webnovel

MISTERI RUMAH BERHANTU

Mata mereka saling beradu. Kini tinggal beberapa senti lagi akan bersentuhan. Lela hanya terdiam, menanti apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang saat ini sedang berada di atasnya.

"Lela." Kelana menyebut nama Lela dengan lirih.

"Ya," balas Lela.

Napas Kelana kini menghangat menerpa wajah Lela. Harum napasnya membuat Lela sedikit terbuai.

"Apa kamu tidak sadar kalau aku sebenarnya menyukaimu?" tanya Kelana.

Walau hati berbunga. Desiran gelisah pun ada. Namun, Lela hanya dapat membantah lewat pikirannya. Ia tidak ingin membuat Kelana celaka.

"Apa kamu tidak ingin bersamaku, Lela? Aku ingin terus bersamamu."

"Lupakan itu, Kelana atau aku akan menjauhimu!"

Kelana tersenyum. Ia melepaskan Lela dari kunci tatapan penuh pesona yang sedari tadi membuat Lela gelisah.

"Baiklah. Aku akan pergi."

"Hem."

Kelana bangkit dari ranjang. Lalu melangkah ke pintu. Saat akan meninggalkan Lela, ia pun berpesan, "Lela, aku akan terus mengharapkanmu. Katakanlah kalau kau mau. Aku bersedia."

Lela duduk setelah Kelana pergi. Ia hanya diam sambil merenungi nasibnya. Tak tahu lagi harus bagaimana untuk hubungan yang begitu rumit ini, tapi yang jelas, cinta yang ia rasakan begitu besar kepada Kelana.

***

Esoknya, pukul 8 pagi. Lela telah siap untuk dijemput oleh Miranda. Mantan mertuanya yang ingin mencari tahu tentang keberadaan menantunya. Lela seorang diri. Sedang menanti kedatangan mantan mertuanya. Hingga 5 menit pun berlalu. Miranda datang bersama putrinya.

"Saya tidak suka berlama-lama menunggu," kata Lela. Sikap yang ditunjukkan perempuan ini sungguh angkuh.

"Kalau bukan karena ingin memanfaatkan jasanya. Aku mana sudi diperlakukan rendah seperti ini," batin Miranda.

"Kenapa masih diam? Tolong, tas saya dimasukkan ke mobil!" perintah Lela. Setelah itu ia masuk ke mobil dengan gaya angkuhnya.

"Ih, sombong!"

"Nak, ayo angkat!" perintah Miranda kepada putrinya.

"Males. Mama aja!" tolak Mili. Lalu ia masuk ke mobil. Meninggalkan ibunya yang saat ini sedang menatap kesal dirinya.

"Anak ini!" omel Miranda. Dengan sangat terpaksa, akhirnya ia sendiri yang memasukkan tas itu ke mobil.

Lela melirik Mili. Gadis angkuh itu kini dengan balutan dress warna merah muda. Di pinggangnya dihiasi sedikit kain renda sebagai tali pita. Lalu dress itu tidak memiliki kerah seperti dirinya yang senantiasa membeli dress yang bertipe kerah. Sama halnya dengan Lela, kini Mili curi pandang kepadanya. Saat ini Lela tampil manis dengan balutan dress warna jingga polos. Rambut yang dikepang lalu di gulung tinggi. Tidak seperti Mili yang saat ini lebih senang mengurai rambutnya.

"Maaf, kenapa kamu melihat saya seperti itu?" singgung Lela.

Mili tersadar. Ia langsung sewot dan mencibir, "Aku lagi melihat jendela. Kepedean!"

Lela tertawa singkat, dengan gaya menghina. Namun, ia tak membalas perkataan Mili terhadapnya. Lela hanya diam di sepanjang mobil itu bergerak di jalan beraspal.

Di jalan yang sedang ia lewati, Lela melihat seorang pemuda tampan dengan seragam polisi. Sedang sibuk merazia setiap pengendara yang melewati tempat itu. Mobil mereka terpaksa berhenti. Lela dengan angkuhnya mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tak ingin melihat Kelana yang saat ini sedang meminta surat menyurat kendaraan yang Miranda sewa.

"Lengkap. Apakah ini milik Anda?"

"Ini saya sewa dari rental," jawab Miranda. Ia sedikit terkesima oleh ketampanan pemuda itu. Sehingga sedari tadi terus menatapnya.

Lela tahu, dan hanya membiarkan Miranda menikmati keindahan pemuda itu. Tanpa sengaja Lela melirik, dan Kelana sekarang sedang mengembalikan surat kendaraan mobil kepada Miranda.

"Silakan," ucap Kelana.

Mobil pun kini perlahan bergerak. Namun, saat akan meninggalkan jalan itu, Kelana segera meraih tangan Lela. Lalu menjejalkan sesuatu digenggaman Lela. Lela bingung, ia lalu membuka. Ternyata kertas berisi nomor telepon dan sebuah kalimat. "Cinta, aku ingin kau selalu menghubungiku. Tolong chat aku di nomor ini. Tolonglah, Sayangku," baca Lela dalam hati. Setelah itu ia menggenggam kertas itu lalu membuatnya menjadi abu. Kini abu ia biarkan agar angin menghapusnya.

