webnovel

Lemon, Roman, dan Ramen

(POV Lemon)

Di suatu malam yang cerah dan penuh dengan bintang, setelah pulang dari tempat pemandian perempuan, aku bertemu dengan seorang lelaki asing di sebuah kedai ramen. Lelaki itu sedang duduk termenung, seperti orang yang baru saja dipecat dari tempat kerjanya, atau baru saja di tolak oleh calon pacarnya.

Aku memesan ramen soyu dan duduk di sampingnya. Dia tidak bereaksi sama sekali, padahal di sampingnya ada cewek super cantik bernama Lemon. Ah iya, Lemon itu namaku ketika berada dalam mode perempuan. Anak-anak kampret Kelas 1-F yang memberikan nama ini.

Sambil makan ramen, aku sesekali menoleh ke arah kanan, melihat keadaan orang itu. Dari penampilan luarnya, sepertinya dia anak SMA, sama sepertiku.

Saat ramenku sudah habis, aku menoleh lagi ke arahnya. Dia sedang menyendok-nyendok mangkok ramennya, padahal isinya sudah kosong. Dia bahkan menyeruput mangkoknya juga. Meski jasadnya ada di sini, pikirannya sedang berkeliaran di tempat lain.

Karena dia teman seumuran, aku tidak ragu untuk menyapanya.

"Ramen di sini, enak sekali, ya!" kataku dengan suara perempuan.

Aku membuka pembicaraan setelah ramenku benar-benar habis.

Dia masih melamun. Tanpa sadar, mangkok ramennya sudah berada di atas kepalanya, dia memakai mangkoknya sebagai topi. Untuk ukuran orang yang sedang melamun, level lamunannya sudah terlalu parah.

"Hei!"

Aku memegang tangan orang itu, kemudian menggerak-gerakannya dengan maksud untuk menyadarkan dia dari alam bawah sadar.

"M-Maaf. Ada perlu apa?"

Orang itu menjawab, kemudian menaruh mangkoknya kembali dari atas kepalanya.

"Jangan kebanyakan melamun. Kau masih muda!" ucapku.

"Oh iya, maaf. Terima kasih banyak." Lelaki itu menunduk-nundukan kepalanya.

"Apa kau sedang ada masalah?" tanyaku.

Raut wajahnya kembali bersedih.

"Ya, aku baru saja ditolak oleh orang yang aku sukai."

Sudah kuduga.

Aku terdiam sejenak.

"Kalau boleh tahu, kenapa kau ditolak?"

Orang itu menjawab. "Dia bilang, aku ini terlalu baik."

"Sungguh alasan yang klasik," pikirku.

"Kalau boleh tahu lagi, bagaimana caramu menembaknya?"

"Aku bilang pada dia, aku sudah menyukai dia sejak lama. Aku bilang padanya, aku ini pendek, kurang pandai bergaul, kurang pintar, kurang waras, pokoknya tidak ada hal yang menarik dari diriku. Tapi, aku tetap bilang suka padanya, karena aku benar-benar menyukainya."

Aku memandang wajahnya dengan tatapan kesal.

"Ya iyalah ditolak. Bukan gitu cara nembak cewek. Kalau cara nembakmu gitu, kau jadi terlihat menyedihkan!" Aku membentak dengan suara perempuan.

"Ah, benar juga. Terus bagaimana cara menembak cewek yang benar?"

"Caranya—mana aku tahu! Aku kan perempuan," ucapku, hampir kelepasan.

Ya, meskipun belum pernah pacaran, tapi aku tahu cara menembak cewek yang tepat. Aku pura-pura tidak tahu, aku menyembunyikan sifat laki-lakiku.

"Haha, bodohnya aku menanyakan hal ini pada seorang perempuan. Aku ini memang pria yang menyedihkan." Dia mengeluh lagi dengan wajah yang terlihat semakin menyedihkan.

Aku sudah tidak tahan, aku harus mempertahankan martabat orang ini sebagai seorang laki-laki. Dia tidak boleh terlihat menyedihkan, aku harus memberi dia wejangan.

"Ehm... sepertinya aku bisa membantu masalahmu."

Orang itu menoleh. "Membantu?"

"Dengarkan aku, ya. Cewek itu, menyukai lelaki yang menarik dan terlihat keren di matanya. Mau tidak mau, kamu harus punya sesuatu yang bisa kamu banggakan. Sesuatu yang bisa membuat seorang cewek suka padamu. Rasa suka saja tidak cukup untuk merebut hati cewek yang kamu sukai. Kecuali, kalau kamu ganteng dan pandai merayu cewek, seperti aku." Aku menunjuk diriku sendiri.

"Oh, begitu. Tunggu! Kau ganteng dan pandai merayu cewek, maksudnya?"

