webnovel

Bab 1

"Sssh! Kalau dipikir-pikir iya juga, ya ... kenapa dia selalu memaksaku? Memangnya dia sibuk mengerjakan apa, sih? Seakan-akan hanya aku dokter yang bisa dia peralat seperti ini!"

Teriakan yang membuat bibir Nara bergetar-getar setelah menghunuskan hafas dari lubang hidungnya yang kemasukan air akibat hujan deras malam itu.

Ocehannya terdengar sampai radius satu kilometer bersahutan dengan sambaran petir yang ikut memberi warna dalam gelapnya perbatasan kota.

Kesal bukan kepalang karena ia harus membatalkan janji pertemuan pertamanya dengan seorang pria yang dikenalkan oleh sahabatnya, Trily.

Dua puluh delapan tahun lamanya, ia harus setia dengan status 'Belum Menikah' yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk di dalam dompetnya. Bisa jadi tahun depan rekor itu bertambah, karena pria yang menantinya di restoran seafood paling tersohor itu adalah seorang penasehat hukum yang sangat tepat waktu. Betapa kecewanya pria itu, jika Nara semenit saja telat menemuinya.

Bersama kedua juniornya yang membawa peralatan medis, ia menuju mobil mewah yang sedang berapi-api setelah beberapa menit lalu menabrak pembatas jalan.

Aroma Citrus semakin menyengat ketika ia mendekati bangku kemudi yang asapnya mengepul hitam di bagian depan. Body mobil yang penyok, pintu yang susah dibuka, dan tetesan bahan bakar yang bercampur air hujan memaksa Nara untuk cepat-cepat mengeluarkan seseorang dari dalam mobil itu, karena kobaran api pada bak depan mulai merambat ke aspal dimana bahan bakar mobil itu menggenang.

"Hey, apa Anda mendengar suara saya?"

"Dok! Mi—minggir!"

Rendra, Perawat magang yang menjadi salah satu anak buah Nara berhasil membuka pintu mobil yang macet itu secara paksa.

Seorang pria terlelap dengan darah mengalir dari ujung keningnya. Kepalanya bersandar pada punggung tangan yang erat dengan kemudi. Nara berusaha mencari getaran jantung pria itu dengan stetoskopnya.

"Gawat, siapkan penanganan darurat, cepat!" perintahnya sambil menggigit kabel stetoskop yang menghalanginya.

Pria yang hampir kehabisan napas terbaring di atas tandu, darah di wajahnya turut mengalir bersama air hujan.

Nara meletakan kedua telapak tangannya di tengah-tengah dada pria itu,"Satu, dua, tiga, empat! Satu, dua, tiga, empat, tahan!"

Ia berulang kali memompanya, namun detak jantungnya tak kunjung kembali ke dalam tubuh yang dibungkus oleh setelan jas hitam lengkap dengan kemeja biru muda dan bolpoin emas yang menyangkut di salah satu sakunya.

Nara mulai mengerutkan keningnya,"Ayolah ... kumohon!" Jika memang benar-benar akan terjadi, maka ia harus melakukan langkah yang kedua untuk mengembalikan detak jantungnya.

Butiran hujan yang jatuh cukup menguras mood Nara, sedangkan si korban masih belum menunjukan tanda-tanda baik. Sepertinya malaikat pencabut nyawa telah berada disisi mereka tanpa disadari.

"Ren, tolong berikan napas buatan untuknya!"

"Ta—tapi, Dok," jawabnya dengan mata sebesar piring.

"Jangan bilang, kamu belum pernah mendapatkan pelajaran ...."

"Belum, Dok," tegasnya.

Mimpi buruk kini menjadi kenyataan karena satu-satunya teman pria yang ada di lokasi kecelakaan itu hanyalah Rendra. Tangannya mengepal seperti ingin meninju sesuatu, "Sialan, haruskah ciuman pertamaku hanya untuk meniup mulut si ... huaaa! Sungguh menjijikan sekali,"

Bibir yang setengah terbuka itu mulai dipenuhi air hujan,"Baiklah, apa boleh buat. Mari kita lakukan!"

Waktunya memejamkan mata, perlahan-lahan bibirnya mendarat di wajah pria yang mulai memucat itu. Rasanya seperti ada yang aneh. "Dok, salah!"

Rendra menepuk pundak Nara yang sedang serius meniup lubang hidung si pria itu.

Mata Nara seketika melebar mengetahui udara yang ia hembuskan ternyata masuk ke dalam ruang yang salah. "Astaga!" Bibirnya tak sengaja membawa beberapa rambut yang tumbuh di dalam hidung pria itu hingga sebagian menempel pada janggut Nara.

