Aku hamil. Setidaknya tulisan itulah yang muncul di sosial media milik Rafael.
Hamil? Maksudnya hamil anaknya?
Aku ingin bertemu denganmu, aku ingin bicara padamu.
Kau tidak melupakanku kan?
Rafael bahkan melihat Karen mengirimkan sebuah foto sebuah testpack yang menunjukan dua garis merah di sana.
Wajah Rafael memucat, seakan darah yang ada di wajahnya tersedot dan menyisakan wajahnya yang memutih.
"Kak, ada apa?" tanya Liam yang sejak tadi melihat gerak gerik teman satu perjuangannya itu diam saja.
Manajer mereka telah tidak sadarkan diri setelah mabuk, sehingga kini Rafael dapat melihat apa isi DM yang ada di dalamnya setelah mengorek isinya.
Dia bahkan tidak peduli dengan isi beberapa DM ancaman atau bahkan pernyataan kebencian yang ditujukan padanya.
"Kak?" Liam menggoyangkan pundak Rafael. Namun lelaki itu hanya bisa menatap kosong wajah Liam yang penuh dengan rasa penasaran.
"Tidak apa apa, hanya sebuah komentar—"
"Perempuan pulau itu kan?"
Liam menebaknya dengan benar. Namun Rafael tak dapat mengiyakannya. Atau pun menggeleng kepalanya.
Kini yang ada di dalam kepalanya bagaimana caranya untuk bertemu dengan Karen. Atau jika tidak, ia sangat takut kalau Karen akan melaporkan kehamilannya pada public dan membuat karirnya hancur seketika.
"Sebaiknya kita pulang," bisik Liam. "Aku sudah sangat lelah."
"Hmm baiklah, sepertinya memang kita harus pulang." Rafael tersenyum kaku. Dia mengembalikan ponsel tersebut pada manajernya, tapi dia mengirimkan sebuah nomor pada Karen. Nomor yang dapat ia hubungi.
**
Karen yang malam itu sudah terlepas dari rasa sakitnya selama seharian kini tidur dengan nyenyak.
Ruri yang sebenarnya penasaran siapa yang sudah menghamili Karen hanya bisa memandangnya dengan kasihan. Lagi pula, dia tidak tahu siapa orang itu. Kalau tahu, mungkin dia akan menghubunginya dan mengatakan jika Karen saat ini sedang menderita karenanya.
**
Paginya, Karen tampak sumringah ketika melihat isi di dalam DM nya. Sebuah pesan yang dikirimkan dari seseorang yang ia tunggu.
Karen langsung cepat cepat menyimpan nomor yang diberikan Rafael tadi malam. Kemudian dia segera meneleponnya.
Tetapi …
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau berada di luar jangakuan.
"Kenapa? Kenapa tidak bisa dihubungi?" gumam Karen. Dia menatap layar ponselnya. Awalnya ia pikir mungkin Rafael mematikan ponselnya.
Namun setelah setiap satu jam sekali Karen berusaha untuk menghubunginya. Nomor tersebut masih saja tidak bisa dihubungi.
"Bagaimana ini?" tanya Karen dalam hati.
"Kau kenapa, Karen?" tanya Ruri. Ia melirik Karen yang tengah gelisah.
"Tidak apa apa." Karen tersenyum kecut.
"Oh ya, kapan kau akan bekerja? Bagaimana hasil wawancaranya kemarin?"
Oh ya benar juga, Karen belum mendapatkan hasilnya. Seharusnya sore ini dihubungi jika dia lolos. Karena jika tidak, maka dia harus mencari pekerjaan di tempat lain.
"Nanti sore, semoga saja aku mendapatkan pekerjaan itu."
"Posisinya apa?"
"Bagian adminitrasi gudang, lumayan gajinya. Setidaknya bisa kukumpulkan sampai anak ini lahir." Karen mengelus perutnya. Ia berpikir jika nanti dia akan keluar dari san ajika perutnya sudah membesar.
Ruri tahu tahu sudah duduk di sebelah Karen.
"Kau tidak takut akan ketahuan? Kau tahu sendiri, orang hamil pasti kentara," lanjut Ruri.
Dia tidak ada maksud untuk menakut-nakuti Karen. Hanya saja, jika hal itu terjadi maka akan terjadi masalah besar nantinya.
"Aku tidak tahu." Karen meringis.
