webnovel

Serial Killer (A - Accident)

Seorang korban tabrak lari ditemukan meninggal dunia. Ketika polisi datang dan memeriksa tubuh korban, tidak ditemukan tanda pengenal, terdapat memar bekas ikatan di kedua pergelangan tangan dan kaki korban layaknya korban pernah disandera sebelumnya. Luka bekas menggenggam benda tajam juga terdapat di telapaknya. Karena tidak tampak seperti kasus kecelakaan biasa, kasus yang harusnya ditangani unit Laka Lantas pun diserahkan ke Tim Investigasi Khusus.

NurNur · Terror
Classificações insuficientes
30 Chs

Tujuh Belas.

Rumah dalam keadaan gelap gulita. Ketika lampu baru dinyalakan betapa terkejutnya ibu melihat siapa yang ada di ruang tamu. Pekikannya cukup untuk membuat satu kampung ikut terkejut. Anak laki-laki satu-satunya, Atmaja Ken.

Duduk di gelap-gelapan, meringkuk di kursi pojok ruangan, siapa yang tidak terkejut. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya ia melihat anaknya bertingkah seperti itu, tapi anenya ia tetap selalu terkejut setiap kali melihatnya.

Setiap kali Ken memiliki banyak beban pikiran di kepalanya atau saat baru melakukan olah TKP terhadap kasus yang rumit, ia akan duduk meringkuk di suatu tempat pada malam hari. Lampu sengaja tidak dinyalakan, kegelapan yang memenuhi sampai ke sudut-sudut ruangan dan keheningan adalah tempat terbaik yang membantunya merasa nyaman untuk berpikir.

"Ken, Ken... kalau mau gelap-gelapan coba ya di kamarmu sendiri biar nggak ngegetin ibu begini," protes ibu.

"Maaf," kata Ken seadanya. Ia mengemasi tasnya untuk pindah lokasi ke dalam kamar seperti saran ibu.

Ken berjalan sempoyongan dengan kepala tertunduk. Otaknya masih sibuk berpikir dan mengkalkulasi. Akibatnya, bahunya membentur lemari yang pinggirannya menjorok keluar dan kakinya tersandung kursi.

Ibu hanya menggeleng-geleng. Hal seperti itu juga bukan pertama kalinya. "Sudah makan? Mau ibu masakan apa?!" Ibu berteriak diakhir kalimatnya karena Ken sudah keburu masuk kamarnya.

"Terserah!" sahut Ken dengan berteriak juga.

Tragedi yang pernah Ken ceritakan pada Dani 12 tahun lalu adalah hal paling mengerikan yang siapa pun tidak ingin mengingatnya. Termasuk ibu, juga Ken yang tanpa sadar menyegel ingatannya. Dokter menyebutnya dengan istilah PTSD. Gangguan stres pasca trauma.

12 tahun lalu, terjadi penculikan ayah dan anak saat akan berangkat ke sekolah. korbannya adalah Ken dan ayahnya. Keduanya menghilang selama 3 hari 3 malam.

Setelah laporan masuk, kepolisian segera melakukan pencarian. Tepat di malam ketiga ketika tempat penyekapan akhirnya ditemukan, ruangan itu sudah berlumur darah. 3 orang pria yang diidentifikasi sebagai pelaku penculikan meninggal dengan banyak luka akibat tusukan. Ada juga beberapa memar bekas perkelahian.

Luka tusuk yang mengerikan, yang langsung membuat orang yang melihatnya membayangkan betapa brutal penyerangnya. Bukan hanya satu atau dua tusukan, ada puluhan. Dan kesemuanya itu menyebar di bagian tubuh berbeda.

Ketika ditemukan, Ayah sedang memeluk Ken yang tidak sadarkan diri. Tangan kanannya memegang pisau yang berlumuran darah, sementara tubuhnya tidak berhenti gemetar. Noda cipratan darah memenuhi tubuh dan wajahnya. Bahkan saat bagian medis mencoba memisahkan, genggamannya masih erat memeluk Ken.

Awalnya disebut korban dan seharusnya berlaku sampai akhir. Tapi di persidangan sebuah rekaman penyerangan pelaku penculikan yang dilakukan dengan brutal dan kalap diperlihatkan.