"Hmm ... huft!" tak lagi ingin memejamkan matanya, ia melakukannya dengan baik. Bibir mereka menjadi distributor terbaik untuk perpindahan udara hangat yang menstimulus jantungnya untuk berdetak kencang, sekencang tiupan Nara membalonkan perut yang terbaring itu.

Di hadapan Vivi dan Rendra, ia melakukannya berulang kali.

"Benar-benar mentor yang sesungguhnya!" ucap Rendra.

"Kalian ini, tunggu apa lagi? Cepat evakuasi ke dalam mobil!" kesalnya kepada kedua rekannya yang melongo menyaksikan adegan itu.

Percikan air dari kaki-kaki tim squad Nara mengantar tandu yang ditumpangi si pria memasuki mobil ambulan Rendra bergegas ke ruang kemudi, sedangkan Vivi menemani Nara di ruang perawatan yang ada disisi belakang ruang kemudi.

"Dok, detak jantungnya normal. Ta-tapi darahnya belum teratasi!" ucap Vivi. Perawat yang selalu mengalami Panic Attack ketika berurusan dengan darah, biasanya akan kembali tenang setelah meminum teh Chamomile, namun malam itu ia meninggalkan botol minumannya di ruang Basecamp.

Nara membuka kelopak mata pria yang terbaring, memastikan gerakan kedua bola matanya tidak berputar seperti roda troli yang sering ia temui di koridor rumah sakit. Terkesima oleh wajahnya yang tampan dan bibirnya yang tiba-tiba bergumam seakan ingin membisikan sesuatu, Nara memasang telinganya di bibir yang terlihat melambai-lambai itu.

"Uagh ... Uegh!" Pria itu memuntahkan isi perutnya ke wajah Nara.

"Berengsek, aaaaargh dasar gila!" Nara geram menggigit giginya. Rambut pirangnya yang anggun tersiram isi perut pria itu, merubahnya seperti mie kuah dengan toping beraneka ragam.

"Pakai ini, Dok!" Vivi meminjamkan sapu tangannya.

Nara mengibaskan rambutnya, memerasnya hingga kering. Ikat rambutnya pun ikut terbang meninggalkannya. Matanya mulai merah menyoroti sebuah papan nama yang tersemat di kemeja si pria itu. 'Ardita Pramana' ia tak akan pernah melupakan nama itu.

Mobil yang dikemudikan Rendra mulai memasuki area parkir rumah sakit. Sudut-sudut lobby dipenuhi oleh percikan lampu kamera wartawan dan polisi yang penasaran.

"Minggir! Tolong beri jalan!" teriaknya sambil memegangi kantung cairan yang tersambung pada tandu menuju ruangan gawat darurat.

Seorang Dokter yang telah bersiaga di ruangan itu memberikan sambutan,"Bagaimana denyut jantung dan pernapasannya?"

"Denyut jantung lemah dan frekuensi pernapasannya tak stabil, Dok!" balas Nara.

"Baiklah, kita akan terus monitor tanda-tandanya. Setelah itu, tolong persiapkan untuk pemeriksaan radiologi dan beri tahu lab untuk segera mengambil sampel darah sekalian, ya!" imbuh Dokter itu.

Dokter Darril, pria dua puluh lima tahun yang menjadi pimpinan direksi di rumah sakit Sanita. Cinta pertama Nara yang sempat bersemi saat di bangku kuliah, tapi apalah daya, nasib makin menjauhkan hubungan mereka karena perbedaan status dan latar belakang yang dimiliki. Darril adalah anak dari pendiri rumah sakit Sanita, sedangkan Nara hanyalah anak dari seorang perawat yang bekerja dengan orang tua Darril.

"Pasien sudah stabil, kamu bisa pulang sekarang."

"Baik, Dok. Tapi, mengapa banyak sekali wartawan dan polisi di depan?"

"Oh, tadi seseorang dengan luka tembak di dadanya, namun nyawanya tak tertolong," jelasnya.

Nara hanya menguap mengekpresikan rasa terkejutnya, sudah barang pasti seseorang yang ditembak dadanya akan seketika tewas, kecuali yang ditembak adalah jantungnya.

"Sepertinya dia orang penting," bisik Darril.

Masa bodoh dengan hal itu, pasien kritis dengan luka tusuk, tembak, kecelakaan bahkan korban bunuh diri pun sering mampir ke rumah sakit Sanita. Seakan-akan tempat ini menjadi rest area sebelum menuju akhirat.

