Gedung Pernikahan
Acara pernikahan dengan janji suci sudah diucapkan oleh sepasang suami-istri baru yang kini bersisihan di sebuah pelaminan.
"Isk!"
Decakan itu membuat salah satunya menoleh dengan segera, Vian tepatnya yang kini melirik dan memperhatikan saat istri asal tariknya berdiri dengan kaki melenggak-lenggok seperti cacing kepanasan.
Pftt…. Lucu sekali, apalagi saat melihat ekpsresi lelah dengan senyum yang dipaksakan seperti itu, untung saja ia bisa mengatur mimik wajah agar tetap terlihat biasa.
Namun, merasa akan sangat bahaya jika sampai si bocah membuat ulah, ia pun mengalah dan berbisik lirih sambil menelengkan kepala mendekati sang istri.
"Kenapa?" tanya Vian berbisik.
Aliysia perahan menoleh ke samping dan menampilkan ekpsresi lelah yang sama sekali tidak repot ditutupi. "Paman Vian. Kapan sih istirahatnya? Aku lelah dan ingin duduk. Tahu tidak kakiku sudah ingin copot rasanya," cecar Aliysia dengan wajah melas, tapi sayang justru membuat Vian diam-diam tersenyum dalam hati, senyum puas tepatnya.
Ia pura-pura mendengkus, kemudian memasang wajah menakuti-nakuti berharap membuat si bocah menganga ketika mendengar dan ini tidak disangka karena reaksi Aliysia cukup membuatnya hampir terkekeh.
"Dasar bocah payah. Sabar dan tahan, acaranya sebentar lagi selesai. Ya.... Kira-kira tujuh jam lagi lah," balas Vian dengan bahu terangkat tak acuh.
"Apa! Vian yang benar saja, jangan bercanda!" pekik Aliysia horor lengkap dengan suara cempreng. Namun untunglah, suasana pesta yang ramai tidak membuat keduanya menjadi pusat perhatian lagi seperti saat di mini market.
Ya, yang ada keduanya disangka sedang bercanda karena interaksi saling berbisik yang dilakukan.
Vian pun kembali mendengkus, kali ini benar-benar mendengkus karena suara ultrasonic yang mampu membuat gendang telinga seketika berdenging. Suaranya mengalahkan musik di dalam gedung, karena saat itu Aliysia berteriak di dekat lubang telinganya, tepat sasaran.
Aish! Nasib sial, punya istri asal tarik suaranya menggelegar sepeti ini, batinnya mengumpat.
"Ck! Lysia. Aku juga lelah asal kamu tahu, berdiri sejak beberapa jam yang lalu sama sepertimu. Tahan yah, sebentar lagi saja, nanti aku beli banyak kotak susu cokelat lagi deh, kotak besar. Bagaimana?," rayu Vian tidak ikhlas dan ajaibnya Aliysia justru mengangguk, menyahuti apa yang dijanjikan dengan nada antusias.
Benar-benar bocah.
Dari sini ia catat, jika wanita di sampingnya ternyata penggemar berat susu cokelat. Ini sih gampang, ia pikir bisa membujuk dengan susu karena setelah ini rencananya ia akan membuat sebuah perjanjian pernikahan.
Seperti pernikahan kerjasama atau kontrak, ya semacam itu lah dengan berbagai persyaratan yang diajukan satu sama lain.
"Benar yah? Pokoknya yang kotak super besar. Aku tidak mau tahu, Vian," tandas Aliysia mengancam, dengan mata memicing yang sialnya justru terlihat lucu di mata Vian, hingga ia pun tidak sadar terkekeh kecil dan mengangguk, dengan tangan mengusap kepala si istri tiba-tiba.
Sebenarnya itu refleks, tapi sayang justru membuat Aliysia berkedip cepat dan diam dengan tatapan kaget ke arah Vian.
"Iya-iya, jangan cerewet," jawab Vian dengan nada bosan, meski detik berikutnya ia mengernyit bingung karena merasa Aliysia melihatnya seperti itu dan setelah ia telusuri kenapa sebabnya, seketika itu juga ia ikut terdiam.
Ah! Ini semua ternyata karena ulah tangan Vian yang kini masih betah bertengger di kepala si wanita.
"Eh!"
"Eh!"
Sontak Vian segera menarik tangannya dari sana, sama-sama membuang tatapan bahkan kini keduanya saling memunggungi dan suasana tiba-tiba saja terasa sangat canggung. Namun, tamu yang datang memberi selamat membuat keduanya kembali bersisihan dengan senyum yang kembali diulas.
