Shasha mengambil tempat duduk di depan meja kerja kakeknya. Perasaan hangat dan bahagia, baru sekarang merasa ada tempatnya untuk bermanja dan dilindungi. "Kakek...Shasha bolehkah minta sesuatu?" tanya Shasha manja. Kakek Isaac tersenyum, dia meletakkan kaca matanya di meja. "Katakanlah!" katanya lembut. Shasha bergerak mengambil posisi lagi ke belakang kakeknya. "Biarkan ibu pulang ke rumahnya, biarkan dia mengambil keputusan sendiri, tidak ada gunanya kakek menahannya disini", Shasha memijit bahu kakeknya. Kakeknya menyandarkan badannya ke kursi, seraya memejamkan matanya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya seseorang memijit tubuhnya. Perasaannya sedikit pilu. Penyesalan tak ada guna. Kenapa tidak sejak dulu dia membawa Shasha ke rumah ini.
Dia tidak keberatan kehilangan Maya. Putrinya itu tidak bisa diharapkannya. Saran Shasha ini memang patut di pertimbangkan lagi. Tak ada gunanya memaksa Maya mengikuti keinginannya atau mencemaskan kehidupan Maya dengan suaminya.
Dia bukan anak-anak lagi yang bisa di atur. Tetapi ia akan menutup subsidinya ke Maya. Bagaimanapun Maya harus di beri pelajaran. Lagipula ia tak melihat penyesalan di wajah Maya.
Kakek berdiri dari kursinya, ia mengambil album keluarga. Ia merasa perlu memperkenalkan Shasha dengan kakek buyutnya. Ia juga menunjukkan dokumen beberapa aset yang akan menjadi warisan Shasha. Siapa lagi yang bisa mewarisi harta kekayaannya selain Shasha. Maya Agustin? Tidak! Maya bakal menyelewengkan hartanya untuk kepentingan sendiri dan untuk keluarga barunya. Maya tidak pernah serius memikirkan Ibunya dan Shasha. Maya tidak ingin kehilangan suaminya. Dia bisa terus bersama suaminya, karena Maya kaya. Suami dan anak tirinya itu bakal menyakiti Shasha.
Dia telah menghubungi pengacaranya, untuk membuat surat wasiatnya. Kapan saja bisa terjadi hal-hal yang buruk kepadanya. Dia harus meindungi Shasha dan istrinya Maimunah.