webnovel

18. Kebohongan Demi Kebohongan

"Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus segera berangkat ke kantor setengah jam lagi." Ujar Gendhis sambil meletakkan rantang makanannya dan mempersiapkan tissue juga alat makan minuman lainnya.

"Tapi … Uhhh, tanganku … masih sakit kalau diangkat." Erlangga menunjukkan betapa lemahnya dia saat ini, meskipun sebenarnya kalau hanya mengangkat sebatang sendok dia juga bisa. Gendhis yang merasa bersalah, terpaksa membantu menyuapi tentara pasien ini. Perempuan itu dengan telaten dan sabar membuka kotak makanan dan menatanya dengan rapih diatas meja makan khusus pasien.

"Apa aku perlu menyuapimu juga?" Tanya Gendhis lagi untuk memastikan kalau dia tidak salah tanggap keinginanan pria pesakitan ini.

"Bagaimana ya? Aku lapar tapi mulutku terasa jauh." Jawab Erlangga dengan suara memelas.

"Huft, kamu kan tentara, kenapa kamu bisa selemah ini sih?"

"Hei nona, tentara juga manusia. Dan, kamu lupa ya? Akibat dari kecelakaan saat aku melindungi seseorang seperti apa? Aku harus menjalani operasi dan tidak sadar selama beberapa hari." Jawab Erlangga pura-pura kesal.

"Iya iya maafkan aku. Aku juga tidak mau kecelakaan ini terjadi. Aaaaa," Gendhis mengulurkan satu sendok suapan agar Erlangga mau membuka mulutnya. Nasi liwet buatan Gendhis selalu mendapat pujian karena enak dan mengenyangkan. Erl yang sebenarnya sudah makan, terpaksa membuka mulutnya. Suapan pertama kalinya dia dapatkan dari perempuan lain selain maminya.

"Wah enak sekali. Kamu pasti pintar memasak. Sudah memenuhi syarat untuk menjadi istriku." Jawab Erlangga dengan senyum jahil di bibirnya

"Kalau sekali lagi kamu bicara yang tidak-tidak, aku akan pergi dan tidak akan kesini lagi." Ucap Gendhis dengan wajah cemberut dan bibir mengerut.

"Hehehe, baiklah. Aku minta maaf." Ujar Erlangga. Kondisi tubuhnya yang cepat pulih dikarenakan staminanya yang fit membuatnya bisa pulang lebih cepat. "Tapi aku serius. Menikahlah denganku." Ucap Erl lagi. Gendhis menarik napas panjang dan meletakkan kotak makan diatas pangkuannya.

"Kamu tidak tahu siapa aku dan aku pun tidak tahu kamu seperti apa. Menikah itu bukan hanya untuk satu hari dan bukan untuk main-main. Aku tidak ingin salah menentukan pilihan." Ucap Gendhis. Sorot matanya yang lurus menatap Erl membuat Erlangga semakin yakin kalau keputusannya untuk memilih Gendhis tidaklah salah.

Tanpa sepengetahuan Gendhis, Erlangga telah menyewa seseorang untuk mencari tahu kehidupan Gendhis mulai dari keluarganya, pekerjaanya, sampai kehidupan pribadinya. Mungkin kedengerannya seperti jahat tapi Erlangga ingin memastikan kalau calon ibu dari anak-anaknya nanti itu adalah perempuan yang tepat.

"Bagaimana … kalau … kita berkencan dulu?" Dengan segala cara Erlangga ingin mendapatkan Gendhis sebagai istrinya. Kalau dengan mengajaknya menikah sudah pasti langsung ditolak, mungkin saja dengan berkencan, semua akan menjadi lebih mudah. Gendhis tersenyum lembut lalu berkata, "Tidak, terima kasih. Huft, sepertinya aku tidak perlu lagi datang kesini karena pasiennya sudah sangat sehat dan waras." Gendhis membereaskan peralatan makannya meskipun belum habis, lalu menatanya kembali dan merapihkannya seperti sedia kala untuk dibawa ke kantor. Pagi ini Gendhis menyempatkan diri menjenguk pria yang telah menyelamatkan hidupnya. Tapi, siapa sangka kalau kedatangannya kesini lebih banyak sia-sianya.

"Tunggu, kamu mau kemana?" Erl kebingungan karena perempuan yang beberapa detik yang lalu sedang menyuapinya, kini malah beranjak menuju pintu keluar kamar.

