webnovel

Penyembuh dari Rasa Sakitnya adalah Orang Tuanya Sendiri (1)

Sementara itu, di jam yang sama dengan tempat yang berbeda. Mikha mematut dirinya di depan cermin. Ia terlihat sangat cantik dan anggun dengan blouse merah serta rok mini berwarna hitamnya. Wajahnya menampakkan raut bahagia. Pasalnya, malam ini mamanya mengajak Mikha dinner bersama. Tetapi hanya mereka berdua saja, karena papanya sedang berada di Singapura untuk mengurus pekerjaannya.

Mikha mengambil tasnya yang terletak di meja dan memakainya. Sebelum dinner, mamanya mengatakan bahwa mereka akan ke suatu tempat. Saat ini Mikha terdiam sesaat dan berpikir tempat apa yang dimaksud mamanya. Mikha mengedikkan bahunya dan berjalan keluar kamar.

Mama Mikha tersenyum saat melihat anaknya keluar dari kamar dengan wajah gembira. Ia menggandeng tangan Mikha dan berjalan keluar rumah. Di dalam mobil, Mikha hanya diam sambil sesekali tersenyum. Ia menikmati pemandangan malam kota. Begitu pula dengan mamanya yang saat ini juga diam dan fokus menyetir.

Jujur saja, setelah bertemu Bu Clara dan mengetahui tentang kondisi anaknya tersebut, beliau merasa sangat terguncang. Kepalanya dipenuhi pikiran negatif tentang bagaimana kondisi Mikha kedepannya yang tentu saja membuatnya merasa takut. Jadi, sebelum terjadi sesuatu yang lebih parah lagi, beliau memutuskan mengikuti saran Bu Clara untuk membawa Mikha ke psikiater. Ia langsung membuat janji kepada psikiater setelah bertemu dengan Bu Clara.

Saat mobil berhenti di rumah sakit, Mikha menatap mamanya dengan penuh tanda tanya. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ke sebuah ruangan di lantai 2. Sebelum memasuki ruangan tersebut, mama Mikha menatap anaknya lalu berkata.

"Mikha, kamu jangan tegang ya. Di sini kita cuma konsultasi aja kok. Kamu cukup jawab apapun yang ditanyakan psikiater dengan jujur."

Mikha terdiam sebentar, kemudian mengangguk dengan patuh. Ia masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh sang psikiater. Jika dilihat-lihat, psikiater ini masih muda dan sangat cantik. Mikha sangat kagum dengan psikiater tersebut, seolah ia datang dari surga. Padahal, Mikha belum pernah sekalipun melihat bagaimana wajah wanita di surga.

Mereka berbincang ini dan itu dengan sangat lancar tanpa adanya hambatan apapun, karena Mikha selalu menanggapi dengan santai dan menjawab jujur pertanyaan apapun yang diberikan. Ia menceritakan semua tentang kondisinya, mulai dari sekolahnya, teman-temannya, kisah cintanya, bahkan tentang ia di keluarganya sesuai dengan permintaan psikiater. Mikha memang anak yang patuh.

Mikha tahu apa itu psikiater, tetapi saat ini ia seperti melupakan segalanya dan menceritakan banyak hal tanpa rasa takut. Padahal, sebelumnya Mikha sedikit takut terhadap psikiater.

Setelah selesai konsultasi, kini giliran mama Mikha yang datang menemui psikiater untuk mendengarkan semua hal terkait dengan kondisi anaknya tersebut.

"Secara umum, ketika suatu bentuk tekanan mental dialami tubuh sebagai bentuk gejala fisik, kondisi tersebut disebut sebagai gejala psikosomatis. Psikosomatis sebenarnya tidak selalu merupakan penyakit serius yang butuh penanganan khusus. Seringkali ini hanyalah sebuah fenomena yang membuktikan bahwa memang selalu ada keterkaitan antara kondisi fisik dan psikis seseorang, dimana gangguan fisik bisa berpengaruh ke psikis dan sebaliknya. Demikian pula yang terjadi pada Mikha, tekanan mental hebat yang Mikha alami kemudian diartikan tubuhnya dalam bentuk sakit kepala. Meski belum tentu merupakan suatu penyakit, ini bukan keadaan yang bisa dianggap remeh. Dalam jangka waktu lama, bisa saja kemudian terjadi penurunan daya tahan tubuh, menjadi salah satu faktor pemicu depresi."

Psikiater tersebut berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pembicaraan. "Untuk itu, maka Mikha harus menjalani terapi rutin sebagai penyembuhannya. Selain itu, saya harap Anda tidak lagi memberikan tekanan pada Mikha dalam bentuk apapun itu. Di masa-masa sekarang, Mikha membutuhkan dukungan, apalagi sebentar lagi ia harus mengikuti ujian akhir. Setidaknya, ia harus merasa bahagia."

