webnovel

SHEILA : Skate Love

Memberanikan diri dan merelakan hatinya jatuh kepada wanita yang acuh, dingin dan bermental baja? Ya. Itulah yang dilakukan seorang lelaki yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjomblo. Ilham Satyanara. Lelaki tampan yang dikagumi oleh banyak kaum hawa, namun tidak pernah membuatnya menjadi seorang playboy atau bahkan mempermainkan hati wanita. Baginya, satu wanita saja cukup. Dan hanya satu yang harus ia bahagiakan. Bagi Ilham, dengan mudah mendapat dan mengambil alih hati wanita. "Nggak ada satu pun cewek yang mampu menolak pesona seorang Ilham" Kata-kata mutiara yang selalu ia lontarkan untuk membanggakan dirinya sendiri. Namun, memang benar adanya. Sayangnya, kata-kata mutiara tidak berguna dan tidak terpakai sama sekali ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang dua tahun lebih tua di atasnya. Sheila Aksadana Setyaningrum. Gadis tomboy yang memiliki kharisma terpendam, namun enggan untuk membalas cinta Ilham. Sheila adalah seorang gadis yang memiliki hobi bermain skateboard. Ia senang hidup di atas panasnya aspal dan berbaur dengan para lawan jenis yang satu hobi. "Terus, kalo lo ganteng, bakal bikin gue cinta gitu sama lo? MIMPI!" Tapi tidak ada kata menyerah dalam kamus Ilham. Ia terus saja berusaha mencari cara untuk bisa mengambil hati Sheila. Sampai ia rela berlatih skate, hanya untuk menyeimbangi hobi Sheila yang sebenarnya sulit ia lakukan. (Halo.. Ini adalah karya keduaku. Semoga kalian suka, yaa! Jangan lupa review dan tinggalkan komen kalian!.) Cover by : @JieunDesign

Fenichaan · Adolescente
Classificações insuficientes
321 Chs

Day1 New York.

(NEW YORK)

Sheila menarik napas dalam-dalam ketika menginjakan kakinya di tanah New York, Amerika Serikat.

Senyumnya mengembang seiring dengan tersapunya rambut-rambut kecil yang menutupi wajah.

"Yuk, mobil jemputannya udah dateng."

Suara Farel seketika menghentikan aktivitas Sheiila. Ia mengangguk sebari menggandeng tangan kedua orangtua nya.

"Ma, Pa, kita berapa hari di sini?," tanya Sheila.

"Tiga hari, Sayang. Kamu manfaatin waktu selama di sini, ya."

Sheila mengangguk kuat saat telapak tangan kanan Farel mendarat di puncak kepalanya. Mengusap lembut rambut halus milik puteri satu-satunya itu.

"Besok salju kan, Pa?."

"Kalau perkiraan sih, iya. Tapi kita lihat aja besok."

"Kamu jangan keseringan main salju ya nantinya. Gimana pun juga, tubuh kamu nggak mumpuni. Indonesia sama New York itu beda, Mama nggak mau kamu sakit. Bukannya liburan, eh malah sakit." Ratna mengingatkan puteri sematawayangnya itu.

"Siap, Ma! Sheila janji. Sheila cuma pengen main salju sehari aja, kok."

***

Tiba di dalam hotel, Sheila menjatuhkan tubuhnya di atas kasur berukuran besar. Ia menatap langit-langit kamar dan beralih ke arah jendela.

Sheila beranjak. Ia kini berdiri di balik jendela dan menatap betapa indahnya kota New York dari atas lantai tiga.

"Akhirnya, gue bisa balik lagi ke sini," gumamnya.

Setelah puas menatap keindahan kota, gadis itu beralih untuk melihat fasilitas yang diberikan pihak hotel.

Ia membuka laci-laci yang berhadapan langsung dengan tempat tidur. Laci berukuran lebar dan televisi yang bertipe LED dengan layar lebar dan lengkap dengan pesawat televisi yang modern.

Sheila mengangguk puas. Lalu ia membuka laci yang paling besar dan terletak di bawah laci-laci lainnya.

"Kulkas. Fasilitas yang bagus. Apalagi buat pelancong kayak gue," gumamnya lagi.

Setelah puas dengan area depan, Sheila membuka pintu kamar mandi. Menyusuri dari pintu hingga sudut kamar mandi yang terbilang sangat luas.

Bathub yang besar membuat Sheila menggeleng takjub. Shower dan peralatan mandi lengkap berjejer di sana.

"Gila, ini hotel mewah dan lengkap juga, ya. Emang nggak salah papa pilih hotel ini."

Sheila keluar. Ia mengambil koper untuk mengeluarkan isinya.

"Gue belum kasih kabar ke Brama. Dia pasti lagi nunggu kabar dari gue," ucap Sheila sebari mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang terletak di atas tempat tidur.

Sheila tidak menelpon. Gadis itu hanya mengirim sebuah pesan singkat, yang memberitahu bahwa ia dan keluarga sudah sampai di New York.

"Sekarang gue tinggal beresin baju."

***

Brama tersenyum lebar setelah membaca pesan dari Sheila.

"Akhirnya gue bisa punya waktu berduaan sama Aji," batinnya.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu langsung meraih hoodie berwarna hitam yang menggangung di balik pintu kamarnya.

Tidak lupa sepatu kets pemberian Aji yang menjadi barang yang paling ia sukai.

"Gue gak sabar pengen ketemu Aji. Udah kangen banget sama dia."

