Bali, setengah tahun lalu.
Sinar matahari masih memanggang area pantai. Di bulan-bulan seperti ini, matahari memang bersinar dengan terik. Menyengat kulit dengan sangat tidak bersahabat. Angin yang bertiup tak pernah sanggup mengusir rasa panas. Itulah sebabnya, orang-orang suka mendinginkan tubuh dengan berenang, atau sekadar berendam. Lautan luas dengan pantai berpasir putih menjadi daya tarik tersendiri. Terutama di Bali.
Olahraga air sangat populer di Pulau Dewata. Menantang debur ombak di tengah kemilau pasir selalu menjadi kesenangan tersendiri. Kesejukan air berpadu dengan buih ombak yang bersatu dengan gelombang sangat menggoda untuk ditaklukan. Terutama jika kegiatan penaklukan tersebut diperlombakan dalam sebuah ajang pembuktian diri.
Seperti dalam acara ini. Sebuah acara Asian Beach Games. Acara ini diadakan setiap tahun. Dengan peserta dari berbagai negara Asia. Penyelenggaranya adalah komite internasional olahraga air. Kali ini, mereka memilih Bali sebagai tuan rumah. Pantai di Bali selalu terkenal dengan ombak dan matahari menyengat. Tapi hal itu malah menjadi godaan bagi orang-orang untuk menguji nyali dan kemampuan.
Arena perlombaan surfing itu mulai disesaki para pengunjung yang haus hiburan. Papan luncur berwarna-warni berseliweran begitu saja. Meramaikan pantai dengan warna-warni mencolok. Beberapa turis biasa terlihat santai di bawah parasol. Menikmati jus-jus buah tropis mengundang selera.
Hari ini lomba Beach Games akan dibuka. Para atlit dan penonton telah hadir di pantai. Panggung dadakan dibuat untuk menampung pengisi acara. Sementara sales-sales ponsel yang menyeponsori ajang olahraga tersebut sibuk menawarkan dagangan kepada siapapun yang tertarik.
"Handphone ini adalah yang terbaik."
"Handphone ini bisa digunakan bahkan oleh orang tua."
"Dan memiliki fungsi android."
Jeremy Simon menjadi salah seorang tamu kehormatan yang akan membuka acara. Beliau adalah salah seorang pejabat olahraga air internasional. Selain itu, dia memiliki merk dagang peralatan olahraga air. Kekayaannya membuat Jeremy bertingkah menyebalkan. Para panitia lomba sendiri tidak terlalu menyukai Jeremy Simon. Bertubuh gempal dan tak menarik. Rambutnya dicat pirang pucat. Segala barang-barang bermerk menempel di badan, hanya untuk memamerkan kekayaan. Selain itu, Jeremy membawa-bawa pengawal yang tak sedikit jumlahnya. Maklumlah, sebagai preman dunia hitam, Jeremy harus menjaga keselamatan setiap saat.
Klik!
Seulas senyum mengejek hadir di wajah Lee Shin ketika melihat hasil foto. seorang gadis penyambut tamu terlihat mengeryit jijik. Sikap tak senonoh Jeremy tertangkap di kamera Shin. Di foto itu, terlihat Jeremy sedang memegang bokong Si Penyambut Tamu.
Kurang ajar, bukan? Di mana-mana sama saja, penjahat tetap saja penjahat.
Lee Shin adalah adalah salah satu wartawan yang diundang meliput acara. Statusnya sebagai peliput mengharuskannya mengenakan jas seragam dan celana panjang. Pakaian yang sama sekali tidak sesuai dengan suasana dan panas di pantai ini.
Kalau saja bisa, dia lebih ingin bergabung dengan turis-turis seksi di bawah parasol. Mengoleskan tabir surya di punggung mereka, atau duduk di sebelah sambil menikmati air kelapa muda tampaknya adalah ide yang bagus.
Shin mengembuskan napas dengan kesal. Dia mengarahkan kamera kembali, mencoba menangkap momen yang tepat. Sedari tadi, Shin berusaha mengabadikan gambar dengan wajah Jeremy terlihat jelas. Namun ternyata yang tertangkap kamera adalah angle-angle tak menarik.
Mengesalkan. Shin tak suka meliput kegiatan seperti ini. Akan tetapi, dengan pengalaman liputan-liputan yang berakhir tak mulus, pimpinan redaksi menyuruhnya memilih zona aman. Carilah berita yang tidak terlalu berbahaya. Pergilah ke tempat yang aman. Selalu begitu pesan Sang Pimpinan Redaksi.
