Aku hanya tersenyum bangga. Akhirnya, Doli pun harus menerima olokan dari Santi dan Panjul.
"Ternyata, sahabat kita yang satu ini dukunnya manjur juga, ck!" celetuk Santii.
"Dukun dari mana? Aku tuh nggak main dukun-dukunan, ya. Aku pakai rasa sayang." Aku menyanggah ucapan Santi sambil tersenyum penuh arti.
"Aseeek!" Doli meledek.
Malam ini, Dolii dan Panjul memaksaku untuk duduk di kursi ruang tengah. Tempat kami biasa menikmati waktu bersama, menonton televisi atau terpaksa menonton film kartun kesukaan Panjul.
"Aku perhatikan kau seminggu ini lebih sering di kamar." Doli memulai interogasi.
Mendengar itu, aku bermaksud berdiri dan meninggalkan kursi dengan suasana sidang itu.
"Maaf, aku lagi nggak mau sidang skripsi sekarang." Sebelum aku pergi, Panjul sudah siap siaga menghalangiku.
"Yogi..., kamu nggak lihat, aku nggak menyalakan laptop sekarang?" Aku pun berhenti dan Panjul melepaskan kepalan tangannya.
Aku tahu, kalau si Panjul sudah tidak menyalakan laptop saat kami bersama, artinya Panjul sedang serius. Ada hal penting yang harus dibicarakan.
"Kau kenapa?" Doli menyodorkan pertanyaan yang mengisyaratkan kalau memang ada yang tidak beres denganku.
"Aku nggak apa-apa, hanya sibuk belajar." Aku masih berusaha mengelak.
"Kami mengenalmu sudah tiga tahun lebih. Jadi, nggak usah merahasiakan apa pun dari kami. Kami peduli padamu, kita adalah sahabat, bahkan lebih dari sahabat." Ucapan Doli meluluhkan hatiku, membuatku merasa bahawa aku tidak sendirian. Seminggu mencoba menenangkan hati sendirian rasanya sangat melelahkan. Malam ini, aku seolah memiliki tenaga lain. Sahabat, yang selalu memperhatikanku.
Dua orang yang kadang begitu menyebalkan. Namun, aku tahu, mereka adalah sahabat yang baik.
"Aku putus dengan Neti." Aku menunduk. Tiba-tiba, gelombang itu kembali mengempas dadaku.
"Kau serius?" tanya Doli kaget. Itu tidak dibuat-buat.
Aku mengangguk. Rasanya semakin sesak. "Neti yang memutuskanku."
Dua sahabatku itu hanya diam, sepertinya mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat untuk beberapa saat.
"Sudah. Nggak usah sedih. Ingat, kau harus segera memulai pelajaranmu." Panjul memberikan saran yang menurutku tidak memuaskan. Jelas saja aku tetap akan mengerjakan tugas sekolahku, tetapi itu bukan pelarian untuk luka hatiku.
"Yogi..., di luar sana, ada seseorang yang menunggumu. Dia adalah perempuan terbaik untukmu. Bergegaslah memantaskan diri. Nggak usah mikirin masa lalu." Doli menepuk bahuku.
"Eh, makan di luar, yuk. Minas Pak Faris." Panjul mengalihkan bahasan kami. Minas adalah singkatan dari mi goreng ditambah nasi goreng. Salah satu makan malam yang banyak dinikmati anak kos sekitaran tempat tinggalku. Pak Faris adalah nama pemilik warung nasi goreng.
Aku hanya mengikuti kemauan mereka. Suasana tempat kos malam itu terasa sendu. Dua sahabatku seperti bisa merasakan apa yang aku rasakan. Sungguh betapa pedihnya rasanya hati ini bila ditinggalkan tanpa alasan yang jelas.
Ternyata, pengakuanku semalam tidak selesai sampai tempat makan dan kos saja. Doli dan Panjul memberi tahu Santi. Alhasil, hari ini di kampus, Santii juga ikut prihatin kepadaku. Membuatku semakin tidak nyaman dengan hal ini. Mereka memintaku untuk segera move on. Pada saat yang sama, mereka seolah mengingatkanku bahwa tidak seharusnya aku disakiti begini. Juga menyayangkan hubungan yang sudah berjalan cukup lama itu berakhir sia-sia.
"Kok bisa ya, Neti mutusin kamu, Yogi?" Santi menatapku tajam. Suaranya yang cukup keras hampir saja menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar kami.
"Emang apa susahnya bilang putus," jawabku asal.