***

"Ngapain kamu ke sini? Mending kamu pergi. Aku gak mau Brama sampai liat."

"Nggak apa-apa Brama liat. Gue pengen tau, apa reaksi dia."

Aji berdecak kesal, "Kamu jangan cari masalah. Aku gak mau hubungan aku sama Brama rusak, cuma gara-gara kamu!."

"Ji, kapan sih kamu sadar? Aku ini cinta dan sayang sama kamu. Melebihi Brama," ucap laki-laki itu.

"Aku nggak mau tau. Aku ini milik Brama, dan seterusnya akan begitu. Apa pernyataan aku kemarin masih kurang jelas buat kamu?."

Laki-laki itu terdiam. Ia menundukan kepala dengan hati yang terasa berdenyut nyeri.

"Oke. Kalau lo gak bisa cinta sama gue, nggak apa-apa. Tapi satu hal yang harus lo inget Brama bukan cuma milik lo. Dia juga pacaran sama Sheila, dan gue yakin dia udah mulai jatuh cinta sama cewek itu."

"Kamu jangan asal ngomong, ya. Brama emang pacaran sama Sheila, tapi dia nggak mungkin jatuh cinta sama perempuan itu." Aji masih berusaha berpikir positif. Walaupun hatinya juga merasa kalau Brama memang sudah mulai menyukai Sheila.

"Gue nggak mau lo sakit hati, Ji."

Laki-laki itu menyentuh bahu Aji. Ia bisa melihat binar kesedihan yang memancar dari kedua mata Aji.

"Kamu nggak usah so tau atas semuanya. Nggak ada yang tersakiti di sini. Aku bahagia sama Brama, meskipun kita emang nggak bisa menikah. Jadi aku mohon, kamu jangan ganggu lagi hubungan kita."

***

"Jalan-jalan keluar, enak kali ya."

Sheila baru saja bangun dari tidurnya. Langit yang sudah gelap dengan taburan bintang di atasnya, membuat Sheila menarik kedua sudut bibir.

"Mending gue mandi, terus jalan deh keluar," ucapnya dengan semangat 86.

Tok.. Tok.. Tok

"She, makan malam yuk."

Sheila membuka pintu kamar. Farel dan Ratna sudah berdiri di balik pintu dengan tatapan datar.

"Kok kamu belum siap-siap?," tanya Ratna.

"Hehehe.. Maaf Ma, Pa. Sheila baru bangun."

"Ya sudah. Kamu cepet mandi, kita makan malam di bawah."

"Okey, Bye!."

BRAK!

Ratna terkesiap karena pintu yang di tutup dengan keras oleh putrinya.

"Huh.. Anak itu," gumam Ratna.

"Udah, Ma. Ayo kita ke bawah."

***

"Ternyata gue cantik juga kalo pake baju kayak gini."

Sheila tengah berdiri di depan cermin besar. Ia membolak balikan tubuhnya untuk melihat penampilan yang lebih jelas.

Dress berwarna putih gading yang ia kenakan malam ini nampaknya akan banyak menyita perhatian. Apalagi Sheila yang sama sekali tidak pernah mengenakan pakaian dress seperti itu.

"Gue mau coba pake ini, ah. Buat sehari ini doang," gumamnya sebari terkekeh.

Sebelum turun ke tempat makan malam, Sheila melirik ponsel yang tidak menyala sama sekali. Sejak ia mengirim pesan kepada Brama pun, ternyata laki-laki itu tidak membalas pesannya.

"Mungkin dia sibuk latihan skate. Biarin aja lah," ucapnya dan kembali menata rambut yang sudah ia catok.

"Selesai. Sekarang tinggal temuin mama papa."

***

Sheila mengedarkan pandangannya. Membuka matanya dengan lebar untuk mencari kedua orangtua nya sulit di temukan.

"Sheila!."

Gadis itu menoleh. Ia tersenyum tatkala melihat Ratna yang sedang melambaikan tangan kanannya.

BRUK!

Baru saja melangkah, tubuh Sheila harus sedikit terhuyung karena bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh.." Sheila meringis setelah bagian belakangnya berbenturan dengan lantai.

"Astaga, maaf. Gue nggak sengaja. Sini gue bantu."

Sheila menerima uluran tangan dari orang yang menabraknya.

"Lo baik-baik aja, kan? Atau mau ke dokter? Biar gue anter," ucap wanita itu dengan raut wajah khawatir.

"Gue baik-baik aja. Lo sendiri nggak apa-apa?," tanya Sheila kembali.

"Gue oke. Sori banget, ya. Gue jalannya gak hati-hati."

"Santai aja. Gue aman." Sheila tersenyum ke arah wanita yang baru saja menabraknya.

"Eh, iya. Gue baru sadar, kalau kita dari tadi ngomong bahasa Indonesia."

"Oh, iya. Ya ampun! Akhirnya gue ketemu orang Indo juga di sini," seru Sheila dengan heboh.

"Karena gue lagi buru-buru, ini nomor hp gue. Kalau lo butuh temen selama di sini, lo bisa telpon gue, oke? Gue pergi dulu, bye."

Sheila hanya bisa melongo melihat kepergian wanita yang meninggalkannya begitu saja.

"Chaeny. Jadi nama cewek itu Chaeny," ucap Sheila setelah melihat kartu nama yang tadi Chaeny berikan.

"Boleh juga. Jadi gue nggak bakal kesepian selama di sini."