Padahal tidak akan ada tajuk berita yang lebih membosankan daripada pembukaan acara Beach Games. Acara ini tidak sebesar Asian Games, atau ajang olimpiade.
Namun ini liputan yang minim resiko.
"Minimal kau tidak akan terluka," kata kepala editornya saat itu.
Padahal, orang-orang menyukai berita yang heboh. Kalau perlu, sesuatu yang membuat mereka menaruh kopi pagi. Berita-berita spektakuler akan menarik mereka berkonsentrasi. Mereka membutuhkan liputan-liputan mendebarkan. Seperti pencurian, perampokan, atau pembunuhan.
Sayangnya, Shin sudah terlalu berpengalaman berada dalam situasi ketiga. Liputannya memang sering berakhir tidak mulus. Kepala editor sendiri sering mengatakan, terlalu banyak kebetulan bisa berakibat fatal. Bisa-bisa Shin terseret masalah kriminal di kantor polisi. Sebagai Sang Tersangka.
Lee Shin kembali menjepretkan kameranya pada sosok gempal berkemeja kembang-kembang di panggung. Kelihatannya, foto-foto sudah cukup untuk dimuat dalam halaman olahraga FlaSh-NewS.
Pembukaan Asian Beach Games oleh Jeremy Simon.
Lee Shin sebenarnya enggan mengisi halaman olahraga. Namun hanya ini pilihan jika dia ingin ditempatkan dalam tim peliputan.
Meliput adalah satu-satunya kegiatan yang menghibur Shin. Terjun ke lapangan membuat dia melupakan semua kenangan buruk.
Sayangnya, marga Lee dalam namanya berarti begitu banyak. Para staf redaksi maupun wartawan-wartawan lain memperlalukan Shin dengan istimewa. Tidak seorang pun dari mereka yang berani menempatkan Shin dalam peliputan berbahaya. Apalagi, Shin dikenal sebagai wartawan yang kebetulan berada di TKP kejahatan.
Beberapa tugas sebelumnya selalu jadi bencana. Gosip artis berubah menjadi berita pembunuhan. Wawancara ekonom terkenal berubah menjadi tajuk berita penggagalan upaya pembunuhan. Seakan-akan, Shin selalu berada di dekat kejahatan. Mengetahui, atau menggagalkan. Ini tak ada hubungannya dengan Light. Ini berhubungan dengan nasibnya sendiri.
Lee Shin, seorang pemilik raksasa perusahaan media cetak, sekaligus budak ayahnya.
Shin mengambil beberapa angle lagi, sebelum mengarahkan lensanya ke pemandangan lain. Dia mengambil gambar pantai dan orang-orang yang mulai berselancar. Sementara itu, Jeremy Simon tampak senang dengan acara itu. Jeremy memilih untuk berdiri lama-lama di area panggung tenda yang menjorok ke laut.
Dua orang perempuan seksi membelai pundak Simon. Simon tertawa. Dia menyulut rokok di mulut, lalu mengambil pemukul gong.
Oh, rupanya acara akan segera dimulai.
Panitia sudah bersiap meluncurkan balon warna-warni. Beberapa siap di kanan-kiri, masing-masing memegang confetti. Sirine pun sudah siap dikumandangkan.
Lee Shin segera memusatkan perhatiannya untuk mengambil gambar Simon. Sama seperti orang-orang berponsel kamera yang memandang panggung buatan itu. Semua orang larut dalam euforia kegembiraan. Semua menanti kompetisi yang sesungguhnya. Tak peduli dengan hal lain di luar itu.
Tidak seorang pun menyadari kehadiran perahu motor putih yang dikendarai seorang gadis belia. Wajah cantik Sang Gadis dibingkai rambut hitam yang tergelung di belakang leher. Sementara pakaiannya adalah pakaian lateks hitam yang menutupi seluruh tubuh.
Gadis itu menaikkan kacamata hitam. Beberapa saat, pandangan matanya menyusuri langit.
Rupanya, gadis itu sedang memperkirakan arah angin dari arah parasut dan layar-layar perahu. Pergerakan arah angin akan menjadi bantuan yang sangat berarti bagi misinya.
