webnovel

Sleepy Bookmaster

Ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk tidur dan membaca buku. Waktu berlalu, Bayu kini telah lulus kuliah di umurnya yang ke-22. Namun pada suatu hari Bayu tiba-tiba mewarisi artifak berupa perpustakaan yang tertanam di alam bawah sadarnya. Di dunia yang telah dipenuhi oleh mahluk-mahluk fantasi dan supranatural, Bayu sedikit bergairah untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan barunya. "Mari buat dunia ini semakin kacau balau! Haaa... tapi kalau kupikir lagi, aku terlalu mengantuk, mendingan juga tidur."

hatentea · Fantasia
Classificações insuficientes
299 Chs

Anggi VS Anthony (2)

Pada pusat Kota Akademi, tidak jauh dari gedung rumah susun tua, terdapat sebuh plot tanah yang di kelilingi oleh empat bangungan pencakar langit. Entah apa alasannya, namun tanah kosong ini dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengurus. Tanah kosong seluas 140 m2 ini tidak akan terlihat dari jalan raya. Bahkan akibat gedung-gedung tinggi di sekitarnya, cahaya matahari hanya turun ketika siang hari pada puncaknya.

Pada tanah kosong, hanya terdapat rerumputan tinggi yang menyembunyikan sebuah sumur tua. Anggi yang telah sampai di muka tanah, melihat kembali peta lokasi yang dikirimkan oleh Bayu. Ia tidak salah, lokasi ini memang yang ditunjukkan pada pesan. Anggi meneliti tanah yang dipenuhi oleh semak itu, di satu bagian, semak-semak membentuk sebuah jalur. Dedaunannya seperti patah akibat paksaan. Dan dari bau rerumputan yang masih ada di udara, jalur ini belum lama terbentuk. Anggi menyeringai, mengikuti jalur itu dan mendapati sebuah sumur di ujung jalan.

Anggi menghisap rokoknya terakhir kali sebelum menginjaknya ke tanah. Anggi lihat kedalaman sumur, gelap. Anggi nyalakan senter dari ponselnya, melihat kembali lalu menemukan kalau di dasar sumur tidak ada air.

'Jadi dia di sini?'

Tidak segan-segan Anggi langsung lompat ke bawah. Sesampainya di dasar, ia melihat pada satu sisi dinding terdapat lubang terowongan. Gelap, namun memakai senter hanya akan memperingati musuhnya. Tidak banyak pilihan, Anggi alirkan aura ke matanya yang tertutup oleh kacamata hitam. Seketika penglihatannya menjadi lebih terang di kegelapan. Anggi pun berjalan perlahan menyusuri terowongan.

Tidak berjalan lama, Anggi berhenti, dari kejauhan ia dapat mendengar suara langkah kaki. Anggi berjalan kembali sembari berhati-hati tidak menimbulkan suara, ia ikuti suara langkah yang semakin dekat. Tidak lama, ia mendengar suara di depannya berhenti. Ia hentikan langkahnya, lalu menyelubungi seluruh tubuhnya dengan aura. Tidak lama, api merah jingga menyala menyembur ke arahnya.

Woooosh!

Anggi menahan tubuhnya agar tidak terhempas. Api menyelubunginya, tidak dapat membakar kulitnya yang terhalang aura. Anggi lalu menyalurkan aura berlebih ke tangan kanannya, ia tebaskan tanganya membuat api itu terbelah dua. Setelah terbentuk jalur, dengan segera Anggi berlari ke sumber serangan. Tidak terpaut jauh, ia melihat sosok Anthony yang tampak pucat di depan, Anggi tersenyum sinis.

"Tidak buruk, tidak kusangka kau masih bisa berlari sejauh ini!"

Anggi lalu mengarahkan pukulan ke dada musuhnya, Anthony menghindar. Ia tebaskan [Flame Sword] ke arah Anggi, kini tanpa ada api.

Swing!

Tap… Anggi menepis dengan bagian belakang tangan, ia lalu menendang kepala Anthony dengan kaki kanan. Anthony tersungkur di lantai, ia lihat Anggi dengan tajam. Dalam hatinya, ia tidak akan pernah membiarkan dirinya ditangkap.

Anthony lalu berguling menjauhi Anggi, setelah merasa jarak cukup jauh. Ia merasakan sisa aura dalam tubuhnya hanya tinggal sedikit, sekitar seperempatnya. Tidak ada jalan lain, ia pertaruhkan semuanya pada artifak yang ada di dalam dirinya.

"Kau—kau kuat, aku akui itu!"

Anggi melihat Anthony yang mulai mengomel, ia berhenti menyerang, merasa kalau Anthony akan melakukan hal menarik. Anggi menunggu hal apa yang akan dilakukan oleh buronan di depannya.

"Menyebalkan sekali, hah..hah..hah.. aku mungkin belum bisa mengontraknya, tapi bukan berarti kekuatannya tidak bisa dipakai!" Anthony tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya, "Hahaha, hanya ajal yang akan kau terima setelah melihat ini, keluarlah [Tizona]!"

