webnovel

15. Makanan Untuk Pemulung

Akan tetapi, saat ingin memberi pelajaran kepada Pak Sukirman, langkahnya terhenti saat melihat Ayu yang sedang lewat dan singgah di rumah Pak Sukirman.

"Walah Pakdhe jangan suka marah-marah nanti cepat tua loh!"

"Ups maaf salah, Pakdhe kan sudah tua ya?"

"Ini lagi ikut campur, ngapain kamu ke sini, nggak takut di hina lagi, tebal muka ya kamu, tapi memang ya namanya juga orang miskin pasti lah ya kuat mental biar di hina orang," hardiknya dengan lantang.

"Ya elah Pakdhe nggak boleh loh kaya gitu, nanti kalau Pakdhe miskin juga gimana, nanti ada ide cerita sama temanku yang suka buat novel judulnya gara-gara menghina aku jatuh miskin," ucap Ayu sembari meledek.

"Kamu sok ngatur, masih bau kencur juga, terus apa yang kamu bawa itu?" selidik Pak Sukirman dengan mata mendelik.

"Tadi Ibu mau kasih nasi kuning, karena hari ini nasi kuning Ibu alhamdulillah laris manis, jadi kata beliau mau bagi-bagi rezeki, tapi kayanya nggak jadi lebih baik kasih orang lain saja deh."

"Pakdhe kan nggak suka ya, nah kebetulan ada anak ini, kasih dia saja ya, berbagi itu indah ya kan Pakdhe?" tanya Ayu sambil melirik bungkusan plastik yang dibawanya.

Terlihat Pak Sukirman melihat bungkusan yang di bawa Ayu, hampir saja air liurnya jatuh karena bau wangi makanan itu menyeruak ke luar.

Pak Sukirman hanya diam, tak ada respon antara mau menerimanya tetapi gengsi mau di tolak tapi ingin makan, dilema kan Pak Sukirman.

Karena tidak ada jawaban akhirnya dengan spontan Ayu memberikannya kepada anak itu dihadapan Pak Sukirman.

Melihat itu beliau sangat marah dan murka atas perbuatan Ayu barusan. Beliau langsung mengumpat panjang kali lebar kali tinggi, antara gengsi dan malu jadi satu.

"Kenapa kamu kasih pemulung itu, Ibumu memberi amanat kasih ke saya, kurang ajar kamu ya, dasar anak nggak tahu diri kamu, kalau buat pemulung itu kenapa kamu datang ke rumah saya?" bentaknya.

"Lah tadi Pakdhe nggak ngomong kalau mau, diam saja Ayu kira nggak mau, lagian ini kan makanan yang kasih orang miskin ya?"

"Ya udah Pakdhe Ayu pulang saja, Assalamualaikum!"

Pak Sukirman sangat marah besar sampai-sampai dia mengumpat sepanjang jalan kenanga, karena jarak dua meter saja madih terdengar jelas.

Ayu pun pergi bersama anak itu bersama-sama.

Melihat pemandangan indah itu membuat Linda sangat menyukai perilaku Ayu yang berani melawan keluarganya sendiri dengan sopan.

"Salut buat kamu Yu, pantas saja Riski sangat mencintai kamu, sebentar lagi Yu buah kesabaranmu akan menghasilkan berlimpah ruah, tunggu ya Yu," guman Linda.

Linda pun mengikuti langkah kaki Ayu dan anak pemulung itu.

"Terima kasih kak, sudah memberi kami makanan ini, kami tidak bisa membalasnya hanya doa saja yang bisa kami berikan ke Kakak."

"Semoga Kakak selalu bahagia dan segera mendapat momongan," ucapnya dan mengaminkan.

"Aamiin, terima kasih juga doanya," sahut Ayu tersenyum.

"Tadi kenapa sih kamu berurusan dengan Pak Sukirman?" selidik Ayu.

"Arif lagi cari barang bekas kak, terus Arif lihat ada roti sisa tapi masih bagus, karena Arif lapar ya di ambil."

"Tiba-tiba Pak Sukirman datang marahi Arif katanya menghambur-hamburkan sampahnya," terangnya dengan tertunduk lesu.

