Ryan dan Maya Agustin akhirnya bertemu dan bicara serius di kantor Maya Agustin.
"Apa yang kamu inginkan?" Maya bertanya dengan santai ke Ryan. Pria itu terlihat kesal. Maya tidak bisa di intimidasi. Ancamannya membongkar rahasia dirinya pernah menikah dengan Rahmat sang walikota ke publik, tidak membuat Maya Agustin, hal itu tidak harus disembunyikan lagi. Dia bukan lagi artis terkenal yang takut kehilangan penggemar atau seorang politisi yang takut di tinggalkan konstituen. "Kembalilah denganku!" kata Ryan membuka maksud yang sebenarnya. "Ppppt! Mimpi!" Maya tertawa. Tetapi dia hanya menyumpah dalam hati. Dia tak ingin buang-buang energi berdebat dengan pria itu. "Itu saja?!' kata Maya santai bernada sinis. Ryan tertawa, dia tak kehilangan trik. "Banyak manfaat kalau kita kembali. Aku bisa mengatur pencalonanmu di Pilwali nanti!"
Maya tertawa. "Aku tak butuh bantuanmu!" Maya menyeringai. Jatmiko sang Ketua parlemen dengan sendirinya mendekat ke Maya. Ryan berjasa membuka jati drinya tanpa diminta. Siapa suruh dia membuka rahasia itu. Ryan menarik nafas krsal. Dia bisa membaca pikiran Maya. Mantan istrinya itu dulu sangat bergantung padanya, mengikuti semua indtruksinya, Maya sangat penurut seperti kucing. Sekarang dia sangat berlagak karena ayahnya Isaac memberikan dukungan.
Ryan terjebak dalam strategi buntu. Mr. Jatmiko bisa saja membuangnya, Maya bisa didekati tanpa bantuanya. Bukankah mereka sudah bercerai?. Ryan jadi menyesal melepaskan Maya.
Tetapi ia masih punya senjata lain yang bisa dijualnya ke Jatmiko. 'Kantong suara pendukung Maya!'. Selama ini Ryan yang mengelola para konstituen itu bersama tim sukses untuk Maya Agustin di Pemilu legislatif 4 tahun yang lalu. Ryan memang ahli berkhianat.
Regina masuk ke ruangan kantor Maya. "Papi!" Regina kaget. Ia tak mengira papi-nya datang. Regina barusan datang dari Salon. Rambutnya yang lurus pendek menjadi panjang dan keriting karena rambut palsu. Ryan memeluk anak gadisnya. "Papi kangen kamu!" Ryan mengusap rambut Regina. Regina menghindar. Ia tak ingin rambutnya rusak. Ryan tertawa. Regina merapikan rambutnya yang sedikit rusak . "Jangan rusak rambut Gina! Malam ini Gina mau ke pesta. Kembalikan mobilku?' Regina teringat mobilnya yang telah di jual papinya. "Pakai aja mobil dinas mami- mu. Mobil itu Nganggur tidak terpakai", jawab Ryan santai. Mobil regina sudah dijualnya. Sekarang aja dia pake mobil murah sisa dari penjualan mobil mewah milik Regina. "Tidak! bikin malu aja. Ke pesta pake mobil dinas!" Regina jengkel. Maya tidak menanggapi mereka berdua. Dia mengambil tasnya, berniat meninggalkan kantor itu, melihat maminya akan pergi, Regina mengikutinya. Ryan menarik tangan Regiina. ' Kamu ikut papi!" Regina berontak. Ryan memegang tangan Regina dengan kuat. Regina meringis kesakitan. "Mami! Tolong!", Maya berbalik."Lepaskan dia!" Ryan tak peduli. "Dia anakku!" Ryan membentak. "Tidak mau. Gina nggak mau ikut papi. Gina Ikut mami aja! "Regina berteriak. "Lepaskan dia, hak asuhnya jatuh padaku!" Maya mulai kesal. Regina baru berumur 17 tahun. Dia belum dewasa, masih dianggap anak di bawah umur. Keributan di dalam kantor Maya, memancing keamanan di kantor legislatif itu, para keamanan berdatangan. "Ini masalah keluarga. Silahkan keluar!" Ryan menghardik mereka. Maya memberi isyarat pihak keamanan mundur. Ryan melepaskan tangan Regina. Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya yang sakit. Dia bersembunyi di belakang Maya. Ryan tertawa. Dia mengeluarkan sebuah surat dari dalam tas selempang kulit miliknya. "Surat dari pengadilan hak asuh Regina untukku! Mulai sekarang dia ikut denganku!" Ryan memberikan surat itu ke Maya. Regina menangis. "Mami! Selamatkan Regina!" Ryan tak peduli dengan tangisan Regina.Ia menarik Regina dengan paksa. "Mami!" Maya tak bisa berbuat apa-apa. Regina bukan anak kandungnya. "Kamu tenang saja, mami nanti menjemputmu!" bujuk Maya ke Regina. Ryan menarik Regina keluar kantor diiringi pandangan banyak mata.
Ryan memaksa Regina masuk mobil. Regina terkejut, tangisnya langsung berhenti. Di dalam mobil itu telah ada Sofia, ibu kandung Regina. "KAMU!" Sofia tersenyum. "Hello!" Regina memandangnya penuh kebencian, "Ngapain kamu disini!" Regina meradang. "Jangan membentakku. Aku ibumu", Sofia berkata lembut dipaksakan. Suaranya di olah dengan manis. Ia tak ingin kehilangan keanggunan karena emosi. "Munafik!" Regina membalikkan badannya. Ryan memerintahkan sopir menjalankan meninggalkan gedung parlemen dengan segera. Ryan tersenyum. Dia dan Sofia sudah merencanakan Regina adalah tambang emasnya. Regina akan diorbitkan menjadi artis di agensi mereka.