webnovel

Kisah Darrel dan Melinda di Panti

Ilene menatap bangunan tua dihadapannya dengan perasaan tak menentu. Meski terlihat tua, bangunan itu sangat terawat. Beberapa anak kecil berlarian di halaman depan bangunan itu. Sebagian anak yang lain memilih memainkan beberapa permainan yang tersebar di samping halaman. Ilene menghela nafasnya, perjalanannya selama tiga jam penuh akhirnya terbayar.

Ilene melirik papan nama yang tercetak besar di depan pagar, Panti Asuhan Harapan Bunda. Akhirnya ia telah sampai di panti asuhan ini. Panti asuhan tempat dimana Darrel diadopsi, ia berharap bisa mengetahui sesuatu dari panti ini soal kondisi Darrel. Melihat dari kondisinya, panti ini sepertinya sudah berdiri cukup lama di tanah ini.

"Ini pantinya?"

Ilene melirik ke arah Rean lalu mengangguk. Sebenarnya Ilene telah meminta Diandra untuk menemaninya ke panti ini, namun Diandra memiliki acara lain. Tanpa ia tahu, Diandra dengan sengaja malah meminta Rean untuk menemaninya ke panti ini. Ilene hanya bisa pasrah saat Rean sudah berdiri di depan pintu rumahnya sesaat setelah Darrel berangkat ke kantor.

Ilene bersyukur karena Rean tidak bertanya macam-macam selama perjalanan. Mereka hanya berbincang sesuatu yang ringan tanpa membahas niat Ilene kemari. Rean memang selalu bisa memahaminya, seperti dulu.

"Ayo masuk,"

Ilene mengangguk lalu mengekor di belakang Rean.

Seorang wanita paruh baya yang sepertinya salah satu pengurus panti menghampiri mereka lalu tersenyum ramah.

"Saya Bu Sinta, pengurus panti ini. Ada yang bisa saya bantu, Pak Bu?" perempuan paruh baya itu bertanya.

"Maaf Bu, saya boleh bertanya sesuatu?"

"Tanya apa ya?"

"Saya ingin bertanya tentang mantan penghuni panti ini, bisa Bu?"

Perempuan paruh baya mengangkat alis, bingung. Namun kemudian ia segera mengubah mimik wajahnya menjadi ramah kembali, "Oh iya, tapi sebaiknya kita bicara di dalam," Perempuan paruh baya itu menjulurkan tangannya meminta Ilene dan Rean untuk mengikutinya.

Ilene dan Rean mengekor di belakang. Bu Sinta mengajak mereka ke suatu ruangan. Ruangan ini lebih seperti ruang kerja yang jauh dari kebisingan anak-anak panti.

"Mau minum apa?" Tanya Bu Sinta sesaat setelah mereka duduk di ruangan itu.

Ilene segera mengangkat tangan, "Tidak perlu Bu, terimakasih. Kami hanya sebentar,"

Bu Sinta mengurungkan niatnya untuk mengambil air minum saat melihat mimik wajah Ilene yang tegang. Sepertinya wanita yang menemuinya ini tengah diburu waktu.

"Mohon maaf, tapi Neng dan Kakak ini siapa?"

"Saya Ilene, ini teman saya Rean. Saya istri dari Mas Darrel,"

Kening Bu Sinta berkerut mendengar nama yang tidak asing di telinganya. "Darrel yang diadopsi Keluarga Hairlangga?" Tanya Bu Sinta terkejut.

Ilene menganggukkan kepalanya sedangkan Bu Sinta menatapnya dengan mata melebar, "Oh ya ampun, saya tidak menyangka akan bertemu dengan istri Darrel hari ini. Sudah bertahun-tahun berlalu, syukurlah Darrel sudah menjalani kehidupan yang lebih baik,"

Ilene menganggukkan kepalanya, "Terima kasih sudah merawat Mas Darrel selama beberapa waktu," ujar Ilene tulus.

"Jadi apa yang mau ditanyakan Nak Ilene?" Tanya Bu Sinta selanjutnya.

Ilene menautkan jari jemarinya dengan gugup, "Maaf, tapi pada usia berapa Mas Darrel tiba di panti ini?" Tanya Ilene ragu.

Bu Sinta sedikit terkejut dengan pertanyaan Ilene. Ia mengangkat alisnya, sepertinya bingung karena seharusnya Ilene mengetahuinya dari Darrel sendiri. Namun, Bu Sinta memilih bungkam tidak ingin mencampuri hal yang bukan menjadi urusannya.

"Darrel tiba di panti ini saat usia sepuluh tahun, saya kaget karena Darrel datang kemari dengan kondisi penuh luka." Jelas Bu Sinta.