Sesaat, gadis itu menurunkan kacamatanya kembali. Dia mengarahkan perahu motor ke sudut yang tepat. Senapan penembak jitu telah siaga di tangan. Dengan segera, Sang Gadis membidikkan senapan itu ke arah Simon.
Gadis itu menunggu saat dimulainya keriuhan acara. Dan benar saja, tepat sesaat setelah Simon memukulkan gong, balon-balon segera diluncurkan. Confetti meletup keras mengiringi pelepasan balon. Simon tersenyum lebar diantara kedua gadisnya. Bertepuk tangan bersama orang-orang. Suara Sang MC pun bergema melalui pengeras suara.
"… and The Asian Beach Games was already begun!"
Sirine bergaung memenuhi udara. Dan…
Dor!
Peluru itu berhasil membuat lubang di kening Simon. Dua gadisnya berteriak kaget. Panitia di sekitar Simon bergerak dengan panik. Berusaha menopang Simon seraya berkomunikasi melalui gawai.
"Ada kejadian gawat!"
"Mr. Simon terluka!"
"Dia tertembak!"
Kaget, Shin langsung menurunkan kamera dari wajah. Apa itu bukan halusinasi? Sebuah penembakan terjadi di depan mata? Apakah nasib sedang bermain-main dengannya?
Didorong insting, Shin memiringkan kepala hingga pandangannya terarah ke laut. Shin langsung melihat sosok berbaju lateks hitam di atas perahu motor. Tapi jarak membuat Shin tak bisa mengidentifikasi siapa sosok itu. Shin bahkan tak tahu apakah sosok itu sosok perempuan atau sosok lelaki.
Dialah pelakunya!
Sosok itu membuang senjata ke tengah laut. Sial! Terlalu jauh! Shin berlari mengelilingi garis pantai, dengan harapan bisa mengejar. Akan tetapi, ini adalah hal yang sia-sia. Mengingat lawan telah jauh di tengah samudera. Entah melarikan diri ke mana.
Berkali-kali, Shin berusaha menangkap sosok itu dengan pandangan mata. Siapa dia? Pria? Atau wanita? Mengapa dia mengincar Simon? Bagaimana cara menangkapnya? Apakah Shin hanya akan berdiam diri melihat sosok itu lolos dengan mudah?
Sekali lagi, Shin berada dalam sebuah kasus. Ayahnya pasti akan marah sekali. Bisa-bisa, dia dilarang untuk liputan lapangan lagi.
Shin melontarkan sumpah serapah dengan gemas. Dia terpaksa kembali ke kerumunan orang-orang. Kegelisahan orang-orang mempengaruhi Shin. Pikirannya terbang entah ke mana. sedang langkahnya tidak terkontrol.
Segera saja, dia bertumbukan dengan seorang gadis berpakaian swimwear one piece yang ditutupi sarung pantai merah terang. Dorongan yang keras membuat Shin dan gadis itu terjatuh ke atas tanah, dengan posisi Shin berada di atas.
Shin melihat raut terkejut di wajah gadis itu. Suasana siang yang hingar bingar membuat Shin tak dapat memperhatikan maupun menilai apakah gadis ini cantik atau tidak. Otaknya buntu. Perhatian Shin masih sepenuhnya terarah pada pembunuhan Jeremy Simon.
Shin bangkit sesegera mungkin. Dia menarik Sang Gadis—membantu gadis itu untuk berdiri.
"Maafkan aku," kata Shin, "Aku tak sengaja menabrakmu."
Gadis itu menggeleng dengan isyarat kalau dia tak mengerti ucapan Shin, "Are you ok?"
"I'm fine," Shin menjawab, "And you?"
"It's ok. That was just an uncomfortable falling,"
Gadis itu membetulkan kaca mata hitam. Melihat name tag di dada dan kamera di tangan Shin, dia agak terkejut.
"You are a reporter?"
Shin mengangguk. Dia sadar, dia harus segera mengambil wawancara dengan petugas panggung. Jadi Shin berusaha menyingkat percakapan tak penting itu.
"Sorry, I have to go."
Gadis itu tersenyum. Membiarkan Shin berlalu dari hadapannya dengan tergesa-gesa. Sesaat setelah punggung Shin menghilang, Sang Gadis mengambil sebuah ponsel kecil dari tas slempang. Dia menekan nomor yang dihafalnya luar kepala. Seorang gadis menerima telepon itu.
"What will you tell, Agni?" kata gadis di seberang.
"Mission accomplished," ia berkata pelan, "Simon is dead."