webnovel

MISTERI SANG PANGERAN

Mereka berhasil keluar dari tempat itu. Kini dari dasar Bumi mereka melalui sebuah jalan menyerupai sebuah naikan seperti sebuah gunung yang didaki menuju ke atas. Kelana mulai kecapekan. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Sedangkan Lela merasa nyaman berada di pelukan kekasihnya.

Bruk! "Aduh!" Kaki Kelana tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang lelah. Kini ia bersimpuh sambil terus membawa Lela dalam gendongannya.

Lela terjaga saat merasakan guncangan itu. "Kelana?" Lela segera turun dari gendongan Kelana. Ia melihat pemuda itu kini diam, lalu bruk! Tergeletak tidak sadarkan diri.

Lela tidak berupaya untuk menyadarkan atau memindahkan pemuda itu. Ia justru duduk di samping kiri Kelana lalu merangkul kedua lutut sambil termenung. Tempat yang ia duduki ternyata bergerak membelah panjang hingga menuju ke arahnya. Namun, saat berjarak 2 meter darinya. Belahan itu pun berhenti. Lela mengangkat pandangannya kemudian menangis.

"Lela, cucuku!" Terdengar sebuah seruan wanita tua dari belahan tanah itu. Kini bukan hanya suara, tapi juga sebuah cahaya merah keluar dari sana.

"Leluhur, Lela begitu putus asa. Lela, tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kini apa yang harus Lela lakukan?"

"Apakah pemuda di sampingmu adalah calon suamimu, Lela?"

Lela melirik Kelana. "Bukan, Leluhur. Dia hanya mendampingiku."

"Hehehe .... Lela, sayang. Kau seharusnya tidak berada di alam manusia. Harusnya kau tetap berada di dasar Bumi."

"Lela, ingin melihat dunia luar. Lela, tidak ingin kesepian!" bela Lela. Ia merasa ini tidaklah adil. Di mana semua orang sebaya dengannya justru telah memiliki yang mereka inginkan dalam hidup. Cinta, harta, bahkan pencapaian yang berharga, tetapi mengapa ia dipingit. Tidak dibiarkan berada di antara keramaian?

"Lela, ada satu yang perlu kau ketahui. Dirimu sebenarnya telah dipinang sedari dalam kandungan oleh seorang pangeran. Namun, karena peperangan bangsa manusia setengah siluman seperti kita kepada bangsa manusia suci. Maka kita pun menjauhkan diri dan bersumpah tidak akan lagi menampakkan diri."

Lela terlihat antusias mendengar. Ia bahkan kini duduk bersila. "Mengapa?"

"Karena fitnah Raja Siluman Hutan. Kalian menjadi terasing. Setelah itu hanya itu yang diketahui. Padahal ada rahasia lain yang perlu diungkap lagi."

"Lela, tidak paham, Leluhur. Lela bingung."

"Kelak kau akan tahu sendiri kisah itu."

Lela menggaruk kasar kepalanya. Ia tidak dapat mencerna penjelasan si Leluhurnya itu. "Tolong jangan membuat teka-teki, Nek! Lela, butuh penjelasan!"

"Lela, tenang dan bersabarlah. Perjalananmu masih panjang. Lebih baik kau gunakan kesaktian yang kau miliki untuk membantu sesama. Selagi belum menemukan cinta sejatimu. Buktikanlah bahwa manusia Bunian seperti kita tidak selamanya jahat. Kita adalah makhluk Tuhan yang juga percaya akan kekuasaannya."

"Lalu bagaimanakah aku dapat menemukan jodohku yang sesungguhnya itu, Leluhur, sedangkan saat ini aku telah menikah dengan Raja Siluman itu? Tidak hanya itu. Aku telah dikutuk lantaran menolak melakukan kewajibanku memberikan kesucianku di malam pengantin kami."

"Keputusan ada dua. Menjadi ratu atau menanti calon suamimu yang sesungguhnya."

"Caranya agar Lela dapat mengetahui siapa dia bagaimana?" tanya Lela dengan kebingungan tingkat tinggi. Sebab leluhurnya selalu menjawab setengah-setengah dari pertanyaan komplit yang ia berikan.

"Jadikan mereka semua kekasihmu. Apabila cocok nikahilah salah satu dari mereka. Lalu buktikan. Jika saat akan menghabiskan malam pertama denganmu mereka tetap hidup hingga esok hari setelah kalian menjalin cinta semalam, maka dialah jodohmu."

"Jika tidak?"