Wajah ayah Ken tertangkap jelas di camera, membawa pisau dan menusuk ketiganya bergantian. Tidak ada tempat bagi ketiga penculik untuk kabur dan menyelamatkan diri. Bahkan ketika mereka mencoba melawan balik, tidak ada kesempatan untuk menang.

Pada akhirnya hakim menjatuhkan hukuman bersalah pada ayah Ken.

Selain ayah dan ingatan Ken yang tersegel, tidak ada yang tahu hal apa yang sepenuhnya terjadi di tempat itu. Ayah berubah diam. Ekspresinya tanpa emosi. Ia bahkan tidak sekalipun terdengar membela diri saat pengadilan memberi vonis hukuman bersalah padanya.

Ibu dan Ken kemudian memulai hidup baru.

Untuk sepenuhnya memulai hidup baru, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah pindah ke kota lain, yang cukup jauh dari kota sebelumnya. Kota yang setidaknya aman dari desas-desus mengerikan mengenai kejadian kala itu.

Untuk menjaga keseimbangan emosional Ken yang masih anak-anak, pilihan pindah kota memang harus dilakukan. Untuk anak yang baru berusia 7 tahun, hal yang telah dialaminya amatlah mengerikan.

Memulai hidup baru bukan hal mudah setelah memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup. Menjadi orang tua tunggal juga bukan perkara mudah. Harus bekerja, menurus anak, dan rumah. Melakukan segala hal sendiri. Saat lelah dan ingin menangis yang bisa dilakukannya hanya menahan diri dan bekerja lebih keras lagi.

Ken pernah mendapati ibunya menangis sembunyi-sembunyi di suatu malam. Semenjak hari itu ibu tidak lagi mengizinkan dirinya menangis. Ia akan menjadi ibu yang kuat, yang selalu bisa Ken andalkan.

Jika benar-benar tidak bisa ditahan lagi, hal terakhir yang bisa dilakukan ibu adalah mengadu pada Tuhan-nya, kemudian pasrah.

Merasa lapar setelah mengurung diri selama 3 jam dalam kamar, Ken keluar untuk makan. Berpikir ibu sudah memasakkan sesuatu yang akan menggugah selera makannya, nyatanya yang ada di atas meja hanya roti tawar bakar dengan kondisi setengah gosong.

"Apa ini?" Ken mengerutkan keningnya, "Ibu enggak masak?" tambahnya.

"Roti. Tadi siapa yang bilang 'terserah'," jawab ibu yang sedang duduk santai di ruang depan sembari menikmati tontonan sinetron malamnya.

Ken terduduk lemas. Ia lupa kalau 'terserah' adalah kata keramat yang paling dibenci ibunya.

"Benar enggak ada yang lain?" Ken menawar dengan nada memelas.

Mendengar suara anaknya yang menyedihkan membuatnya ingin tertawa sekaligus merasa kasihan. Ibu akhirnya beranjak ke dapur.

"Mau ibu masakan apa?"

Kali ini Ken tidak menjawab dengan kata 'terserah.' Ia berpikir sedikit lebih lama untuk tahu apa yang benar-benar ingin ia makan. Sesuatu yang sederhana dan tidak memakan waktu lama untuk memasak.

Berpikir terlalu lama justru membuatnya semakin kelaparan, sementara yang terpikir di otaknya hanya nasi goreng.

"Nasi goreng," kata Ken karena tidak mempunyai alternatif pilihan lain "Pedas," tambahnya.

"Siap laksanakan, Pak!" ibu memberi hormat dan tertawa.

Sementara ibunya mulai memasak, Ken kembali ke kamarnya untuk mengambil sesuatu.

Tidak menikah lagi adalah pilihan yang ibu Ken ambil. Ken tidak tahu persis alasannya. Mungkin karena cinta, atau ibu masih menunggu ayah, atau karena memang belum ada orang yang cocok untuk memulai semuanya lagi. Ken tidak tahu, tapi apa pun keputusan ibu, ia akan mendukungnya.

Ken tahu melalui semuanya sendiri tanpa memiliki seorang pun sebagai tempat untuk bergantung dan dijadikan sandaran pasti berat. Melelahkan.

