webnovel

Suami Diskonan

Sinopsis Chiraaz Almeera seorang wanita muda yang tengah mengecap indahnya madu pernikahan, harus dihadapkan pada keadaan yang tidak diinginkan. Perubahan sikap Eljovan, suaminya, sangat membuatnya tersiksa. Pria itu menyiksanya dengan berbagai tuduhan yang sangat menyakitkan dan mencurigainya memiliki hubungan dengan pria lain. Hari demi hari Chiraaz jalani, layaknya dalam penjara emas yang membelenggu. Teror dari orang asing terus datang padanya dan membuatnya semakin gila. Tidak ada ketenangan maupun kedamaian yang ia rasakan. Terlebih lagi sejak kehadiran Aletha, orang dari masa lalu, yang menjadi tetangga barunya. Semakin membuat hubungan Chiraaz dan Eljovan kian saling menjauh. Ditambah lagi Aletha mengetahui masa lalu Chiraaz, yang bisa menjadi ancaman kapan saja. Akankah Chiraaz bertahan dalam pernikahannya dan berhasil menyingkirkan Aletha? Masa lalu apa yang Alteha ketahui? Benarkah kecemburuan Eljovan hanya alasan untuk menutupi kebobrokanya?

Umma_Saliha95 · História
Classificações insuficientes
324 Chs

12. Kecewa

"Edward stupid! Menyebalkan!" gerutu Chiraaz melangkahkan kaki lebar-lebar di loby apartemen.

Pukul 21.00 Chiraaz baru sampai di apartemen. Hatinya sangat kesal karena tidak sengaja bertemu dengan Edward. Pria menyebalkan itu telah mempermalukannya dengan telak. Chiraaz benar-benar emosi.

"Astaga!" Chiraaz terkejut saat membuka pintu Eljovan berdiri menunggunya.

"Dari mana?" tanya Eljovan dengan nada dingin.

"Pu-pulang dari kantor, El. Ada urusan mendadak," jawab Chiraaz gugup.

"Sampai selarut ini tanpa mengabari?'

"El, biarkan aku masuk dulu. Aku sangat lelah, sungguh El," pinta Chiraaz memelas. Ia memijat keningnya yang sakit.

Eljovan menggeser tubuhnya dan membiarkan Chiraaz masuk. Setelah mengambil minum di dapur, Chiraaz langsung masuk ke dalam kamar. Eljovan mengekor dari belakang, Chiraaz membantingkan tubuhnya ke atas kasur.

Mata Chiraaz terpejam sesaat, lalu berkedip cepat. Eljovan yang mengerti ekspresi tersebut, merasakan istrinya tengah menyimpan beban. Pria itu mengubah posisi duduknya ke dekat istrinya.

"Chiraaz, kamu kenapa?" tanya Eljovan.

"Pusing, El," jawabnya menghembuskan napas kasar.

"Ada apa?" Elljovan mengusap punggung tangan Chiraaz.

"Aku--aku nggak bisa resign, karena kontrak belum habis."

"Waktu tanda tangan memang kamu tidak baca teliti?"

Chiraaz bangun dan duduk bersebelahan dengan suaminya. "Tidak, aku terlalu senang saat itu dan tidak baca dengan teliti."

"Lantas, benar-benar tidak ada cara lain?"

"Ada, El."

"Apa?"

"Aku harus mengganti gaji selama tiga bulan terakhir dan membayar denda karena menyalahi kontrak. Kontrak kerjaku dua tahun lagi." Chiraaz menunduk dalam-dalam.

"Astaga, baru kali ini ada perusahaan seperti itu. Benar0benar gila!" gerutu Eljovan. Ia meraih Chiraaz ke dalam pelukannya dan mengusap punggung istrinya.

"Aku capek, El. Aku mau seperti dulu, jadi ibu rumah tangga saja melayani kamu," kata Chiraa kemudian terisak.

"Sudah, kamu itu hebat loh. Bisa jadi wanita karir, bisa mengurusku juga. Tetap semangat oke." Eljovan berusaha menyemangati istri.

Chiraaz berpikir kenapa Eljovan tidak mau membantunya keluar dari pekerjaan. Sedangkan suaminya itu pasti menyimpan uang banyak. Chiraaz menyeka air mata dengan ujung tangannya, lalu berbalik meraih wajah Eljovan.

"El, kamu punya uang?" tanyanya ragu.

"Ada, Chiraaz, tapi--."

"Apa?"

"Sudah Mama minta kemarin, katanya untuk renovasi rumah di kampung."

"Tidak ada sisa?" Chiraz merasa kecewa.

"Tidak ada, hanya untuk biaya hidup kita dua bulan ke depan. Gajiku juga belum turun untuk bulan ini."

Chiraaz menghela napas panjang, wajahnya berubah jadi kecut. Ia berbalik dan meninggalkan Eljovan ke tempat tidur. Hatinya kecewa karena Eljovan tidak bisa membantunya.

Ia tidak bisa membayangkan jika terus bekerja di luar rumah. Chiraaz takut Eljovan jatuh ke dalam pelukan Aletha. Membayangkan semua yang akan terjadi, tanpa terasa Chiraaz pun terisak.

Eljovan menoleh ke belakang, ia tahu Chiraaz pasti kecewa karena dirinya tidak bisa menuruti keinginannya. Eljovan berjalan ke arah lemari, membuka salah satu pintu dan mengambil bunga yang sudah agak layu, juga boneka teddy bear yang ia bawa sore tadi.

