Dihari seharunya Ken kembali ke asrama, ia justru membolos. Ada sebuah tempat yang ingin didatanginya.
'Hanya... agar kamu lebih berhati-hati. Kamu tidak curiga, kenapa rekaman yang tidak ditemukan saat polisi melakukan olah TKP di tempatmu dan ayahmu disekap mendadak muncul di persidangan? Atau silsilah keluargamu yang sulit dilacak ? Itu... pasti karena ada seseorang di belakang layar, kan.'
Kalimat yang terakhir kali Haikal ucapkan sangat menggangu pikirannya. Ia ingin bertanya pada sang ibu, tapi begitu Ken berdiri dan akan mulai bertanya, kalimat yang keluar dari mulutnya justru hal-hal yang tidak ada kaitannya.
Bagaimana kalau ibunya menjadi sedih dan khawatir?
Itu membuatnya dilema. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah menemukan jawabannya di tempat lain.
Ken tiba di sebuah lapas setelah melewati 8 jam perjalan meninggalkan kotanya pagi-pagi sekali. Begitu selesai mengisi buku kunjungan dan melakukan pemeriksaan tubuh, Ken memasuki ruang besuk. Ia harus menunggu beberapa saat sampai seorang sipir membawa ayahnya datang.
"Ken, tumben sekali. Bagaimana kabarmu? Bagaimana keadaan ibumu? Ayah melihat namamu di televisi masuk dalam daftar anggota Tim Khusus, itu pasti hebat."
Ada banyak hal yang ingin ayah tanyakannya setelah begitu lamanya tidak melihat anak laki-lakinya. Ia tidak tahu bagaimana anaknya itu tumbuh, melewatkan hari-hari itu, tahu-tahu ketika datang sudah sebesar ini.
Ken tersentuh. Kerinduannya pada sosok ayah juga memenuhi sudut-sudut dalam hatinya yang kosong. Sampai kapan pun, dan seberapa pun mengerikannya pandangan orang tentang ayahnya, dalam ingatan Ken ia tetap ayah yang baik dan penyayang.
Seandainya saja sebagian ingtannya tidak tersegel, tidak akan ada keraguan lagi yang tersisa.
"Maaf, maaf sepertinya pertanyaan ayah terlalu banyak. Ceritakan dulu saja bagaimana keadaanmu."
"Aku baik, ibu baik, sekolahku baik, dan kasus di Tim Khusus juga sudah selesai dengan baik." Lama tidak bertemu dengan ayahnya membuat Ken merasa canggung. Ia bahkan tidak bisa bercerita dengan baik.
Wajah pria di depannya itu sudah jauh berubah dari ingatannya terakhir kali. Rambut yang biasanya pendek rapi kini gondrong tidak terurus. Wajah lebih tirus. Tumbuh kumis di bawah hidungnya. Pasti sangat berat untuknya menghabiskan hidup dalam penjara.
Ayah tertawa. "Kalau begitu..."
"Seharusnya ayah bertanya, 'kan kenapa aku datang setelah sekian lama memutuskan hubungan?" Ken mulai menguatkan hatinya untuk fokus pada tujuan kedatangannya. "Bukannya ayah seharusnya juga marah karena aku dan ibu meninggalkan ayah?"
"Ayah tahu, ayah tahu semuanya. Juga alasan kedatanganmu. Kamu... ingin tahu tentang kejadian itu, 'kan? Kejadian saat kamu berumur 7 tahun." Wajah ayah tidak lagi terlihat secerah sebelumnya. "Ayah sudah menduga kalau cepat atau lambat kamu akan datang untuk menanyakannya. Itu karena kamu tidak mempercayai siapa pun. Iya, 'kan?"
"Kalau begitu ceritakan," desak Ken.
Ayah terdiam sesaat. "Apa kamu pernah memegang pisau dan membayangkan untuk menikam seseorang?"Ayah mendekatkan wajahnya. "Jika kamu mendapatkan kenikmatan sedikit saja saat membayangkan itu, kamu mungkin akan mengingat semuanya."
Ken menarik dirinya menjauh, memberi jarak. Keningnya berkerut. Pria yang sebelumnya ia panggil ayah kini tampak asing di matanya. Harusnya ayahnya tidak seperti ini, tidak pernah semengerikan ini.
Sekelebat ingatan tiba-tiba melintas. Ken memekik. Kepalanya mendadak sakit. Seperti akan meledak saat itu juga, seperti ribuan jarum dihujamkan di saat yang bersamaan. Semakin lama rasanya semakin menyakitkan.
Para sipir yang bertugas berjaga segera masuk dan mengamankan napinya.
Ingatan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah muncul datang dengan sangat menyakitkan. