Pukul sembilan pagi, waktu setempat.
Hokkaido terletak di bagian utara Jepang. Cuaca yang lebih lembab membuat musim panas menjadi bersahabat. Di musim dingin, suasana lebih menarik lagi. Banyak orang menyukai olah raga salju, dan menghabiskan liburan musim dingin mereka di sini.
Musim dingin di Hokkaido lebih dingin dari tempat-tempat lain di Jepang. Terlebih lagi, di pegunungan dengan tinggi ribuan meter seperti ini. Ketika badai salju sering datang dan jalanan menjadi jauh lebih licin dari biasa. Jika tidak hati-hati, kau akan terpeleset dengan mudah.
Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan membungkukkan badan untuk memberi penghormatan pada deretan abu di depan. Ini adalah rumah duka, di mana sisa-sisa kenangan manusia tersimpan dalam deret-deret panjang dan sakral. Sebuah kolumbatorium yang mengabadikan manusia-manusia dalam kenangan. Di mana sisa-sisa abu bergabung dengan doa dan harapan bagi keturunan mereka.
Lahir sendiri, mati sendiri. Berakhir dalam debu, pikir gadis itu. Udara berpusar ketika dia mengembuskan napas, mengingat kalau suatu saat nanti dirinya akan menjadi salah satu penghuni kolumbatorium ini.
Namanya Agni. Kini, dia menjadi salah satu tangan yang merenggut kehidupan. Menjelma menjadi sosok yang ditakuti banyak penjahat dan tokoh dunia hitam. Membunuh dan dibayar. Sama seperti yang pernah dilakukan kekasihnya.
Untunglah, kekasihnya adalah partner yang luar biasa. Dengan telaten, dia melatih Agni. Hanya agar gadis itu bisa mempertahankan diri dari musuh-musuhnya.
"Aku tak ingin dirimu menjadi pembunuh," demikian pesan Sang Kekasih.
Sayang, pesan itu telah dilanggar. Tangan Agni kini berlumuran darah. Namun, dia sama sekali tidak menyesal karenanya.
Mengingat hal ini, Agni tersenyum sendiri. Misi baru akan segera diberikan. Satu nyawa lagi dipastikan akan menuju neraka. Penjahat yang patut diberi hukuman.
Agni mengembuskan napas. Membayangkan tangannya akan segera berlumuran darah penjahat. Dia sama dengan para penjahat itu. Hanya saja, dia telah lama memutuskan akan menjadi lebih kuat. Semakin kuat lagi, demi menjaga nama kekasihnya.
Shadow.
Sebuah wajah kembali membayang dalam pikirannya. Pria yang selalu membisikan kata-kata indah
"Kau adalah gadisku. Kau adalah gadis yang kuat. Gadis yang paling kucintai!"
Agni melipat tangan, memeluk dirinya sendiri. Imajinasinya terbang ke saat-saat bersama Shadow. Waktu tak bisa diputar mundur, namun ingatan akan terus bertahan. Hingga selama-lamanya.
Dia pun tersenyum sambil memejamkan mata. Betapa dia merindukan saat-saat itu. Seandainya waktu dapat berputar kembali, dia ingin kembali ke waktu di mana Shadow dan dirinya masih berhubungan mesra. Waktu di mana Shadow menyibakkan rambutnya sambil menyusupkan kata-kata cinta.
Namun, harapannya musnah seketika. Keheningan tempat itu rusak oleh suara berisik mesin mobil. Agni menelengkan kepala, memastikan siapa yang datang. Melihat sosok pria itu, Agni menghela napas. Hatinya masih hancur. Dia masih enggan menghadapi pria itu. tapi apa daya, Taejo Yamada rupanya menunjuk Fox untuk menjemputnya.
Bunyi sepatu bot berkelotak di dalam rumah abu. Pria itu menepiskan sisa-sisa salju di kepala. Memperlihatkan wajah beralis tebal, dan mata setajam elang. Saat itu, Fox mengenakan jubah musim dingin panjang dari bulu binatang dan syal yang tebal.
Agni segera membuang muka. Namun tangan Fox segera menyambar dagu Agni agar gadis itu menatap matanya. Kilat berbahaya terlihat di mata pria itu, meski bibir tipisnya tersenyum manis.
"Tidak perlu menghindariku seperti itu," Fox berkata, "Apa kau baik-baik saja selama ini, Jagiya? (sayang)?"
Mendengar sapaan ramah dan tulus itu, gadis itu hanya tersenyum hambar. Siapa yang tak kenal Fox? Pembunuh level tinggi yang menyandang gelar Deathlord di organisasi. Bagaimanapun ramahnya dia menyapa, tujuan lain pasti tersimpan dalam keramahannya.
Hingga kini, tidak ada yang mengetahui nama asli Fox. Nama Fox bahkan sudah masuk daftar hitam berbagai organisasi intelijen. Sosok pria yang merupakan salah satu dari pembunuh profesional yang menjadi tangan kanan Taejo Yamada, pemimpin organisasi Death Hand—tangan kematian yang bertanggung jawab atas berbagai macam pembunuhan tokoh-tokoh penting di Asia.
Agni menyurukkan tangan ke dalam saku. Mencari sepucuk pistol yang terselip di sana. Sebelum dia dapat mengambil pistol itu, Fox lebih dulu meliriknya. Dengan sebuah gerakan halus, Fox meraih pistol itu. Lalu memasukkannya ke dalam sakunya sendiri.
"Kau akan mencelakai dirimu sendiri saat pemeriksaan nanti."
Agni menyipitkan mata. Namun tidak dapat berbuat apa-apa. Fox masih menatapnya dengan intens. Menanti reaksi perlawanan lain dari Agni.
"Begitu kosongkah orang-orang di kantor sehingga kau sendiri yang datang kemari?" katanya sinis. Fox melepaskan Agni segera. Dia juga mundur selangkah seraya memamerkan seulas senyum licik.
"Siapa orang yang berani menjemput gadisku?" katanya penuh arti.
Perut Agni seketika mulas. Asam lambungnya naik segera, membuat Agni ingin muntah. Agni kembali mundur saat Fox mendekatinya lagi. Fox menarik tangannya, menggandengnya ke sebuah mobil off road yang terparkir tak jauh dari sana.
Mobil itu membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Pemandangan bersalju di luar berkelebat dengan cepat. Berganti dengan kelokan jalanan yang semakin mengecil, mengecil, lalu naik, turun, membubung tinggi.
Ini bukan jalan untuk manusia.
Ini adalah jalan ke markas Death Hand. 'Kantor', sebutan yang digunakan untuk menyamarkan betapa sangarnya markas mereka. Tentu saja, sebuah organisasi rahasia perlu mengamankan markas mereka seketat mungkin.
Gunung yang tinggi menjadi gerbang pertama. Dengan salju tebal dan ancaman binatang buas yang sewaktu-waktu datang mengadang. Sementara markas sebenarnya terletak jauh di atas gunung. Di balik dinding tinggi berkawat duri. Penuh penjagaan yang siap menyambut kedatangan tamu tak diundang. Menjadikan sang tamu sebagai salah satu penghuni daftar orang hilang. Atau disimpulkan 'telah tewas dimakan binatang buas'.
Sebuah takdir yang mengerikan. Lebih mengerikan daripada sebuah fakta kalau orang itu benar-benar mengalami kecelakaan ski salju, atau terjatuh dari tebing.
Ada protokol-protokol yang dilakukan hanya untuk mengetes apakah pengunjung merupakan mata-mata dari polisi atau kelompok lain. Kalau memang itu kenyataannya, tindakan yang diambil akan jauh lebih keji.
Dua orang bersenapan menghampiri mobil off road milik Fox. Dengan tubuh kekar berotot, serta deret-deret amunisi yang menempel di badan, mereka terlihat garang dan menakutkan. Hanya saja, begitu melihat sosok Fox, mereka langsung menunjukkan sikap lunak.
Salah seorang diantara mereka mengedipkan mata pada Agni, "Welcome, Mrs Fox," godanya sambil mengedipkan mata.
Agni lagi-lagi mengernyit jijik.
Kedua orang itu lalu membuka pintu baja. Menunjukkan enam buah bangunan yang sekilas terlihat sebagai pergudangan. Ini adalah tahap seleksi pertama. Jika mereka memasuki bangunan yang salah, mereka akan segera menjadi korban terjangan peluru atau sinar laser.
Fox mengarahkan mobilnya ke gudang nomor empat, lalu mematikan mobil. Di sana telah menunggu empat pengawal yang langsung tersenyum melihat mereka. Fox menggamit tangan Agni. Mengajaknya menuju dinding besar di hadapan mereka.
Fox menekan tombol kecil di tangan. Secara otomatis, tombol itu menggeser dinding. Menampakkan lorong-lorong panjang berdinding cermin. Lorong panjang itu mengarah pada kelokan menurun. Mengantar mereka jauh ke bawah tanah. Petugas lain mulai menyalakan alat pemeriksa keamanan standar pindai laser, infra merah, dan hal-hal membosankan yang dibenci Agni.
Markas rahasia selalu membuat Agni mual. Selama berpacaran dengan Shadow, Agni tak pernah masuk ke markas rahasia manapun. Larangan untuk bergabung dengan organisasi membuat Agni hanya bisa tinggal di safe house.
Agni melepas jubah musim dingin. Dia menyerahkan jubah itu kepada petugas di pos penjaga. Lalu segera memelototi Fox di sebelah.
"Apa yang kau lihat?"
"Senjata lain, mungkin," kata Fox jail, "Atau hanya senyumanmu?"
"Sampai kapan kalian berpikir kalau aku akan mengacau di sini?" Agni akhirnya tak dapat menyembunyikan kesinisan dalam suaranya.
Ucapan Agni tampaknya memperlunak perlakuan petugas. Petugas pemeriksa badan mengabaikan prosedur dan hanya membukakan pintu lift bagi Fox dan Agni. Agni pun melangkah dengan cepat ke dalam lift. Berharap kalau Fox tidak akan mengikutinya.
Namun tentu saja, harapannya kandas. Fox segera ikut masuk lift. Dia bahkan berdiri dekat sekali dengan Agni.
"Kenapa kau datang sendirian?" Fox berkata tak lama setelah mereka di dalam lift.
Alih-alih menjelaskan, Agni malah menjawab dingin, "Bukan urusanmu."
Sayangnya, suara Agni yang jelas lebih dingin dari hujan salju di luar tidak mampu membuat Fox menyerah. Fox mendekati Agni. Satu tangannya segera meraih jemari Agni, lalu meremasnya pelan.
"Jangan sentuh aku, Bajingan!" Agni langsung berteriak dan menepis pegangan Fox. Dia melihat angka-angka dalam panel lift. Perjalanan mereka masih jauh.
Agni mengembuskan napas dengan kesal. Melihat reaksi Agni, Fox tertawa. Dicengkamnya tangan Agni, hingga kuku-kukunya melukai gadis itu.
Namun ekspresi dingin Agni tidak berubah. Kebencian dalam diri Fox mulai menyeruak keluar. Fox pernah memeluk gadis itu, menciumnya, mencumbunya… Agni adalah milik Fox. Gadisnya. Tak seharusnya dia menerima perlakuan seperti ini, bukan?
"Aku tak akan melupakan apa yang pernah menjadi milikku," meski terdengar datar, suara Fox bernada ancaman.
Agni kembali menyentakkan tangan Fox. Dengan sikap defensif, Agni melipat tangan, memeluk dirinya—seakan-akan sedang menjaga semua sendi agar tidak pernah terlepas.
"Aku adalah milik Joong. Selamanya milik Joong," kata Agni lirih, "Joong pernah menerimaku. Dia akan menerimaku lagi."
"Joong? Memangnya di mana Joong sekarang? Kau tahu?" Fox berkata dengan nada marah. Sisa-sisa keramahan di wajah Fox langsung musnah. Menampakkan sosok seorang pembunuh berdarah dingin. Tidak lebih.
Fox menangkap lengan Agni. Dengan kasar, ditekannya pipi Agni. Sejenak, dia mendekatkan wajah. Agni refleks memejamkan mata. Ketakutan yang memuncak membuatnya lemah. Tak mampu memberikan reaksi yang tepat.
"Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"
Agni tidak menjawab. Seluruh badannya terasa dingin hingga menggigil. Fox rupanya mengetahui hal ini.
"Don't try to dare me, Jagiya," katanya keji. Segera, Fox mengempas Agni dengan kasar. Fox menoleh angka pada panel lift, dan segera melepaskan tatapannya pada Agni.
"Kita sudah tiba," Agni berkata, masih dengan getar ketakutan.
"Jangan mengira kalau urusan kita telah selesai," Fox berkata dengan nada gusar.