***

"Astaga, rambutku berantakan sekali," bibirnya berdering manja pada cermin yang menempel di dinding. Nara baru sadar, jika ikat rambutnya tak lagi ada lagi di kepalanya. Untung saja ia batal menghadiri pertemuan dengan pria yang dikenalkan Trily, kalau tidak, bagaimana ia harus merapikan rambut yang seperti mie kuah itu.

"Maaf, ya. Aku belum bisa datang ke acara itu, mungkin lain kali." Satu pesan terkirim kepada Trily.

Nara tak henti menatap langit-langit kamarnya menunggu balasan Trily. Satu-satunya alasan yang memaksanya bertahan di rumah sakit Sanita adalah mendiang seorang Ibu yang menginginkan salah satu anaknya menjadi seorang dokter. Pesan-pesan terakhir yang masih diingat olehnya adalah 'Apapun yang terjadi, nyawa tetap di atas segalanya'. Entah apa maksudnya, tapi kalimat itu terus muncul di kepalanya ketika menemui pasien yang berada di ujung ajal. Terasa mustahil menyelamatkan seseorang ketika diri sendiri saja rasanya seperti sekarat.

Benar-benar cita yang mulia, tapi pada kenyataanya tetap saja ia harus bekerja dalam tekanan Darril yang tak kenal waktu, tentu saja itu membuatnya sangat frustasi. Belum lagi perintah-perintah Darril yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan terpaksa harus ia lakukan demi bertahan di rumah sakit itu.

Hujan tak pernah berhenti mengguyur kota bunga di bulan Desember, semakin gelap semakin deras suara yang dihasilkan atap rumah Nara. Percikan air yang terbawa angin menempel pada jendela-jendela kamar senantiasa ikut mendinginkan isi kepala yang mendidih dengan dendam kematian ibunya.

"Hujan memang tak menyembuhkan luka. Paling tidak, hujan mampu menyembunyikan air mata ini,"

Kring!!! Kring!!!Kring!!!!

Ponsel yang ikut tidur dengan Nara berulang kali menggetarkan telingganya yang baru saja tertidur.

" 02.16: Nara, bisa ke rumah sakit sekarang?"

"02.19: Pasien kecelakan yang kita tangani meninggal, Ra."

"02.20: Hubungi aku secepatnya!"

***

Terik mulai masuk melalui jendela, silaunya mengganggu tubuh lelah yang ingin bersantai seharian menghabiskan hari libur. Rasanya berat sekali untuk menggeser satu senti saja selimut yang menutupi wajah ngantuk itu. Tapi, ada pesan yang dinanti-nanti Nara, tanggapan pria yang dikenalkan oleh Trily. Menanti balasan pesan yang dikirimkan semalam rasanya seperti menanti pengumuman kelulusan.

Pesan Darril tersemat di notifikasi layar ponselnya."Aaassial!!! Wuaaa!! Harus bagaimana ini!"

Gelagap tak karuan, seperti mendengar kabar 'Tidak Lulus' Nara menuju rumah sakit saat itu juga.

Pita kuning mengelilingi ruang gawat darurat, beberapa Polisi bersama Darril menyibak keluar dari garis itu.

"A—apa yang terjadi, Dok?"

"Kita berdua akan dimintai keterangan terkait kematian pasien semalam," ungkap Darril.

"Bukankah semalam dia terlihat baik-baik saja?"

"Iya, justru menunjukan tanda-tanda yang baik, namun berselang beberapa jam kemudian, darah keluar dari telinganya. Dia juga sempat mengatakan beberapa kali soal ikat rambut," jelasnya.

"Ikat rambut?"

Sudah jatuh tertimpa tangga, begitu terkejutnya Nara karena nyawa yang ia selamatkan semalam adalah seorang yang ada dalam daftar pencarian Polisi sekaligus menjadi tersangka penembakan yang menewaskan pendiri sebuah perusahaan televisi swasta.

Darril membawanya untuk duduk berdua di kursi koridor yang sepi,"Sebenarnya, semalam salah satu kerabat dari pasien, menemuinya."

"Hah!" kejut Nara mengangkat alisnya.

"Kami menemukan jarum suntik yang tergeletak dibawah ranjang pasien," tegas Daril.

"Bukankah penjenguk belum diperbolehkan masuk?"

"Aku yakin, itu bukan jarum suntik milik kita dan ikat rambut itu pasti ...."

"Dokter Darrill, Dokter Nara mohon ikut dengan kami ke kantor investigasi!" Polisi tiba-tiba muncul lalu menggiring mereka ke atas mobil bak terbuka.