebih menggunakan akal daripada emosi saat menyelesaikan masalah." Lanjut pak Anton.

"Saya bingung harus memberi kalian hukuman yang seperti apa. Saya juga tidak akan memberikan skorsing kepada kalian. Saya percaya kalian akan tetap belajar di rumah selama masa skorsing, hanya saja saya tidak yakin kalian akan merenungkan kesalahan kalian. Karena tidak sekali dua kali kalian bertengkar. Sering, sudah jadi langganan BK kalian ini. Saya benar-benar bingung sekarang. Apalagi kalian sudah mau lulus, waktu kalian di sekolah ini tidak lebih dari sebulan lagi." Kepala sekolah menatap Brian dan Andre secara saksama seolah ingin mengetahui apa yang ada di pikiran muridnya itu. Beliau memijat kepalanya pelan kemudian melanjutkan.

"Andre, lencana ketua kelas terbaik kamu saya tarik. Bukannya saya ingin melupakan kebaikan kamu yang banyak itu hanya karena kesalahan fatal yang satu ini. Tetapi menurut saya, ini hukuman untuk kamu."

Ini benar-benar sebuah hukuman untuk Andre. Terang saja, setelah kepala sekolah mengucapkan hal tersebut, wajah Andre sedikit pucat dan memohon di dalam hati agar lencananya tidak ditarik. Andre selalu mendapatkan lencana itu di setiap tahunnya. Kepala sekolah benar-benar mengapresiasi kerja keras para ketua kelas dan akan memberikan lencana kepada yang berhak menerimanya.