Dari tangan kiri Anthony seketika mengeluarkan cahaya yang menerangi terowongan. Dari balik cahaya itu, muncul sebuah pedang dengan gagang seperti kelopak bunga kalau dilihat dari samping. Pedang itu terlihat indah.

Anthony lalu mengerahkan semua sisa aura yang ia miliki untuk mengeluarkan kekuatan khusus [Tizona]. Pedang pusaka ini dapat membuat lawannya kehilangan niat bertarung, sehingga lawan akan menyerah dengan sendirinya.

Dengan sisa aura yang dimiliki oleh Anthony, ia memperkirakan kalau kekuatan [Tizona] hanya akan berfungsi sekitar lima detik. Apalagi karena dia belum resmi sebagai kontraktor senjata pusaka itu.

Namun lima detik cukup baginya untuk menebas kepala musuhnya yang tidak memiliki niat bertarung. Anthony melihat Anggi yang diam di tempat seperti patung, seringai mulutnya semakin lebar, ia lalu melayangkan tebasan ke leher Anggi.

"HAHAHAHA… inilah jadinya kalau kau mengejarku! Dasar jalang!"

Tap.

Sebelum mata pedang sampai ke leher, tiba-tiba Anthony merasa tebasannya terhenti. Ia lalu melirik ke tangan kiri Anggi yang dengan mudahnya menangkap mata pedang.

"!"

"Haa~ sepertinya sekarang auramu telah habis."

Anthony tertegun tidak percaya, ia coba menarik [Tizona] tapi cengkraman Anggi seperti membuat pedangnya tersangkut batu.

"Brengsek!"

Anthony serang Anggi dengan [Flame Sword] di tangan kanannya sembari menyalurkan aura. Namun, api tidak keluar, auranya habis. Melihat pedang lain mengarah padanya, Anggi lepas cengkramannya pada [Tizona], melangkah mundur sambil melayangkan tendangan ke badan Anthony.

Anthony kembali tersungkur di tanah. Ia tengadah, melihat Anggi tidak percaya.

'Bagaimana mungkin kekuatan pusaka tidak ada pengaruh padanya?' Anthony masih tidak percaya, karena kekuatan [Tizona] seharusnya mutlak, hanya ada satu skenario jika musuh tidak terpengaruh oleh kekuatan senjatanya.

Anthony menyadari skenario itu, ia memandang Anggi makin tidak percaya, dia seperti menerima mimpi buruk.

"Ka-ka-kau! Tidak mungkin! Ka-kau… platinum?!"

Anggi tidak menjawab, ia tidak menyalahkan dan membenarkan pernyataan Anthony. Anggi hanya tersenyum melihat Anthony yang seperti mangsa terpojok. Anggi mengingat kembali perkataan Bayu soal [Tizona].

"…tetapi, kekuatan [Tizona] hanya berpengaruh kuat pada lawan yang lebih lemah darinya. Kalau Anthony kita kategorikan sebagai kelas emas, dengan [Tizona] di tangannya dia bisa mendominasi kelas perak dan perunggu."

"Kalau emas?"

"Hmm… mungkin tidak akan berpengaruh kuat. Berdasarkan jumlah aura yang dipakai, aku pikir dia bisa menghentikan pergerakan kelas emas top dalam beberapa detik. Well~ yang pasti berhati-hatilah kalau dia mengeluarkannya, jangan sampai lengah."

"Hmm, kalau begitu tenang saja, Bos. Apa hanya segitu kemampuan senjata itu?"

"Tentu saja tidak, tapi hanya itu yang bisa dia pakai. Dia bukan kontraktornya. Belum lagi, walaupun terkontrak, kekuatan [Tizona] tidak akan maksimal kalau tidak ada [Colada]."

Melihat kondisi Anthony, dalam hatinya Anggi kembali terkagum. Bosnya memberikan informasi tentang artifak dengan mudahnya. Sedikit simpati hadir di pikiran Anggi. Anthony, seorang buronan yang dicari bertahun-tahun, dengan mudahnya jatuh hanya karena seseorang membutuhkan uang cepat. Anggi tertawa kering sambil menggelengkan kepalanya.

"Mari kita akhiri saja ini, masih banyak hal yang harus aku lakukan."

Anggi memperlihatkan kuda-kuda, seperti seorang pesilat. Anggi menstabilkan nafasnya. Menatap dingin pada Anthony.

Pria itu melihat postur tubuh Anggi, dalam kepalanya ia ingat akan postur tubuh itu. Sebelum ke Nusa, dia sudah mempelajari tentang kekuatan militer Nusa. Postur yang diperlihatkan oleh perempuan di depannya adalah postur dari seni bela diri yang diajarkan kepada prajurit di Nusa. Tentara dan polisi, semua penegak keadilan di Nusa mempelajarinya. Seni bela diri silat.

"Tenta—" Sebelum ia selesai berucap, Anthony melihat tubuh Anggi seketika menghilang dari pandang. Detik kemudian, ia merasa dipukul di bagian dada, lengan, leher, lutut, dan mukanya dengan sangat cepat.

