selalu ada setiap hari, aku tidak memiliki banyak teman dekat. Bahkan, teman Neti pun tidak begitu banyak yang kukenal. Neti memang lebih sering bersamaku dan ketiga sahabatku. Beberapa saat kemudian, Neti pun sampai. Dia duduk persis di hadapanku. Aku berusaha memberikan senyuman terbaik yang ku punya saat itu. Senyuman yang suatu ketika ia katakan pernah membuatnya rindu. Namun, sepertinya tidak untuk kali ini. Neti hanya menatapku dingin. Kami berhadapan, menyamping ke arah jalan. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang dulu begitu hangat. Penuh kebahagiaan. Namun, hari ini—apa yang pernah kutatap di wajah itu—seolah sirna. Meski rambutnya yang digerai tertiup angin, ia tetap mempesona. "Kamu mau minum apa?" tanyaku, berusaha memecahkan kebekuan yang menimpa kami. "Aku nggak mau minum." Suaranya terdengar datar. Bukan seperti kekasih yang kukenal. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku, entah kenapa rasanya ada perasaan lain di dadaku. Aku tidak mengerti.
"Kamu masih marah padaku, Neti?" "Enggak." Dia menatapku, sedikit lebih baik daripada tatapan saat dia sampai.
"Adakah yang salah denganku?" Aku mencoba mencari tahu apa yang membuatnya seberbeda ini.
"Enggak." Satu kata itu bikin kesal. Tapi, aku berusaha menahan.
"Neti, ada apa sebenarnya? Kenapa sikapmu jadi aneh begini?"
Neti menggenggam jemariku dengan jemarinya. Aku merasa sentuhan itu dingin. Hambar. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik genggaman itu. Ia seperti ingin melepaskan, tetapi matanya seolah mencari waktu yang tepat.
"Neti—?"
"Yogi." Dia mengatur napasnya, "Harusnya aku nggak pernah memulai ini denganmu. Dan, nggak pernah membiarkan kamu masuk ke hidupku." Dia berhenti, menahan sesuatu yang tidak sanggup dia tahan di kelopak matanya.
"Neti..." Suaraku tetahan. Aku menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini bermuara. Ada gelombang besar di matanya.
".. Aku nggak bisa meneruskan hubungan kita. Papa dan Ibuku beserta keluargaku nggak akan pernah bisa menerimamu." Dia melepaskan genggaman tangannya.
Gelombang besar itu mengempas tubuhku.Melempar aku ke karang runcing di pinggir pantai berbatu. Lalu, batu itu menembus dadaku. Hancur. Aku kehilangan suaraku. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Tubuhku terasa membeku. Neti adalah perempuan yang sangat kucintai. Dua hari belakangan, aku terus mencarinya, juga ke sekolah Seni untuk bertemu dengannya. Berusaha agar semuanya baik-baik saja. Berharap semua yang kuperjuangkan, yang kami jalani dua tahun terakhir, rencana-rencana yang kami ukir tidak berakhir sia-sia. Aku bahkan hampir tidak fokus dengan urusan kuliahku. Bagiku, Neti adalah bagian penting dalam hidupku. Namun, sore ini gelombang besar yang keluar dari matanya itu menghantam dadaku. Remuk dan luluh lantak.
"Yogi, maafkan aku. Tapi, keluargaku adalah hal yang nggak bisa kutukar dengan apa pun. Termasuk denganmu." Dia berusaha menenangkanku, mencoba terlihat kuat, atau mungkin dia memang kuat. Neti seperti telah mempersiapkan semua ini sejak lama. "Maaf, aku harus pergi, Yogi." Dia melangkah tanpa menunggu balasan dariku.
"Neti...," ucapku mencoba menahan kepergiannya, tetapi suaraku tidak keluar. Tubuhku ingin mengejarnya dan memohon agar ia tetap tinggal. Namun, tidak kulakukan. Entah kenapa seolah ada yang menahan diriku untuk tidak mengejarnya meski aku ingin memperbaiki semuanya.