Mili terkejut, ia sedari tadi hendak menyindir Lela karena menerima kertas itu. Namun, saat Lela menunjukkan sihirnya. Gadis ini akhirnya diam.

20 menit berlalu dengan keheningan. Di sepanjang jalan tadi mereka hanya menghiraukan pemandangan yang dilewati. Tanpa ada satu pun inisiatif membuka obrolan.

"Kita sudah tiba di rumah," kata Miranda. Ia lebih dulu keluar dari mobil. "Lihatlah, sesuai dengan yang kamu harapkan, bukan?"

Lela keluar dari mobil. Sekilas tatap tidak seperti sebuah rumah yang baik untuk ditempati. Walau dari segi penglihatan manusia biasa, rumah ini lumayan bagus. Sebab memiliki kolam renang di samping kiri rumah. Halaman yang luas dan cukup bersih.

"Iya, tapi mahal," keluh Mili. Bahkan ibunya saja pelit saat di rumah dan ketika untuk Lela dia malah royal sekali menyewa rumah seperti itu.

"Ah, tidak masalah. Ini demi memenuhi harapan, Lela," sela Miranda. Ia tadi sempat mendelik kepada putrinya. Namun, pada Lela, senyumnya otomatis mengembang.

"Hem, terima kasih," ucap Lela, sembari melangkah ke teras. Lela terkejut, ia langsung berhenti. Tiba-tiba yang ia rasakan adalah sengatan singkat. Seolah menolaknya untuk meneruskan masuk ke rumah itu.

"Ada apa?" tanya Miranda. Ia heran saat melihat Lela menegang.

"Tidak ada," jawab Lela, sembari melanjutkan langkah.

Pintu dibuka lebar oleh Miranda. Ia tersenyum manis sambil memasuki rumah itu. Kesan pertama yang Lela rasakan di ruang tamu adalah hawa gerah, sedikit lembab dan bau apek. Namun, karena oleh dua orang itu adalah manusia tanpa isi. Maka ia memaklumi jika mereka tidak merasakan hawa jin di rumah itu.

"Di sana kamarmu!" Miranda menunjuk kamar di lantai dua. Kebetulan lantai dua terlihat dari ruang tamu. Pernahkah kalian lihat rumah mewah di film India, begitulah desain di dalam rumah itu.

Lela melihat kamarnya. Ada dua kamar di sana. Pintunya terbuka dan menampilkan kain putih sedang melintas. Lela memicingkan mata, mencoba menerka, mungkin kain itu adalah tirai atau gorden. Namun, saat ia melihat lagi kain tadi melintas. Ternyata sesosok wanita berambut panjang. Tanpa wajah. Lela diam saja. Tidak ingin menegur makhluk itu.

"Mama, aku capek. Mau makan!" keluh Mili.

"Ambil di dapur!"

"Ish, aku nggak suka. Kemarin malam cuma makan mie instan saja," keluh Mili.

"Nanti kita beli bahan makanan. Pokoknya sekarang kita ngobrol dulu sama Lela," jawab Miranda.

"Saya mau meletakkan ini dulu. Tolong, jangan ada yang ke dapur!" Setelah berkata demikian, Lela lalu menuju ke kamarnya.

Hantu wanita itu kini melihat Lela. "Siapa kau? Kau bukan asli manusia."

Lela berpura-pura tidak melihat. Ia justru duduk di tepi ranjang sambil menulis pesan kepada Kelana.

Lela: Kelana, apa kamu sudah makan?

Kelana : Belum. Kamu nggak nyuruh aku makan.

Lela : Aku nggak akan suruh kamu makan. Sadar sendiri kalau mati itu urusanmu sendiri.

Kelana : Tega

Lela : Ya.

Kelana : Aku akan merindukanmu lagi, Lela. Tolong, beritahu aku alamatmu.

Lela menghela napas. Ia menatap langit-langit. Namun, pandangannya justru terhalang oleh wajah hantu tadi. Akhirnya Lela menunduk, tetapi dari lantai. Hantu itu sengaja berbaring dengan tubuh separuh di kolong ranjang. Sengaja ingin menakuti Lela. Namun, sekali lagi, Lela mengabaikan. Seolah tidak melihat. Lela berdiri untuk keluar. Brak! Tiba-tiba pintu tertutup sendiri. Lela terpaksa hentikan langkah lalu mundur. Ia melihat ke sana-kemari. Seolah sedang ketakutan. Jujur, Lela tidak ingin berurusan dengan mereka. Ia selama di alam nyata ini, harus fokus mencari jodohnya. Setelah itu akan menjalani hidup seperti biasa.

"Aku merasakan baumu. Kau bukan manusia asli. Kau keturunan dua dunia," dengus hantu itu.

Lela hanya diam, sambil mendengar hantu itu berbicara tepat di samping kirinya. Bahkan kini bibir hantu itu kini sedang melekat di telinganya.