"Kamu juga Rif, sudah tau itu Rumah Pak Sukirman yang terkenal kikirnya, walaupun Pakdhe Kakak, tetapi bukan berarti Kakak membelanya, kalau salah ya salah, kalau benar ya benar lah," sahut Ayu menjelaskan.

"Oh ya Rif, kenapa kamu nggak kerja di warung makan kakak saja, dari pada mulung, lagian di sana kamu dapat makan dan gaji," ucap Ayu bersemangat.

"Kamu masih kecil Rif, bahkan umurmu saja belum ada delapan tahun, biar kamu bisa sekolah lagi."

"Kakak lihat banyak yang sudah menjadi pemulung, dan kalau kamu kalah cepat bisa-bisa kamu nggak dapat apa-apa."

"Kalau di warung kamu nggak kepanasan apalagi kehujanan, dan bisa sambil belajar, nanti kakak deh yang ajari kamu, gratis," terangnya lagi.

"Memang Kakak nggak rugi, memperkerjakan seorang anak yatim di warung kakak?" tanyanya ragu.

"Kalau kamu tanya seperti jujur nggak, nggak ada ruginya, kalau kita ikhlas menolong insya Allah akan diberi keberkahan."

"Coba kamu pikir Rif, sekarang ayahmu sudah tidak ada lagi, ibumu berjuang sendiri mencari kebutuhan makan untuk kalian, sedangkan adikmu banyak ada tiga dan masih kecil-kecil-keci lagi bahkan di usiamu masih kecil ini sudah menjadi pemulung dan tidak bersekolah."

"Kamu bisa mengumpulkan uang supaya bisa sekolah."

"Kalau Arif sekolah terus yang jaga adik-adik siapa kak, sedangkan setelah Ibu selesai mencuci baju di rumah orang, gantian Arif yang mencari barang bekas di jalanan.

"Kalau begitu lebih baik ibumu saja yang bekerja di warung Kakak, bagaimana?"

"Nanti Kakak tanya dulu sama Ibunya Kakak, kalau boleh nanti Kakak kasih tau kamu, tapi mungkin gajinya nggak seberapa yang penting cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari, makanya doain saja semoga warung kakak itu tambah laris manis."

"Iya Kak, Aamiin.

"Padahal warung nasi kuning Kakak rame, dan Arif lihat banyak pembelinya, tapi kenapa Pak Sukitman bilang Kakak miskin, lain seperti Arif yang betul-betul tidak ada," tanyanya penasaran.

"Itulah Rif, namanya manusia tidak bisa melihat orang itu bahagia, biar saja mereka bilang Kakak miskin, tetapi kenyataannya kami masih bisa berbagi."

"Biarlah Rif suka-sukanya saja," ucap Ayu tersenyum.

"Oh ya, memang Arif tau nggak berapa upah ibu kalau nyuci di rumah orang?"

"Setahu Arif sih dua puluh ribu, Kak."

"Ya sudah Kakak ikut ke rumahmu ya, sekalian kenalan sama ibu kamu Rif."

"Boleh banget Kak."

"Ayuk pulang biar Kakak antar!" ajaknya.

Namun Ayu merasa ada yang mengikutinya tetapi dia tidak melihat siapa pun di sana, kebetulan jika jam dua siang biasanya daerah tempat sekitar Pak Sukirman akan terlihat sepi.

"Rif kamu merasa nggak ada yang ngikutin kita?" tanya Ayu yang mulai penasaran.

"Nggak ada Kak, memang daerah sini kan terkenal angkernya."

"Alamak ... aku dikira hantu, padahal aslinya aku cantik banget loh Yu, aku ini kakak ipar kamu walaupun sepupu," gerutu Linda.

"Nggak apalah demi misi buat adikku tercinta, akan kulakukan," ucapnya lagi.

Setelah sampai di gubuk milik Ibunya, Arif langsung memperkenalkan Ibu dan adik-adiknya.

Hati Ayu terenyuh melihat keadaan gubuk Arif yang hanya berdinding tripleks tipis dan hanya ada satu kamar dan dapur yang sempit.

Bagaimana bisa dikatakan layak huni, jika rumah atau gubuk lebih tepat namanya karena sudah banyak yang bocor, bahkan atap yang beralaskan seng pun sudah bertagar dan rapuh, sewaktu-wakti bisa runtuh.