"Mereka akan tewas. Tepat saat memikirkan akan menjamahmu untuk melampiaskan hubungan cinta kalian."

Lela menunduk lesu. "Apakah tidak ada cara lain, Leluhur? Terus terang Lela tidak ingin melukai. Apalagi menewaskan."

"Hanya itu cara satu-satunya bila kau tetap ingin mengetahui pangeranmu."

"Kenapa dia tidak datang sendiri kepadaku?" tanya Lela sembari melihat cahaya itu.

"Pangeran telah terluka saat peperangan itu. Bangsa Siluman Hutan kejam. Yakni suamimu itu. Telah mencederainya. Sehingga ia sakit dan tewas. Diyakini pangeran itu telah menitis ke dalam tubuh seorang bayi yang lahir bertepatan sebelum kau dilahirkan. Mungkin saja seumuran dengan pemuda di sampingmu itu."

Lela kembali melirik Kelana. Ia menghela napas dalam.

"Untuk melepaskan kutukan itu kau harus menikahi sang titisan pangeran dan menjelaskan kesalahpahaman di antara kita dan bangsa manusia suci hingga tuntas. Dengan begitu mereka tidak akan mengatakan atau menganggap kita pengkhianat lagi."

"Tapi, Leluhur-" Cahaya itu lenyap seketika. Tempat di depannya kembali merapat seperti sedia kala. "Leluhur, aku belum sempat bertanya yang lain!" teriak Lela sambil menggali tanah. "Tolong, jelaskan kepadaku mengenai masalah itu! Bagaimana caranya aku bisa tahu bahwa memang kita berada di pihak benar?"

Tak ada sahutan, seolah Lela sedari tadi sedang berkhayal. Sehingga membuatnya terlihat tidak waras dengan berbicara pada tanah yang tak menjawabnya.

"Lela," lirih Kelana. Ia menarik kain yang melekat pada pinggang gadis itu.

Lela tersadar, ia segera membersihkan kedua telapak tangannya yang kotor ke pakaiannya. Kini kemeja yang dipinjamkan Kelana, kotor oleh noda tanah. "Kelana, kau butuh air?"

"Iya, aku haus," jawab Kelana.

Lela kebingungan. Di dekatnya tak ada air sama sekali. Hingga Kelana menariknya dan menyedot air liur gadis itu untuk diminum olehnya. Lela terkejut, ia tidak menduga Kelana memiliki ide gila macam ini. "Kelana!"

"Auh!" jerit Kelana saat Lela memukul dada pemuda itu karena terus meminum air liurnya. Lela kini merasa kehausan karena ulah Kelana. "Uhuk! Uhuk!" Kelana miring kiri sambil batuk dan memegangi dadanya yang sakit dipukul Lela.

"Aku benci denganmu, Kelana! Kau selalu mencari kesempatan!" teriak Lela sambil mengusap bibirnya yang sakit.

"Aku haus, Lela! Aku butuh tenaga," dalih Kelana.

Lela berbalik badan. Lalu memandang di hadapannya penuh rasa kecewa. "Bersumpahlah, Kelana. Kau tidak akan melakukan perbuatan seperti ini kepada perempuan lain. Sebab aku sangat benci lelaki yang suka mengambil kesempatan dan merugikan sepertimu."

Kelana duduk sambil mengusap dada. "Aku bersumpah. Aku akan mencium dan memeluk kamu saja!"

Lela melotot, sontak ia berbalik. "Kau bercanda lagi?"

Kelana tidak menjawab, ia hanya terkekeh. Lalu berdiri sempoyongan. "Lela, jangan larang aku untuk berteman denganmu. Baiklah, aku akan bersumpah, tapi aku tidak bisa menahan diri bila berada di dekatmu. Jadi setelah ini. Bagaimana jika kita berpisah saja."

Lela terdiam, ia merasa kecewa dengan perpisahan itu. Namun, ia harus menerimanya. "Baik."

Kelana tersenyum tipis. "Sekarang apa yang akan kita lakukan?"

"Aku akan meminta roh nenekku untuk bangkit. Jadi aku harus bertapa di tempat ini."

Kelana memandang sekitar. "Berapa lama?"

"Satu tahun untuk aku mendalami kesaktianku. Sekaligus meminta petunjuk."

Kelana terkesiap. Tidak mungkin ia akan menemani gadis itu selama setahun. Bagaimana duniawinya bila ia tinggal begitu saja di alam yang tidak bersahabat ini? Untuk itu Kelana menggeleng lemah. "Sungguh cantik. Abangmu ini tak kuasa menunggu selama itu."