Brakk
Suara pintu mengagetkan Dimas dan Andini, seketika itu juga Andini mendorong Dimas untuk menjauh dari tubuhnya. Kiran yang semula ingin melihat keadaan Andini sontak terperangah melihat sosok yang berdiri di hadapannya saat ini, ia seolah kehabisan kata-kata.
"Dimas?" Kiran seperti melihat hantu saat bertatapan dengan Dimas. Dimas langsung menatap kesal ke arah Kiran.
"Aku akan kembali lagi nanti." ucap Dimas, wajahnya terlihat menahan emosi. Ia melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan tersebut, saat kemudian ia berdiri bersebelahan dengan Kiran langkah Dimas tiba-tiba terhenti.
"Kau bilang, kau sudah tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi sepertinya kau hanya mencoba membohongiku." kata Dimas lirih, Kiran tertegun ia bahkan tidak berani menyanggah ucapan Dimas. Saat kemudian Kiran merasa yakin Dimas sudah pergi, ia langsung berlari ke arah Andini.
"Ya Tuhan. Kenapa kau bisa seperti ini Din? Bahkan kau tega tidak mengabariku. Aku baru tau kalau kau mengalami kecelakaan justru dari ibumu." Kiran terlihat benar-benar khawatir dengan keadaan Andini.
Andini memang baru mengabari ibunya pagi tadi, jadi tentu saja ibunya akan meminta Kiran untuk merawat Andini sementara waktu, karena ibunya yang saat ini sedang pemulihan dari sakitnya tentu tidak akan bisa datang untuk melihat kondisi putrinya.
"Sudahlah, aku baik-baik saja." Andini yang belum berbaikan dengan Kiran hanya menjawab seadanya.
"Mau sampai kapan kau akan memusuhiku Din? Aku bahkan sudah meminta maaf." Kiran terduduk lesu, ia seolah kehabisan cara untuk membuat Andini berhenti marah kepadanya. Andini kemudian menghela napas dalam.
"Aku sudah memaafkanmu." jawab Andini dengan tatapan yang sengaja di arahkannya ke tempat lain, ia sengaja tidak mau menatap mata Kiran. Kiran yang awalnya cemberut seketika itu juga menunjukan antusiasmenya.
"Benarkah? Kau tidak bohong kan? Sepertinya aku harus merekam ucapanmu barusan biar kau tidak bisa berubah pikiran lagi besok." ucap Kiran penuh haru, ia lalu memeluk Andini dengan kuat.
"Aahhhh, tubuhku masih sakit Kiran." Andini meringis kesakitan.
"Ya ampun maaf." Kiran bergegas melepas pelukannya.
"Lagipula aku sudah bertemu dengan Vino, dia mengakui bahwa ini semua bukan salahmu." jelas Andini.
"Benarkah kau bertemu Vino?"
Andini mengangguk pelan.
"Dasar pria itu, setelah membuat susah baru dia mengakui kesalahannya!" seru Kiran geram. "Ohh iya, kenapa bisa kau bertemu Dimas disini? Ya ampun, aku bahkan sudah mencoba membuatnya tidak bisa bertemu denganmu lagi!" imbuh Kiran kemudian.
Andini terkejut mendengar ucapan Kiran "Apa katamu?"
"Waktu itu Dimas mencoba menghubungiku, ia bertanya apa aku masih sering menemuimu? Lalu aku jawab bahwa kau sudah mengajar di desa yang jauh jadi aku sudah tidak berhubungan lagi denganmu." Kiran mencoba menjelaskan maksud ucapannya.
"Dia mencariku? Untuk apa? Kenapa kau tidak bilang?" Andini mencerca Kiran dengan pertanyaan beruntun.
"Aku pikir kalian tidak harus bertemu lagi, ditambah kau yang saat ini sepertinya sudah bisa melupakan Dimas. Jadi aku tidak ingin membuatmu kembali mengingat dia." Kiran terlihat menyesal, mungkin seharusnya dia menceritakan hal ini kepada Andini lebih awal.