Anthony terbaring di tanah, ia melihat kembali Anggi yang kini berdiri santai di sampingnya. Ia merasakan semua tulang di tubuhnya remuk, sakit tak terbayang ia rasakan, darah mulai ia keluarkan dari mulut seiring suara batuk. Sungguh Anthony tidak mau lagi bernafas karena perih di paru-parunya.

"Buhak! Hak hak… hah… ha… kau jal—"

Kretek.

Anthony kehilangan nyawanya. Anggi mematahkan lehernya dengan kaki. Ia tidak menyangka kalau pria itu masih hidup setelah serangan beruntun darinya.

"Ketahanan tubuhnya kuat sekali... dia masih saja bisa bicara."

Anggi mengeluarkan rokok dari saku belakangnya, ia nyalakan lalu menghisap rokoknya.

"Fuuuh~" Anggi memandangi Anthony yang telah menjadi mayat, "Dengan begini misi selesai."

Anggi lalu melihat telapak tangan kirinya, darah keluar dari sebuah bekas luka sayatan. Pusaka tetaplah pusaka, Walau Anggi sudah menyelimuti tanganya dengan aura, ketika dia menahan tebasan tadi, ia tidak menyangka kalau mata pedang itu masih tetap menyayat telapak tangannya.

"Yup, tidak buruk untukku yang setahun nganggur."

Anggi lalu mengambil dua pedang yang tergeletak di tanah. Ia berniat mengambil [Flame Sword] untuk dibawanya kembali ke guild, tapi tidak untuk [Tizona]. Akan banyak masalah jika ia mengambil pusaka dari negeri luar, lagi pula yang menjadikan Anthony buronan adalah pedang pusaka ini. Anggi kemudian menarik tangan kanan mayat, berjalan keluar sambil menggusur tubuh Anthony.

***

Kantor pusat Pikiran Masa.

Di salah satu kantor pemilik kepala redaksi, seorang pria sedang sibuk mengatur berita-berita yang harus dipersiapkan. Tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu ruangannya.

"Masuk!"

Seorang jurnalis perempuan masuk dengan raut wajah serius. Kepala redaksi kebingungan melihat perempuan itu masih ada di Sentral.

"Fara? Bukannya saya sudah menyuruhmu untuk ke Gurindam."

"Maaf, pak! Tapi ada hal penting ingin saya sampaikan."

Kepala redaksi melihat tatap serius dari Fara. Ia mengangguk.

"Pak, izinkan saya pergi ke Kota Akademi."

"Hah? Kenapa? Buat apa?"

Fara lalu mengeluarkan tabletnya, ia memperlihatkan sebuah artikel tentang kehancuran Kota Geplak. Kepala redaksi mengambil tablet lalu membacanya. Ia kebingungan akan apa yang ia baca.

'Apa-apaan ini? Apa ini benar terjadi?!' Dia lalu melihat Fara, ia melihat perempuan itu mengangguk. Ia lalu berpindah ke komputer di kantornya. Ia ketikkan kata-kata kunci tentang serangan di Geplak. Tidak berapa lama ia menemukan beberapa artikel lain, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak.

Kepala redaksi lalu membuka halaman linimasa LIFE-nya. Ia cari satu persatu berita dengan teliti, barulah ketika halamannya mencapai publikasi pada dua hari lalu, ia barulah menemukan artikel-artikel tentang Geplak. Sayangnya, artikel itu seperti terselip dari ratusan berita tentang Hexagone dan Vanessa.

Kepala redaksi membuka salah satu artikel, melihat respon dari pembaca. Nol. Tidak ada respon. Membuka kembali artikel lain. Nol respon. Artikel berikutnya. Masih nol. Hingga pada artikel yang sudah diterbitkan tiga hari lalu, baru ia menemukan komentar dari seorang pembaca yang mendoakan korban dari Geplak. Jumlahnya, tujuh. Dia tidak percaya.

'Apa yang terjadi?!'

Informasi bukan sesuatu yang dapat dikurung. Tapi dari apa yang ia lihat, informasi dari Kota Akademi dan sekitarnya seperti terkurung di sana. Informasi tidak menyebar dengan semestinya.

Kepala redaksi beranggapan kalau ada hal yang salah dari semua kejadian belakangan ini. Ia merasa ada seseorang yang mengontrol situasi dari belakang layar. Dalam hatinya mulai timbul firasat buruk. Ia lalu menoleh ke Fara yang masih berdiri.

"Bagaimana kamu tahu?"

"Seorang teman memberitahu saya."

"Tunggu di mejamu, saya akan bicara dulu pada direktur."

Kepala redaksi itu lalu bergegas menuju ruangan atasannya. Banyak hal yang mengganggu di pikirannya, kejadian ini terjadi sudah berhari-hari. Kenapa Fara yang lebih dulu mengetahui beritanya? Itupun dari temannya.

Apa yang terjadi kepada para jurnalis mereka yang ditempatkan di Akademi? Dia mengatupkan giginya, langkahnya semakin cepat berjalan.