Sore ini, aku sadar, ini adalah hal yang disiapkan oleh Neti sejak lama. Juga menjadi alasan kenapa dia tidak mau mengenalkanku kepada keluarganya, padahal usia hubungan kami sudah dua tahun. Juga alasan kenapa dia selalu mencegahku untuk mengantarnya sampai ke rumah. Dia benar-benar tidak ingin memasukkanku ke keluarganya. Bahkan, untuk membuat keluarganya mengenalku pun tidak sama sekali.
Aku meneguk lagi kopi susu yang berada di meja setelah sekian menit Neti meninggalkanku. Mencoba tetap tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, kopi susu yang terasa pahit itu seolah menyadarkanku, inilah kenyataan sebenarnya yang harus kuterima.
Senja di alun-alun datang. Langit membakar diri. Mengisyaratkan akan ada yang berubah pada hari ini. Mau tidak mau, senja akan berlalu. Suka tidak suka, kehidupan akan terus berjalan. Namun, apakah menyembuhkan hati yang terempas karang tajam semudah senja berganti malam?
Seminggu telah berlalu sejak gelombang mengempas dadaku. Sekuat tenaga aku membuat diriku terlihat baik-baik saja. Bertahan dalam rasa sakit yang kian hari kian lebam. Bak pisau yang mengiris-iris sebentuk daging di bilik dada sebelah kiri. Ngilu.
Aku sengaja tidak banyak berinteraksi dengan "anak-anak aneh" yang akan menertawaiku jika saja mereka tahu aku diputus paksa oleh Neti. Aku tidak ingin mereka membuatku merasa jatuh. Bagaimana tidak, di antara mereka, akulah yang selalu mengatakan diriku paling beruntung. Dua tahun hubunganku bersama Neti, kami hampir tidak pernah bertengkar besar. Hanya bertengkar kecil yang akhirnya menjadi bumbu pelezat hubungan kami.
Mana mungkin aku berpikir kalau semuanya akan berakhir sesakit ini. Dari awal, Neti selalu meyakinkanku bahwa dia akan menerimaku apa adanya. Dia tidak masalah dengan perbedaan keluarga kami.
"Uang bisa dicari, tapi kebahagiaan nggak pernah bisa dibeli." Kalimat yang menjadi andalan Neti saat melihatku yang kadang membuatnya lelah. Kini, kalimat itu seperti tidak memiliki kekuatan lagi. Hanya kalimat basi yang bisu.
Aku tahu betul, Hadie Wijaja adalah salah satu pengusaha sukses di kota ini. Asetnya ada di mana-mana. Beda jauh dengan orangtuaku. Ayahku hanya seorang karyawan swasta di kampung dan Ibu hanya seorang ibu rumah tangga. Selain mengandalkan penghasilan ayahku yang tak seberapa, orangtuaku mencukupi kebutuhan keluarga kami dengan hasil menjahit. Keluargaku dan keluarga Neti memang tidak sepadan. Hal yang awalnya membuat Doli, Panjul, dan Santi, juga ibuku sempat khawatir kalau hubungan kami tidak akan bertahan lama. Aku masih ingat, Doli sempat menjadikan hubunganku sebagai bahan taruhan. Konyol.
"Kalau Yogi dan Neti berhasil melewati empat bulan pertama, aku traktir kalian bertiga makan di Warung Bude Meri, seharian," ucapnya berapi-api.
"Siapa takut!" jawab Panjul antusias. Ia memang tahu, Doli tidak mengharapkan apa-apa kalau dia menang. Dia hanya ingin menunjukkan kepadaku bahwa feeling-nya tidak pernah salah.
Aku sempat protes tentang hal yang sedang dilakukannya. Namun, mereka bertiga memiliki suara yang lebih kuat daripada aku sendiri. Akhirnya, aku membiarkan mereka menjadikan hubunganku dengan Neti sebagai ajang taruhan mereka. Ajang olok-olokan.
Pada hari jadian bulan keempat, Neti datang menemuiku, seperti tiga bulan sebelumnya dia merayakan dengan sepotong kue tar yang cukup untuk dimakan berlima. Santi dan Panjul berbisik, terlihat kagum. Entahlah, yang pasti aku tahu apa yang ada di pikiran mereka. Makan gratis!
"Kau keren, Bro!" Akhirnya, Doli mengakui kelebihanku. Maksudku, ia mengakui kalau dia salah menilai. "Dia perempuan yang patut kau pertahankan," tambahnya.