"Tapi aku benar-benar tidak tau kalau dia bekerja di salah satu rumah sakit dikota ini. Sungguh!" ujar Kiran.
"Sudahlah, memang benar tidak ada alasan lagi untukku bertemu dengan Dimas. Pertemuan kali ini bahkan hanya sebuah kebetulan." kata Andini lirih. Kiran tersenyum dan mengelus-elus pundak Andini.
"Tapi Andini, kenapa kau bisa dirawat diruangan VVIP? Apa orang yang menabrakmu yang membuatmu mendapat ruangan mahal ini?" tanya Kiran penasaran, sejak awal ia terkejut saat petugas rumah sakit memberitahukan kamar perawatan Andini. Seketika raut wajah Andini berubah kesal.
"Mana mungkin, tidak ada yang menabrakku. Aku yang tidak fokus saat berkendara, hingga membuatku tidak memperhatikan mobil didepanku yang mengerem mendadak. Untung saja pengendara mobil itu berbaik hati dan tidak memintaku untuk mengganti mobilnya yang aku tabrak dengan keras." jelas Andini, Ia kemudian terdiam, dirinya merasa ragu apakah harus mengatakan hal ini kepada Kiran atau tidak.
"Lalu?" sekarang Kiran benar-benar penasaran.
"Itu..." Andini terlihat ragu mengatakannya, tapi akhirnya ia memilih berkata jujur kepada Kiran.
"Gibran, dia yang membuatku mendapat ruangan ini."
"Gibran siapa?" Kiran semakin penasaran karena Andini menjawab pertanyaannya dengan ragu-ragu.
"Mantan calon anak tirimu." ucap Andini, ia sengaja membuat Kiran berpikir terlebih dahulu.
Kiran tampak berusaha mencerna ucapan Andini, ia seperti belum bisa menangkap maksud dari perkataan Andini barusan. Tapi sesaat kemudian mata Kiran terbelalak, hampir saja bola matanya copot karena matanya yang melotot.
"Apa kau sudah gila Andini? Maksudmu Gibran anak Vino?" tanya Kiran mencoba mengkonfirmasi bahwa dugaannya tidaklah salah. Andini tertunduk dan mengangguk pelan.
"Ya Tuhan. Bagaimana bisa?" Tanya Kiran yang terlihat begitu syok.
"Ceritanya panjang." Andini memang belum bercerita apapun kepada Kiran, mereka yang jarang bertegur sapa selama beberapa hari ini membuat Andini tidak bisa bercerita apapun kepadanya.
"Bisa-bisanya kau tidak menceritakan hal ini kepadaku?" Kiran menegur Andini yang tidak jujur kepadanya.
"Hey, kita baru saja berbaikan, apa kau lupa kita tidak saling tegur beberapa hari ini?"
Kiran seketika merasa pusing mendengar ucapan Andini. Andini pun hanya terdiam, ia bingung harus berkata apalagi kepada Kiran.
"Kalau begitu sekarang kau harus menceritakan semuanya kepadaku!" Perinta Kiran.
"Tidak, aku akan cerita saat kita sudah dirumah." tolak Andini, sebenarnya Andini hanya malas untuk bercerita. Dirinya bahkan tidak tau harus mulai menjelaskan semuanya dari mana.
Tok Tok Tok.
Suara ketukan pintu membuat keduanya terdiam.
"Jangan-jangan itu dia? Tidak, tidak. Aku belum siap bertemu dengan anak Vino." kata Kiran panik.
"Apa maksudnya itu? Kau mau menghindarinya? Bukankah kau seharusnya meluruskan kesalahpahaman ini agar dia berhenti mengusikku?" Andini terlihat geram mendengar ucapan Kiran. Kiran tertegun, benar yang dikatakan Andini, harusnya ia mencoba meluruskan semuanya. Kiran menghela napas, mencoba memberanikan dirinya untuk bertemu Gibran.