"Yogi..., bagi perempuan, nggak mudah tahu, mengucapkan putus. Percaya atau enggak, meskipun perempuan yang mutusin duluan, dia bakal nangis sendiri setelah itu."
"Udah deh, Santi. Buktinya, sekarang Neti memang nggak menginginkan aku lagi." Aku berusaha agar mereka tidak mengungkit Neti lagi. Setiap kali nama gadis itu disebut, tepat saat itu juga dadaku seperti teriris.
"Oke. Tapi, aku hanya menyayangkan. Pasti Neti punya alasan yang kuat untuk keputusan itu."
"Simpan saja penasaranmu, Santi. Kamu kan orang yang selalu menyimpan banyak hal dalam hidupmu. Bambang, salah satunya." Aku menatap wajah Santi yang terlihat kesal. Bambang, itu nama lelaki yang Santi sukai diam-diam sejak tahun pertama kami masuk sekolah. Seingatku, sejak dia ikut organisasi remaja indonesia, dia sudah menyukai lelaki itu.
"Heh! Nggak usah bawa-bawa Bambang, dia udah bahagia dengan Marina. Pacarnya." Suara Santi meninggi.
"Ya udah, nggak usah bawa-bawa Neti lagi, dia sudah memilih melupakan aku." Ada rasa getir di bagian kalimat terakhir.
"Udah, deh." Doli berhenti memetik gitarnya sejenak. Dari tadi, dia sibuk dengan melodi-melodi kecil, tidak peduli pada perdebatanku dengan Santi. "Kalau kalian ribut gini, kenapa nggak jadian aja?"
"Ih. Malas!" ucap Santi.
"Aku juga nggak mau, Santi." Aku hanya tersenyum. Aku tahu, Santi sangat mencintai Bambang, dan aku tidak mungkin mencintai Santi. Aku termasuk lelaki yang tidak suka berpacaran dengan teman sendiri. Apalagi sahabat.
Akhirnya, jam mulai belajar datang. Hari ini adalah hari belajar pelajaran umum. Kami sudah sepakat, tidak akan mengambil kelas yang sama pada pelajaran umum agar bisa kenalan dengan siswa-siswa lain.
Ada hal yang aku sukai di pelajaran umum. Sejak pacaran dengan Neti, aku cukup membatasi diri untuk dekat dengan siswi-siswi lain. Selain manja, Neti termasuk perempuan yang posesif setengah mati.
Pada pelajaran umum semester ini, aku senang karena ada Humairoh—gadis kecil anak Bu Darmawanti, Guru Pendidikan Bahasa Indonesia—yang selalu hadir bersama ibunya. Humairoh adalah gadis tiga tahun yang kalau bertemu denganmu, pasti ingin kamu masukkan ke ransel dan membawanya pulang. Dia sangat lucu. Selucu Masha si kerudung pink, hanya kurang Bear-nya saja.
Melihat Humairoh, aku teringat dua adikku yang masih kecil. Hasan dan Husain. Mereka kembar. Keduanya laki-laki.
Hasan dan Husain baru lima tahun. Mereka adalah salah satu alasan, mengapa aku menyukai anak kecil. Setiap melihat anak kecil, aku jadi teringat dua jagoan kecil ini.
"Om, aku mau duduk dekat Om, boleh ya?" ucapnya dengan lidah cadelnya. Bu Darmawanti memberi isyarat agar aku mengabulkan keinginan anaknya agar kelas tidak kacau. Anak itu akan menangis jika tidak dituruti permintaannya. Aku merasa bukan sebagai siswa, melainkan baby brother.
Aku membantu Humairoh duduk di sebelahku. Saat aku mulai memperhatikan pelajaran, dia menatapku seperti menginginkan sesuatu. Benar saja.
"Om, aku mau bikin gambal boleh? Pinjam pensil dong, Om." Aku mengambil selembar kertas di tasku, lalu meminjami Humairoh pensil. Beberapa orang siswa yang lain sesekali memperhatikanku. Namun, tatapan
mama Humairoh sepertinya lebih menakutkan daripada mecampuri urusan Humairoh denganku.
Humairoh seolah membuatku lupa kalau aku sedang patah hati. Tingkah lucu dan cara bicaranya membuatku senang bisa menemaninya. Ternyata, bermain dengan anak kecil membuat kita menjadi muda lagi. Sesekali, aku harus menirukan gaya bicara Humairoh yang bertanya kepadaku, "Om cuka cama gambal Humailoh?"