Ken tidak keberatan kalau ibunya menikah lagi. Toh ibu juga berhak bahagia dengan pilihannya. Toh ibu masih cukup muda dan di luar sana bayak yang seusia ibu dan masih berpikir untuk memulai membangun keluarga baru dan berbahagia.

Ken tidak tahu persis apa alasannya, dan ia juga tidak pernah bertanya.

"Ini!" Ken menyodorkan sesuatu yang dibungkus kertas kado. "Selamat ulang tahun yang ke-40 di bulan ke tiga, minggu ke tiga belas."

"Wah, anak ibu yang manis terima kasih," ucap ibu dibarengi dengan gerakan tangan mengacak-acak rambut Ken.

Ken yang tidak suka rambutnya disentuh menjauh. Tapi semakin jauh Ken memberi jarak, semakin senang ibu mengejar dan mengacak-acak rambut Ken.

"Kali ini apa, ya?" tanya ibu setelah puas membuat anaknya kesal.

"Tambalan panci," jawab Ken asal. Setelah memindahkan sebagian nasi dari penggorengan ke piringnya, Ken mulai suapan pertamanya.

"Lagi?"

Menerima hadiah ulang tahu dari Ken juga bukan hal baru. Ken rutin melakukannya setiap bulan.

Setelah melihat ibunya menangis diam-diam, Ken berpikir mengenai apa yang bisa dilakukannya. Meski ia tidak bisa mengurangi beban yang sedang ibunya pikul, paling tidak ia bisa melihat wajah wanita paling dicintainya itu semringah dan tersenyum bahagia. Ken kemudian berpikir untuk memberikan hadiah ulang tahun setiap bulannya.

Merayakan ulang tahun ibunya setiap bulan selain karena ingin membuat ibunya senang, juga sebagai tanda syukur Ken karena diberikan seorang ibu yang kuat. Ibu yang sangat menyayanginya sekaligus sangat senang membuatnya kesal.

Hadiah yang Ken berikan tidak selalu mahal. Sepatu, baju, jam tangan adalah hadiah yang lumrah pada umumnya. Ken juga pernah memberikan tiga benda itu. Tapi tidak selalu. Kebanyak dari hadiah yang Ken berikan adalah benda-benda sederhana, seperti lipstik, tambalan panci, parfum ruangan, gantungan baju, masker wajah, bahkan garam dapur.

Pernah pada hari libur, Ken memberi hadiah tiket nonton dengan dirinya sebagai pasangan nonton ibunya. Ken bahkan berdandan sebagai pria dewasa, khusus untuk hari itu.

"Wah!" seru ibu. "Terima kasih," kata ibu lagi, mengacak-acak rambut Ken lagi.

Hadiah dari Ken hari ini dibungkus kotak rapi, dilapisi koran dan kertas kado. Isinya jam beker. Alasannya karena ibunya selalu mengeluh bangun kesiangan setiap pagi, setiap akan berangkat kerja. Padahal alaram ponsel sudah diaktifkan, tapi katanya suaranya masih kurang nyaring.

Ibu tidak pernah memrotes mengenai hadiah apa yang Ken berikan padanya atau melarang agar tidak membuang-buang uangnya. Merayakan ulang tahunya setiap bulan adalah cara Ken mengungkapkan kasih sayangnya dan baginya, memiliki anak semanis Ken adalah kalkulasi dari semua kesedihan dan rasa lelahnya.

Satu-satunya ketakutan ibu adalah terbukanya kotak pandora dalan ingatan Ken. Setelah itu terjadi dan bagaimana keadaan Ken, ia tidak bisa membayangkannya. Tatapan berbinarnya diam-diam meredup. Kekhawatirannya dalam.

Kamar Ken tidak lagi gelap, ia juga tidak sedang meringkuk di pojok ruangan. Ken tidur terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tangannya ia jadikan bantalan untuk kepalanya.

Ia kembali memikirkan kelanjutan kasus. Kesal karena tidak ada perkembangan penyelidikan sebanyak apa pun ia berpikir, sebanyak apa pun ia menyelidiki temuan-temuan mereka. Hal lain yang juga membuatnya kesal adalah mengenai keragu-raguannya. Masih mengenai ksusus. Hal yang begitu menganggu pikirannya.

Ken menghela nafas.

Lagi, dan sekali lagi.

***