"Oke.. okeeee. Aku akan bertemu dengannya." sahut Kiran pasrah, suara ketukan kembali terdengar.
"Kenapa dia pakai mengetuk pintu segala?" batin Andini.
"Iya masuklah." Seru Andini, perlahan pintu terbuka. Suara debaran jantung Kiran terdengar seperti genderang tanda perang akan dimulai. Ia takut menghadapi kemarahan bocah itu. Namun ternyata dugaan mereka salah.
"Selamat siang nona Andini." Seorang pria dengan pakaian jas rapi masuk dan menghampiri Andini, tampak ia menenteng banyak bungkusan ditangannya.
"Maaf, anda siapa yah?" tanya Andini bingung.
"Ohh saya salah satu pelayan keluarga Darendra, tuan muda menyuruh saya untuk mengantarkan makanan untuk anda nona." ucapnya sembari meletakan bungkusan yang begitu banyak, mungkin jumlahnya lebih dari 10.
"Haa makanan? Tapi untuk apa?" Andini dan Kiran saling berpandangan.
"Kata tuan muda makanan dirumah sakit sangat tidak enak, jadi dia menyuruh anda makan makanan ini." jelas pria itu. "Kalau begitu sekarang saya permisi nona." Pamitnya.
"Ehh, lalu dimana tuan mudamu itu? Kenapa bukan dia yang membawa makanan itu kesini?" Andini akhirnya memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.
"Ahh, tuan muda baru saja kembali kesekolah." ucapnya sebelum berlalu pergi. Ia bahkan memberi hormat kepada Andini sebelum keluar dari ruangan.
"Anak itu kembali kesekolah? Bukankah dia sudah berganti pakaian tadi? Apa dia kesambet setan dirumah sakit ini? Selama ini dia bahkan hanya tidur dikelas." gumam Andini keheranan. Kiran sontak menepuk pundak Andini dengan keras.
"Aaahhhh. Kenapa kau memukulku Kiran?" tanya Andini sembari mengelus-elus pundaknya yang terasa sakit.
"Untuk apa kau pikir kenapa anak itu kembali kesekolahnya? Yang harusnya kau pikir kenapa dia memberikan semua ini kepadamu Andini?" tanya Kiran. Ia bergegas mengecek semua bungkusan tersebut. "Gilaaaa, apa-apaan semua makanan ini? Semuanya dari restoran bintang lima." Imbuh Kiran.
Pandangan Kiran lalu menangkap sebuah Note yang ada didalam salah satu bungkusan, ia bergegas mengambilnya.
"Apa itu?" tanya Andini penasaran, Kiran bergegas menyerahkan Note itu kepada Andini.
"Kau baca saja sendiri."
"Aku tidak tau makanan kesukaanmu apa, jadi aku menyuruh pelayanku membawakan semua makanan yang menurutku enak. Aku tau makanan dirumah sakit sangat buruk, jadi makanlah yang banyak dan cepatlah pulih. Jika ada yang kau butuhkan, katakan saja kepada perawat disana. Gibran." Andini menbaca pesan itu dengan raut wajah tidak percaya.
"Apa-apaan ini Andini? Apa kau membuat anak dari Vino bertekuk lutut kepadamu?" tanya Kiran.
"Jangan bicara sembarangan, mana mungkin ada yang seperti itu. Kau bahkan tidak tau sejak awal dia selalu membuatku emosi di sekolah, aku bahkan hampir dipecat karena berurusan dengannya."
"Sekolah? Maksudmu?" Kiran menutup mulutnya dengan kedua tangannya, kini dia paham apa yang sebenarnya terjadi. Andini lalu mengangguk pelan membenarkan apa yang ada dipikiran sahabatnya tersebut.
"Ya ampun, kebetulan macam apa ini?" gumam Kiran tampak syok. Andini hanya tertunduk lesu, hari-harinya sejak awal mengajar disekolah itu sudah sangat buruk, entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa semuanya akan semakin parah kedepannya.