"Assalamualaikum, Bu, Arif sudah pulang!" teriaknya dari luar.

"Walaikumsalam!"

"Abang Arif pulang Bu, bawa makanan!" seru adiknya yang nomor dua.

Arif pun mempersilahkan Ayu masuk ke dalam.

"Loh ada Neng Ayu toh, ayuk silahkan duduk tapi maaf ya Neng lesehan," ucapnya tersenyum malu.

"Nggak apa-apa Bu, kebetulan lewat sekalian mampir."

"Oh ya Bu, semua makanan ini Kak Ayu yang kasih, banyak kan Bu?" ucap Arif bersemangat.

"Seriusan Neng, Alhamdulillah kebetulan kami juga belum makan, terima kasih banyak ya Neng," sahutnya dengan gembira tetapi matanya berkaca-kaca.

"Loh, kok Ibu nangis ada apa, Bu?" tanya Ayu heran.

"Maaf Neng, Ibu cuma terharu, bahkan senang sekali dapat rezeki dari Neng Ayu, padahal Neng Ayu sering di hina oleh Pak Sukirman, tetapi Neng Ayu sabar."

"Loh kok Ibu tahu juga?"

"Ya Allah Neng, ya tahu lah bahkan satu kampung ini tahu bagaimana mulutnya Pak Sukirman apa lagi dengan abang-abangnya Neng Ayu lebih parah."

"Ya itulah hidup Bu, tapi kalau kita mendengarkan orang lain ngomong memang nggak ada habisnya, biarlah lah Bu, mungkin suatu saat nanti mereka bisa berubah."

"Maaf Bu, tadi Ayu sempat bilang ke Arif, jika seandainya Ibu mau nggak kerja di warung ibunya Ayu, lumayanlah daripada jadi buruh cuci gajinya kecil, cuma Ayu belum tanya sih ke Ibunya Ayu boleh apa nggak, kalau boleh nanti Ayu kabari Ibu, gimana?" tanya Ayu.

"Betulan Neng, saya mau Neng, alhamdulillah kalau boleh, mudah-mudahan saja Bu Yati mau menerima saya bekerja membantu beliau," jawabnya semringah.

"Ya sudah Bu, kalau gitu saya pamit pulang dulu sudah sore, biasa mau siap in buat jualan besok."

"Iya Neng, terima kasih banyak, semoga Neng selalu bahagia," ucapnya tersenyum.

"Sama-sama, Bu!"

"Rif, Kakak pulang dulu, Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam!

Ayu pun pergi dari tempat itu, dan Linda yang mengikuti Ayu masih bertengger di bawah pohon yang rindang.

Setelah Ayu pergi, Linda berpura-pura menguji kesabaran mereka lagi.

"Maaf, permisi Bu!"

"Iya, Mbak ada apa ya?"

"Boleh saya berteduh sebentar di sini, saya capek banget Bu dan perut saya perih," ucap Linda pura-pura memegang perutnya yang sakit.

"Augh, maaf Bu!" ucapnya lagi dengan berjalan pelan.

"Ayuk Neng, silakan mampir aduh maaf juga gubuknya seperti ini," jawab Bu Surti Ibunya Arif.

"Nggak apa-apa Bu!"

"Neng, kenapa perutnya sakit?"

"Iya Bu, sudah hampir dua hari sa-saya be-belum makan Bu, cuma minum saja."

"Ya Allah Neng, sebentar saya ambil makan dulu, tunggu ya Neng!" ucap Bu Surti sambil masuk ke dalam mengambil makanan.

"Kakak, siapa?"

"Sepertinya Kakak bukan orang sini ya, nggak pernah lihat?" selidik Arif.

"Aduh, mati aku kalau ketahuan penyamaranku, anak ini banyak bertanya lagi," gerutunya dalam hati.

"I-iya dek Kakak dari kampung sebelah, nggak tahu juga kok bisa sampai sini, maaf ya Dek!" jawab Linda sedikit gugup.

"Kayanya anak ini nggak percaya sama aku, duh Linda-Linda seandainya waktu kuliah ambil jurusan tata bahasa atau masuk di sanggar kesenian, mungkin bisa nih jadi pemain sinetron," tawanya dalam hati.