"Tapi ini masih muda, jadi—mungkin aku akan sangat berhati-hati."
"Semoga sukses ya."
**
"Kenapa bisa hilang? Hilang di mana?" tanya manajer Rafael yang siang itu mengunjungi dorm Liam dan Rafael.
"Aku tidak tahu, tadi malam masih ada ketika kita minum," jawab Rafael sambil memikirkannya sekali lagi.
Liam sejak tadi berusaha menghubungi nomor Rafael. Tapi nihil. Ponselnya sudah tidak aktif.
"Gawat," desis Liam.
"Apanya?" tanya Rafael.
"Kau tidak menyimpan sesuatu yang aneh di sana kan? Maksudku, foto telanjangmu atau mungkin foto mantan kekasihmu di sana?"
Rafael membulatkan matanya lalu melempar bantal sofa pada Liam yang wajahnya sangat serius sekali.
"Tidak ada, jangan khawatir!" ujar Rafael.
Yang ia takutkan hanyalah jika Karen tidak dapat menghubunginya. Apakah seharusnya dia datang ke pulau itu lagi saja? Tapi bagaimana cara mencari Karen?
"Sudahlah, kita ganti ponsel saja," putus manajer Rafael.
"Lalu … bagaimana dengan ponselku yang itu?" tanya Rafael.
"Ya sudah, ikhlaskan saja. Dan mulai sekarang kau harus lebih berhati-hati lagi."
Kalau saja Rafael dapat mengatakan apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Tapi sepertinya hal itu akan memburuk nantinya. Jadi lebih baik dia diam saja untuk saat ini.
**
Tadi malam …
Rafael masuk ke dalam mobil milik agensinya. Karena manajernya mabuk, otomatis supir lain dari agensi tersebut datang untuk menjemput mereka bertiga.
Ketika Rafael berusaha memasukan manajernya ke dalam. Tangan manajer tersebut tanpa sadar menjatuhkan ponsel Rafael hingga ponsel tersebut masuk ke dalam celah got. Dan tadi malam di kota sempat hujan, jadi ponsel tersebut pasti sudah mati total saat ini.
**
Karen tersenyum bahagia, akhirnya dia bisa bekerja mulai lusa. Dia dinyatakan lulus dari interview kemarin. Berkat pengalamannya, dia juga lolos dari beberapa kadidat yang lain.
"Selamat, kau tak perlu khawatir jika kehabisan uang," kata Ruri. Dia masih kuliah jadi dia tidak bisa mencari uang untuk saat ini.
Sebenarnya bisa, tapi dia pasti akan kelelahan nantinya.
"Terima kasih, aku akan bekerja keras."
"Jangan terlalu keras, pikirkan yang ada di dalam perutmu," sahut Ruri. "Oh ya, mungkin aku akan pergi menginap di rumah kakakku untuk weekend ini, tak apa apa kan kau di rumah sendirian?" tanya Ruri.
"Tak apa apa, bersenang senanglah. Karena aku akan pergi ke suatu tempat."
"Di mana?"
"Emm, rahasia," bisik Karen.
Karen akan ke agensi baru Rafael, dia akan menunggunya seperti orang bodoh di sana. Dia harus bertemu dengan Rafael bagaimanapun caranya.
Hanya saja—apakah Rafael ada di sana nantinya? Karena katanya, Rafael kini tengah sibuk.
Haruskah dia menerobos ke tempat tinggal Rafael? Tapi bagaimana kalau dia terpergok oleh orang lain?
Karen menatap layar ponselnya. Telepon darinya tak bisa tersambung ke nomor Rafael.
"Rafael tidak mungkin berbohong, kan," gumam Karen. "Pasti ada sesuatu hal yang terjadi, makanya nomornya tak aktif."
**
"Aku akan pergi ke kota menemui Karen," kata Ken yang kini sudah dipindahkan di ruang perawatan.
"Tapi kau masih seperti ini, Ken," sahut Nana.
"Nanti setelah aku sembuh. Kau tahu di mana alamat Karen tinggal kan?"
Nana sudah berjanji pada Karen jika dia tidak akan memberitahu Ken. Namun—apa dia bisa membohongi lelaki itu?
"Aku tidak tahu, kau tanya saja pada orangtua Karen," jawab Nana. Dia melirik ke arah Galen. Wajah keduanya memucat karena takut jika kebohongan mereka akan terbongkar.