Pulang dari sekolahan, kulihat pintu rumah kontrakanku terbuka lebar. Teras yang tadi tidak sempat kusapu juga terlihat bersih. Aku yakin, ibuku pulang. Aku senang sekali, akhirnya aku tidak sendiri. Aku juga berharap nanti dia menginap, walau hanya semalam saja tidak masalah.
Begitu aku tiba di ambang pintu, seorang wanita bertubuh sedang dengan tinggi kira-kira 160cm an tengah memotongi kuku. Sepertinya ia baru saja mandi. Terlihat dari rambutnya yang basah dan wajahnya yang segar.
"Ibu kapan datang?" tanya ku.
Ibuku melihat ke arahku dengan wajah kesal. Aku merasa, pasti bakal kena omel ini. Ternyata benar.
"Kamu ini nelfon ibu minta ibu pulang cuma untuk nyuci sprei itu, apa? Sama bersihin batu-batu yang berserakan? Aku ini ibu kamu apa babu kamu?" hardiknya dengan nada tinggi.
Duh, sumpah. Nyesel aku ngabarin dia. Kalau ada apa-apa mending aku diam saja deh. Ogah cerita-cerita lagi sama dia. Toh ujung-ujungnya juga kena semprot. Harusnya dia berfikir aku tidak sampai stress karena trauma aja sudah bagus, malah kek gini perlakuannya.
"Mbak Murni tadi ada cerita kejadian semalam, tidak?" tanyaku sambil melepaskan spatu dan kaus kaki di kursi sebelahnya.
"Ya, cerita. La itu kejadian sebelum subuh, subuh dan berakhir, ngapain kamu gak bersihin itu batu-batu di kamar? Buku aja yang dipelototin, tapi bukan buku pelajaran."
Aku hanya diam. Aku tidak baca buku setelah kejadian itu. Aku cuma diam aja merenungi kejadian demi kejadian selama aku di sini. Memang dari jaman SD aku adalah kutu buku, tepatnya setelah mulai bisa baca. Tak ada yang mampu menghentikanku berhenti dari bacaan-bacaan yang kuingin ketahui isinya. Sebelum rasa ingin tahuku terpuaskan, jangan harap aku meletakkan buku itu, sekalipun masuk WC juga aku bawa. Malah terkadang sengaja aku ke toilet agar tidak diganggu oleh ibuku yang hanya menyuruh sesuatu tidak penting. Missal suruh ambil cotton bud, padahal ada didepannya, nagapin manggil aku yang ada di kamar?
Tak jarang aku merasa tidak puas dengan bacaan yang ada di perpustakaan sekolah, aku sering menggunakan uang jajanku untuk menyewa buku di taman bacaan yang letaknya kurang lebih tigaratus meter dari sekolahanku. Tapi, lebih sering sewa komik sih. Jaman dulu demen banget baca komiknya detektif conan dan one piece.
"Aku tidak masak, capek beres-beres. Kamu kalau laper, beli nasi pecel sana."
Aku segera berhambur berlari ke warung yang jaraknya sekitar serratus meter dari tempaku, aku membeli nasi pecel. Tapi, apes, yang jadi kulupan malah daun papaya. Mana pait lagi. Dalam hati aku mengeluh, 'Ya Tuhaaan! Tidak cukupkah kepahitan yang kualami selama ini? Bahkan beli nasi pecel aja kulupannya daun papaya. Kenapa tidak sekalian sama pare saja?'
Seharian sukses cuma denger omelan dan celotehan ibuku saja. Katanya anak gadis harus rajin, suruh masak sendiri.
"Lihat, badan udah kurus kek cacing mie instan aja yang dimakan. Tinggal nunggu kriting aja kamu itu," celotehnya sambil memasukkan satu kranjang sampah penuh berisi bungkus mien instan berbagai merk dan varian rasa.
Aku hanya diam saja, mau jawab apa? Toh nyatanya yang kumakan juga gak jauh-jauh dari mie instan dan mie ayam saat itu.
"Kamu kan sudah bisa masak. Beli ayam lah di tukang sayur, mau digoreng dimakan sama sambel, dikuah pedas apa dibumbu bali wong kamu dah pinter masak gitu. Apa gunanya ibu capek kerja banting tulang siang malam kalau kamu badan kaya lidi?"
Tunggu. Saat itu kami tidak memiliki lemari es. Tukang sayur lewat jam tujuh, sedangkan jam enam lewat limabelas menit aku harus sudah siap menunggu angkutan umum. Menderita sekali diriku. Tapi, Namanya orang tua, ya kuiyakan saja lah, biar seneng. Dibantah juga percuma, yang ada kian marah saja dia.
Sampai pukul empat sore, ibuku masih berada di tempatku, kukira dia akan bermalam. Tapi, ternyata tidak. Mana perasaanku mulai tidak enak lagi. Terlebih saat waktu menujukkan pukul lima sore. Aku kian gelisah dan tak nyaman, ketakutan tanpa sebab, tanpa mendengar bunyian aneh dan penampakan atu kelebatan bayangan apapun.
"Bu, nginep, ya temani aku malam ini saja. Aku takut," ucapku lirih.
"Ibu itu harus kerja, Suara. Gak bisa diam di rumah saja. Apalagi malam ini harus menyiapkan bumbu-bunbu untuk rawon soto dan lain-lain. Kalau saja kamu tadi pagi gak ngrengek-ngrengek telfon minta aku pulan, mana boleh ibu pulang sama bosnya?"