Namun, saat menoleh ke kotak perhiasan milik Chiraaz. Ia terkejut melihat kotak paling besar sudah kosong.

'Haruskah kutanyakan sekarang?' batin Eljovan.

'Tidak, tidak, dia tidak akan terima dan malah balik marah. Baiklah, diam El.'

Eljovan berjalan menghampiri Chiraaz yang tertiidur dengan posisi telungkup. Biarpun suara isak tangisnya tidak terdengar jelas. Dari bahu yang berguncang keras cukup membuktikan wanita itu tengah menangis.

"Chiraaz, ini untukmu," kata Eljovan seraya menyodorkan bunga dan boneka.

Chiraaz masih bergeming di posisinya, wanita itu mash merasa kesal pada suaminya.

"Aku tahu kamu kecewa, aku minta maaf tidak bisa membantu," ucap Eljovan.

"Aku-- tidak pernah meminta apapun darimu. Tapi kenapa di saat seperti sekarang, kamu malah tidak--." Chiraaz menghentikan ucapannya tak sanggup lagi bicara.

"Aku minta maaf, Sayang. Sungguh, permintaan mama kemarin di luar dugaan," jawab Eljovan penuh sesal.

"Aku hanya ingin di rumah, menghabiskan waktu bersamamu apa salah?" Chiraaz kembali duduk, menatap lekat suaminya.

Eljovan duduk di sebelahnya dan memeluk Chiraaz. "Tidak salah sayang, hanya saja keadaan belum mendukung," ucapnya.

Chiraaz tidak mau lagi bicara dengan Eljovan. Tapi berada di dalam pelukan suaminya membuat dirinya sangat nyaman. Chiraaz terus menangis tanpa henti, samar-samar matanya melihat boneka teddy bear. Pikirannya kembali teringat pada Abi sang mantan kekasih.

Flashback.

Di sebuah apartemen, Chiraaz menatap gedung yang berjejer teratur. Saat ini ia tengah menunggu Abi, sang kekasih. Pertemuan tak sengaja itu nyatanya membawa mereka pada pelabuhan cinta.

Karena urusan bisnis yang sangat padat, Abi jarang bisa menemuinya. Pria itu pun membeli sebuah apartemen atas nama Chraaz yang dikhususkan untuk mereka menghabiskan waktu bersama.

Cekrek!

Chiraaz menoleh ke arah pintu, saat mendengar suara pintu itu terbuka. Sosok pria tampan nan gagah itu menyembulkan kepala dari balik pintu. Wajah yang selalu Chiraaz rindukan itu menyunggingkan senyum yang sangat manis dan menawan.

"Kamu telat lima menit!" seru Chiraaz kesal, tangannya ia lipatkan ke depan. Pura-pura marah sebagai hukuman pada Abi yang datang terlambat.

"Im sorry baby," jawab Abi sambil memegang telinganya.

"Aku tidak mau bicara sama kamu, titik."

"Benarkah? Apa tidak akan ada rindu yang terselip di sana?" Abi menunjuk dada Chiraaz.

"Tidak! Aku marah!" Chiraaz berbalik membelakangi Abi.

"Apa kamu bisa menolak ini?" Abi menyodorkan boneka teddy bear dan seikat bunga mawar merah.

Mata Chiraaz membulat sempurna, kemarahannya perlahan luntur melihat hadiah yang dibawa kekasihnya. Chiraaz berbalik menghadap Abi, kekasihnya itu maju dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Chiraaz.

"Jangan marah seperti itu, aku jadi sedih," ucap Abi mendekatkan wajahnya pada bibir Chiraaz.

"Habisnya kamu telat sekali!" seru Chiraaz memundurkan wajahnya menggoda Abi.

"Maaf sayang, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku janji ya," bujuk Abi.

Mata Chiraaz mengerling, kepalanya ia senderkan di dada bidang kekasihnya. "Abi, aku tidak sanggup menunggu lagi. Kapan, kamu bawa aku ke rumahmu?" tanyanya.

"Come on, bersabarlah sedikit lagi."

"Kamu selalu seperti ini kalau membahas hubungan," tukas Chiraaz melaskan dirinya dari rangkulan Abi. Mood nya mendadak berubah kesal.

"Di rumah masih kacau, Sayang. Bukankah sudah kubilang, Mama baru pulang dari rumah sakit," jelas Abi.

Chiraaz hanya diam saja tak mau menanggapi.

"Ayolah Chiraaz, aku sangat rindu kamu. Sudah berapa bulan kita tidak bertemu." Abi kembali memaksa Chiraaz masuk ke dalam pelukannya.

Pria itu meraih dagu Chiraaz, sehingga gadis itu mendongak padanya. Wajah Chiraaz terlihat murung, kristal bening nampak tertahan di pelupuk mata wanita itu. Abi meniup wajah Chiraaz, aroma wangi dari mulutnya terasa menenangkan.

Chiraaz menutup matanya, menikmati hembusan napas yang begitu hangat dan irama detak jantung kekasihnya. Abi mendaratkan bibirnya di bibir Chiraaz, mereka berdua larut dalam suasana romantis. Saling memagut dan memainkan lidah.

"Apa boleh, aku meminta lebih?" tanya Abi.

"Ah-- apa?" Chiraaz merasa terganggu saat Abi melepaskan bibirnya.

"Aku ingin yang lain," jawab Abi, tangannya menelusup diantara belahan kaki Chiraaz.