"Penuh luka? Lalu apa Mas Darrel mengatakan darimana luka itu?" Tanya Ilene penasaran.

Bu Sinta menggeleng lemah, "Darrel cuma bilang bahwa dia jatuh karena dikejar anjing. Dia juga bilang bahwa dia seorang tuna wisma. Selebihnya Darrel lebih banyak diam dan lebih banyak menyendiri. Darrel berbeda dari anak lain, dia bahkan tidak ingin bergaul dengan anak lain selain Melinda,"

Ilene tersentak mendengar nama Melinda disebut di tengah penuturan Bu Sinta. "Tunggu sebentar, Melinda?" Tanya Ilene kaget.

"Iya, Melinda. Cuma dia anak yang bisa mendekati Darrel. Melinda selalu mendekati Darrel meski Darrel terlihat mengacuhkannya. Pernah saat itu Darrel hampir tenggelam karena ulah seorang anak, tapi Melinda yang menyelamatkannya. Sejak itulah kemanapun Darrel pergi, Melinda selalu ada disana begitu juga sebaliknya,"

Ilene tercengang dengan penuturan ini. Hubungan Melinda dan Darrel ternyata lebih dalam dari yang ia kira. Mereka bahkan telah terikat sedari mereka kecil.

"Kenapa Nak Ilene?"

Ilene segera tersadar dari lamunannya saat mendengar teguran dari Bu Sinta. Ilene segera menggeleng perlahan, "Tidak apa-apa Bu,"

Ilene kembali mengumpulkan fokusnya, ia tidak boleh terpengaruh dengan kabar ini dan melupakan tujuan awalnya kemari. Pasti ada alasan kenapa Darrel bisa mengidap penyakit kejiwaannya ini. Itulah yang ia ingin cari tahu.

"Lalu apa Ibu tahu kehidupan Mas Darrel sebelum ke panti ini? Identitas orang tua kandungnya mungkin?"

Bahu Ilene terasa merosot saat Bu Sinta menggelengkan kepalanya, "Tidak, kami tidak tahu apa-apa tentang Darrel dan sepertinya Darrel enggan membicarakannya kepada siapapun," ujar Bu Sinta terlihat menyesal karena Ilene memasang wajah kecewa.

Seluruh kekuatan Ilene terasa menguap ke udara mendengar perkataan Bu Sinta. Ia tidak menduga bahwa perjalannya kemari hanya menjadi sia-sia. Ternyata panti asuhan ini juga tidak memiliki info yang cukup tentang Darrel.

"Maaf Nak Ilene, tapi kenapa Nak Ilene tidak bertanya pada Darrel saja? Darrel pasti akan membicarakannya jika Nak Ilene ingin tahu,"

Ilene menggeleng lemah mendengar perkataan Bu Sinta. Bahkan orang yang tidak pernah bertemu mereka pun merasa heran dengan hubungan mereka, "Ibu salah. Dia tidak pernah membicarakan apapun kepada saya meski saya istrinya," ucap Ilene lemah.

Rean terlihat bersimpati lalu meremas bahu Ilene, memberi suatu kekuatan.

Bu Sinta langsung terlihat menyesal mendengar ucapan Ilene yang memiliki banyak emosi di dalamnya. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu dan memperkeruh kondisi yang tengah di hadapi Ilene.

Ilene berdiri dengan perasaan kecewa yang terpasang di parasnya. "Kalau begitu, saya permisi Bu. Terima kasih untuk informasinya,"

Bu Sinta terlihat tidak enak hati, "Saya minta maaf jika tadi saya menyinggung hati Nak Ilene."

Ilene hanya menyunggingkan senyuman tipis, "Tidak apa-apa Bu, kalau begitu kami permisi." Ilene menyalami tangan Bu Sinta sebagai ucapan terimakasih.

"Terima kasih Bu," Rean ikut mengambil langkah yang sama dengan Ilene, menyalami Bu Sinta dengan sopan.

Dalam perjalanan pulang, Ilene masih tertegun di dalam pikirannya. Ia terus memikirkan fakta yang baru saja ia terima. Hubungan Darrel dan Melinda ternyata bukan sedangkal yang ia kira. Seperti kata Melinda, sedari dulu mereka telah saling menyayangi dan memiliki. Fakta itu seolah menamparnya dengan telak, ia telah kalah jauh dibandingkan Melinda. Pantas saja Darrel begitu membela Melinda saat itu. Lalu apa yang harus ia lakukan lagi agar ia bisa satu langkah lebih maju dibanding Melinda?