Cukup, penjelasan psikiater itu sudah cukup. Cukup membuat mama Mikha semakin menyadari kesalahannya. Ia tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Padahal, ia hanya ingin yang terbaik untuk Mikha. Agar masa depannya cerah. Kalian tahu? Setiap orang tua memang selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Dan mama Mikha termasuk salah satunya. Tetapi, cara yang ia lakukan disini salah. Jika memang ingin Mikha menjadi anak yang terbaik, dibandingkan dengan ancaman dan tuntutan yang berlebihan, bukankah sebaiknya ia memberikan motivasi kepada Mikha? Menurutku seperti itu.

Setelah dari rumah sakit, mereka akan pergi dinner di restoran Jepang yang menjadi tempat favorit Mikha. Jaraknya dari rumah sakit hanya memakan waktu 15 menit. Di dalam mobil, Mikha terus terdiam sambil menatap ke arah jendela mobil. Ia masih terus mengingat apa yang dikatakan psikiater tadi.

"Sikap yang tidak tepat dibalik orang tua kamu yang menginginkan kamu menjadi yang terbaik, ada kekhawatiran bahwa kamu akan mendapatkan hidup yang sulit bila kamu tidak demikian. Maka Mikha pahami dulu niat baik orang tua kamu, dan coba sikapi lebih bijak, misalnya dengan tetap belajar sesuai kemampuan kamu dan jangan terlalu masukkan ke hati kritikan orang tua. Kalaupun kamu kemudian dihukum, carilah cara untuk kamu bisa menjalani hukuman tersebut dengan nyaman. Mikha mengerti 'kan?"

Mikha paham. Sangat paham bahwa mamanya mengkhawatirkannya, dan ia juga setuju pada beberapa saran yang diberikan psikiater. Hanya saja, menjalani hukuman dengan nyaman? Apa maksudnya itu? Hukuman seperti apa yang bisa dijalani dengan nyaman? Hukuman yang Mikha terima itu berupa dikurung di kamar, dan itu bisa sampai berhari-hari. Ditekankan sekali lagi, berhari-hari. Bisakah Mikha nyaman dengan itu?

Tangan Mikha mengepal hingga buku-bukunya memutih. Ia sangat kesal, tetapi hanya sesaat. Alasannya karena mamanya hari ini sangat perhatian padanya. Bukan berarti biasanya tidak, tetapi hari ini benar-benar berbeda!

Mereka tiba di restoran yang dituju. Mikha memesan beberapa makanan khas Jepang kesukaannya. Ia duduk dengan diam sambil memperhatikan dekorasi restoran ini. Sepertinya tempat ini banyak berubah. Mikha ingat terakhir kali ia datang kesini adalah setahun yang lalu. Padahal restoran ini adalah tempat favoritnya, bagaimana mungkin bisa ia jarang kesini?

"Mikha..." Mama Mikha memanggilnya dengan suara yang lembut sambil memegang telapak tangan anaknya. Mikha yang awalnya sedang tidak fokus, segera memusatkan perhatiannya kepada mamanya. Ia menatap mamanya dengan pandangan bertanya-tanya sambil tersenyum

"Mama minta maaf ya. Maaf karena sikap mama udah keterlaluan sama kamu." Mikha tertegun mendengar permintaan maaf mamanya. Mama Mikha yang tadinya duduk di hadapan putrinya, kini telah berpindah tempat ke sampingnya.

Mikha memutar tubuhnya ke arah sebelah kiri dan menatap mamanya yang sedang memegang kedua bahunya. "Mama nggak bermaksud untuk buat kamu merasa terbebani. Mama Cuma mau yang terbaik untuk kamu. Maaf karena cara mama selama ini salah. Maaf."

Air mata mama Mikha tidak dapat tertahan lagi, ia menangis tersedu-sedu di hadapan putrinya. Melihat mamanya menangis, Mikha pun ikut menangis dan memeluk mamanya itu. "Engga, Ma. Mikha gapapa kok. Walaupun selama ini Mikha juga ngerasa capek. Tapi beneran gapapa Ma. Mama jangan minta maaf gini, jangan nangis, Ma."

Mereka berpelukan sambil menangis selama beberapa saat. Setelah dirasa cukup, mama Mikha melepas pelukannya dan menghapus air mata yang menggenang di wajah putrinya.

"Mulai sekarang, mama nggak akan nuntut kamu ini dan itu. Apapun yang kamu lakukan, asal itu sesuatu yang bersifat positif, mama bakalan dukung kamu. Dan kalaupun kamu nggak lulus di Stanford, mama juga nggak bakalan marah. Mama Cuma mau kamu bahagia, ya."

Mikha mengangguk sambil tersenyum, kemudian berkata. "Iya, Ma."

Tepat setelah Mikha berbicara, makanan yang mereka pesan telah datang. Mikha memakan makanannya dengan antusias. Ia tidak menyangka bahwa penyembuh rasa sakit yang diciptakan mamanya adalah mamanya sendiri. Seluruh beban hati dan pikirannya telah pergi bersamaan dengan air mata yang menetes.