"Aku mau kembali ke kantor. Kamu istirahat saja, biar cepat sembuh." Ujar Gendhis tanpa menengok kebelakang.

"Tunggu … tunggu dulu. Apa kamu marah?"

"Ya, aku sangat marah. PER-MI-SI!" Gendhis keluar dari kamar inap Erlangga dengan suara mengeras menggigit giginya.

"Gendhis!" Suara panggilan dari pria yang masih terbalut gips itu tidak dihiraukan Gendhis. Kakak dari Bimo dan Arkha itu berjalan cepat meninggalkan rumah sakit untuk segera naik motor online agar lebih cepat sampai ke kantor.

Sepanjang jalan diatas kendaraan beroda dua itu, Gendhis merenungi semua ucapan pria yang selalu berubah-ubah moodnya itu. Saat pertama bertemu sangat sombong dan bahkan memaki Gendhis. Pertemuan kedua, wajah Erl masih menampakkan rasa tidak suka melihat wajahnya yang pernah memaki tentara berbadan tegap itu di tengah-tengah banyak orang namun Gendhis tidak peduli karena tujuannya bukan untuk menemuinya, melainkan bertemu dengan nyonya Batari untuk mengantarkan hasil jahitan.

Satu bulan berlalu. Baik Gendhis maupun Erl tidak pernah bertemu sama sekali dan juga tidak ada kontak telpon. Pekerjaan Gendhis yang sangat menyita waktu, ditambah dia harus tugas keluar kota selama beberapa hari, membuatnya tidak bisa menjenguk pria yang pernah menyelamatkan nyawanya itu. Erl pun disibukkan dengan semua seremonial di kantornya dari waktu ke waktu. Hingga di satu hari menjelang akhir pekan, Erl menerima telegram yang menyatakan kalau dia termasuk dalam salah satu tim yang akan berangkat bertugas sebagai pasukan perdamaian Kontingen Garuda di salah satu negara yang sedang mengalami konflik intern.

Erl terdiam membaca berita tersebut. Akhirnya, masa itu pun tiba. Masa yang mau tidak mau semua abdi negara harus melaksanakan kewajibannya tanpa bisa membantah ataupun memundurkannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Erl mengambil kunci mobil dan meninggalkan kantor untuk menuju ke satu tempat. Sepanjang jalan, dia belum tahu apa saja yang akan dia katakan pada perempuan yang akan ditemuinya itu. Perempuan yang benar-benar bersikeras untuk tidak menemuinya sama sekali. Bahkan Erl juga tidak bisa mencari alasan yang jitu untuk bertemu atau sekedar mengobrol dengan perempuan berambut panjang itu.

Sesampainya di depan gedung perkantoran itu, waktu sudah menunjukkan lewat dari jam enam sore. Kemacetan lalu lintas di akhir pekan sungguh membuat Erl merindukan suasana di kampung halaman maminya, yang selalu lancar dan bebas macet kapanpun waktunya.

Erl memarkirkan mobilnya di salah satu tempat parkir yang disediakan untuk umum. Pria yang masih mengenakan seragam kerja berwarna biru laut itu memakai jaket layar untuk menutupi seragam bagian atasnya. Dia keluar dan berjalan menuju lobi untuk menjemput seorang perempun yang sudah lama ditunggunya.

"Selamat sore, komandan!" Suara sapaan seorang petugas keamanan gedung membuat Erl sedikit kaget juga. Dia lupa kalau dia masih mengenakan seragam yang biar ditutup jaket sekalipun masih terlihat jelas oleh beberapa orang yang tahu identitasnya.

"Oh, selamat sore pak." Erl tersenyum ramah dan ijin untuk melanjutkan langkahnya menuju ke lobi.

"Mau jemput istri, komandan?" Tanya bapak petugas keamanan itu lagi.

"Hmm, iya. Iya betul. Saya mau jemput istri pulang kerja disini." Erlangga terkekeh lirih dalam hati. Perang dunia akan terjadi lagi kalau sampai perempuan itu mengetahui nama baiknya sedang tercoreng saat ini.

"Wah, silahkan komandan. Pasti istri sudah menunggu ya di dalam." Jawab bapak itu.

"Sepertinya begitu. Pesan saya belum dibaca olehnya." Jawab Erl. Kebohongan demi kebohongan pun lancar mengalir diberikan oleh pria berseragam tersebut.