Akhinya aku hanya diam, memaksapun juga percuma. Yang ada, ibuku nanti malah marah-marah gak jelas aja. Padahal aku perasaan juga kian tidak enak saja ini.
"Yang kamu takutkin itu apa? Setan? Gak ada setan di sini, justru kalau kamu semakin taku, dia akan seneng dan terus menggodamu. Sholat jangan telat, agar selalu dilindungi Tuhan. Kamu itu punya tuhan," imbuhnya lagi.
"Iya," jawabku sambil menyembunyikan air mataku. Aku menutupi wajahku dengan buku yang baru kupinjam dari perpustakaan tadi pagi.
"kamu itu bisa ngaji, dari pada cuma baca buku-buku kek gitu, mending ngaji sana. Buat apa minta Al-qur'an kalau gak dibaca? Apa kau pikir itu tidak dosa?"
"Iya." Aku beranjak mengambil wudu di kamar mandi dan segera melaksanakan sholat magrib. Setelah selesai, mbak Sri teman ibuku sudah datang untuk menjemputnya.
Aku masih diam dan menunduk, berusaha agar ibuku tidak tahu kalau aku menangis. Aku juga tidak melihat mbak Sri saat menyapanya.
"Suara! Ayo makan dulu, ini kubawakan nasi sama soto ayam. Makan dulu biar kenyang, dan kalau ada apa-apa, kamu kuat teriak, gak diem saja," ejeknya.
Aku hanya diam tak menjawab. Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil panci kecil, wadah ntuk nasi, piring dan juga sendok. Tapi, sampai ambang pintu penghubung antara rumah bagian barat dan timur mbak Sri berteriak mengagetkanku yang memang sudah dalam keadaan suasana yang benar-benar tidak nyaman.
"Hayo... awas! Depanmu ada gendruwo!"
Tak hanya kaget, aku benar-benar terkejut, jantungku berdebar tak keruan, bahkan kakiku rasanya juga lemas. Aku sampai hampir terjatuh saja saat itu. Untuk menjaga keseimbangan tubuhku, aku hanya diam di tempat. Untuk memegang kusen pintu aja aku takut.
"Ambil saja, tidak apa-apa. Gak, gak. Tidak ada hantu di sini. Kemarin itu kelakuan pak Romi yang menakutimu," ucap ibuku menghibur. Aku juga dengar, ibuku memarahi temannya. Aku tahu, dia sebenarnya juga tidak tega. Tapi, ia punya kewajiban mencari nafkah untukku, dirinya dan juga adikku yang kini ada di kota J.
Tapi, sayang. Bukan itu yang aku butuhkan. Melainkan teman untuk menemaniku malam ini saja di rumah. Aku benar-benar takut, dan lebih takut dari semalam yang aku alami. Tapi, percuma saja bicara. Tidak akan digubris, yang penting aku harus tetap menguatkan mental dan hatiku sendiri.
Ketika aku mengambil wadah dan juga piring untuk makan, memang semula aman-aman saja. Tidak ada apapun. Tapi, aku merasa tengkukku seperti ada yang meniupnya. Buru-buru aku berlari menuju ke ruang tamu di bagian barat. Bersamaan aku berlari, aku mendengar ada banyak sosok yang menertawaiku. Ingin rasanya aku berlari lebih kencang saja agar aku tidak lagi dengar suara-suara itu. Tapi, kakiku terasa sangat berat. Seberapa keras aku berusaha, tetap saja, jalanku lamban sekali seperti seekor siput.
Aku takut tidak akan kuat mental jika sampai aku melihat sosok mereka yang banyak, walau belum kulihat dengan pasti. Tapi, dari suaranya aku yakin sekali mereka lebih dari satu, bukan hanya suara anak-anak. Tapi, juga ada yang dewasa.
Aku baru bisa bernapas lega saat aku sudah berada di pintu pembatas antara ruangan sebelah barat dan timur. Kulihat ibuku tengah mengobrol dengan mbak Sri.
Aneh. Ini benar-benar aneh. Perasaan aku sudah cukup lama sekali meninggalkan mereka. Tapi, kenapa mereka terlihat tenang-tenang saja? Biasanya lima menit saja aku disuruh tidak kunjung kembali mereka sudah ngomel-ngomel. Apalagi mbak Sri.
"Eh, tumben kamu cepet. Takut, ya? Jadi kamu lari?" ucap mbak Sri saat menyadari aku sudah berada di sana dan meletakkan piring serta wadah yang baru saja kuambil barusan.
"Cepet, ya?'' tanyaku, sambil melirik jam dinding tua yang tergantung di dinding ruang tamu. Benar saja, Cuma tiga menitan saja aku pergi. Padahal aku merasa sangat lama sekali tadi itu, aku takut benar-benar takut. Kaki susah digerakan seperti ada beban limapuluh kilo saja di masing-masing pergelanganku.
Setelah selesai menemani aku makan, mereka berniat untuk segera berangkat ke kota K. karena sebentar lagi juga sudah isya, aku minta ditemani dulu ketoilet untuk berwudu. Setelahnya, mereka pun berangkat.
Aku Cuma diam menatap kepergian mereka yang seolah tanpa beban meninggalkanku, terutama ibuku. Menoleh saja tidak. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Ya Cuma diam, selebihnya mungkin ya menangis, jika nanti sudah benar-benar takut. Tapi, selama ini aku belum pernah menangis karena ketakutan. Tapi, kalau karena kecewa dan dimarahi ibuku, sering.