"Selamat Vian dan istri, semoga sampai tua."
Seketika Vian tertohok mendengar ucapan selamat ini.
Bukannya apa, bagaimana akan sampai tua jika rencana perceraian saja sudah ada dengan banyak ketentuan di kontrak yang nanti akan dibicarakan berdua dengan Aliysia. Namun, merasa tidak punya jawaban selain mengiyakan, ia pun mengangguk dan menepuk bahu seseorang itu akrab.
"Thank you, Tuan Alrescha."
Tamu kembali berdatangan, sampai keduanya tidak tahu berapa banyak yang mengucapkan selamat. Padahal Vian merasa hanya mengundang tamu dekat, sesuai apa kata sang mama, tapi ia tidak merasakan seperti itu.
Yang ada antrean tamu yang ingin memberi selamat panjang bagai ular di jam tertentu.
Beberapa jam kemudian
Pesta pernikahan selesai di pukul delapan malam. Vian dan kedua orang tuanya saat ini sedang duduk kembali di ruang rias pengantin wanita, menunggu Aliysia selesai dengan gaun serta riasan wajah.
Mereka sedang bersiap untuk pulang ke hunian masing-masing untuk istirahat. Jelas, karena bagi mereka ini bukan hanya hari yang melelahkan, melainkan hari penuh cobaan yang berhasil dilewati dengan baik.
Sambil menunggu Aliysia selesai, kedua orang tua Vian yang masih belum percaya dengan semua ini kembali mendekati dan bertanya dengan pertanyaan yang hampir sama, seperti saat sang putra belum mengucapkan ikrar pernikahan.
"Vian. Sampai sekarang Mama masih belum percaya, jika Lysia adalah wanita yang benar-benar kamu cintai," ucap sang mama dengan ekspresi sedih.
Sepertinya benar, jika seorang ibu adalah mahluk paling sensitif jika sudah menyangkut soal anak. Terbukti, dengan keresahan dan kebohongan Vian yang dirasakan, meski masih sebatas menuduh saja karena ketika melihat bagaimana putranya mengucap janji, ia merasa tidak demikian.
Bagaimana ya, tampak serius dengan wajah tampan yang berseri atau ini hanya anggapannya saja? Lalu untuk sang menantu, ia juga mendengar kelugasan yang membuatnya jadi menghilangkan rasa curiga itu.
Dan Vian sendiri kini berusaha tetap tenang, karena ia tidak ingin membuat sang mama tahu kebohongannya untuk saat ini.
Ya, setidaknya sampai ia punya waktu untuk membuat rencana dan alasan logis. Alhasi, ia pun dengan segera memasang senyum terbaik dan menjelaskan sesederhana mungkin.
Vian hanya tidak ingin rencananya kacau, dengan ujung sang mama yang kembali tidak percaya padanya atau parahnya kecewa akan apa yang diperbuat.
"Mah, kenapa Mama tidak yakin? Aku dan Lysia benar saling suka kok. Meskipun kami baru bertemu kembali setelah sekian lama, tapi bagaimanapun saat ini kami sudah menjadi suami dan istri. Mama tenang saja ya, aku jamin rumah tangga kami akan baik-baik saja. Ah! Aku akan semakin bahagia dan lengkap bersamanya, aku janji."
Dengan begini Vian berharap papa dan mamanya tidak akan bertanya lagi. Akan sangat kacau jika keduanya bertanya mengenai Aliysia di saat ia sendiri saja belum tahu apa-apa tentang sang istri.
"Tapi Sayang, Mama belum bertemu kedua orang tua Lysia. Apakah mereka tidak akan marah jika putrinya menikah tanpa berita dan kunjungan dengan sepantasnya seperti ini?"
Nah.... Akhirnya pertanyaan ini muncul juga. Padahal, Vian sudah cukup senang saat sang mama tidak menanyakan keberadaan orang tua Aliysia, itu juga karena permintan yang diucapkannya dengan nada mutlak.
Lagian, bagaimana ceritanya kedua orang tua Aliysia tidak akan marah, karena ia sendiri saja tidak tahu siapa dan bagaimana itu si istri. Karena yang ia tahu, Aliysia saat itu ketakutan dikejar oleh pria berotot dan ia hanya mengikuti ide gila yang tiba-tiba terbesit, itu saja.
Perkenalan saja sangat singkat, hanya nama, jadi bagaimana mau bertanya soal keluarga.
"Vian…."
Shit!
Bersambung