"Ahaha, maaf. Aku salah ngomong, itu teks drama yang pernah aku baca. Maaf!"

"Oh, begitu."

(Hampir saja...)

"Jadi, apa sesuatu yang bisa kau banggakan dari dirimu?" tanyaku.

"A-aku, sangat suka bermain bola voli, meski tidak terlalu hebat, sih. Aku seorang libero di dalam timku. Yah, karena aku seorang libero, aku jadi jarang memasukan bola, aku tidak terlihat begitu keren."

(Woohoo, ternyata dia satu bidang olah raga denganku, mantap...)

"Libero itu hebat loh, dia bertugas menjaga pertahanan tim dari smash-smash kerad yang dilancarkan lawan. Kalau kau berusaha menjadi libero yang tangguh, aku yakin kau pasti akan terlihat keren. Aku juga atlit bola voli loh, aku seorang setter," ucapku dengan tersenyum bangga.

Kata 'bola voli' membuat percakapan kami semakin berkembang. Kami berdua mengobrol cukup banyak tentang bola voli, dia benar-benar antusias.

"Jadi, begitu. Kau harus menjadikan dirimu seorang atlit bola voli yang tangguh. Saat kau sudah seperti itu, kau ajak orang yang kau sukai itu untuk menonton pertandinganmu. Hasilnya mungkin tidak pasti. Tapi aku yakin, cewek itu bakal menilaimu lebih tinggi dibanding sebelumnya. Cewek itu menyukai cowok yang berusaha keras, loh," ucapku.

Lelaki itu kemudian terlihat bersemangat, dia tidak bersedih lagi seperti sebelumnya.

Dia kemudian berkata. "Ngomong-ngomong, bulan depan timku akan mengadakan uji tanding melawan SMA Subarashii. SMA itu sangat hebat, aku yakin bisa belajar banyak dari pertandingan itu."

Aku terbelalak kaget. "SMA Subarashii? Jangan-jangan... kamu anak SMA Sugoii?"

"Ya, aku bersekolah di sana. Kenapa kau tahu? Apa kau anak SMA Subarashii?"

"Y-ya."

Wajahnya langsung sumringah. "Wahaha, bagus kalau begitu. Nanti kita bisa bertemu lagi. Tim putri SMA kami lumayan hebat, loh. Kau harus bersiap-siap!"

"Y-ya, aku tidak takut!"

Seminggu setelah pertemuanku dengan orang itu, Kelas 1-F diliput oleh stasiun TV paling terkenal di Jepang, TV Tokyo. Tentu saja, gara-gara peliputan itu, semua orang di Jepang jadi tahu kalau aku bisa berubah wujud dari laki-laki menjadi perempuan. Orang itu pasti menontonku di televisi.

Sekarang, dia pasti sudah tahu identitasku yang sebenarnya.

*Satu bulan kemudian

Hari ini, timku akan berlatih tanding bola voli melawan SMA Sugoii. Itu artinya, aku akan bertemu orang galau itu lagi. Aku sedikit merasa bersalah, aku sudah mempermainkan dirinya dengan sosok perempuanku.

"Halo. Nona Lemon!" Orang itu menyapaku dengan sebutan Lemon, padahal sekarang aku sedang berada dalam mode Roman.

"Aku Roman. Bodoh!"

"Ya, ya. Aku tahu. Hahaha." Dia terlihat santai-santai saja.

"Maaf ya, aku menipu dirimu sebelumnya." Aku menunjukkan ekspresi bersalah.

"Hahaha, santai saja."

"Bagaimana kabarmu dengan cewek yang kau sukai itu?" tanyaku.

Dia memandangku serius.

"Aku... sudah melupakannya. Aku terlalu fokus berlatih untuk menjadi libero yang sangat tangguh, sampai-sampai aku tidak punya waktu untuk memikirkan dia. Terima kasih, saran darimu saat itu benar-benar memberiku semangat!" ungkap orang itu, ekspresinya seolah-olah dia telah menemukan tujuan baru dalam hidupnya.

"Baguslah kalau begitu." Aku ikut tersenyum.

"Lagipula... sekarang cewek yang aku sukai adalah nona Lemon."

Dia semakin tersenyum padaku.

Dia tersenyum pada seorang Roman.

"Oi oi, Lemon itu hanya ilusi. Dia tidak nyata, Lemon adalah aku, dan aku seorang laki-laki!!!" Aku sedikit membentak.

"Tidak masalah. Mau laki-laki atau perempuan, aku tetap menyukai nona Lemon."

Aku bercucuran keringat, bulu kudukku merinding. "A-aku masih normal!!!"

Sambil berkata begitu, aku berlari kencang dan meninggalkan orang itu.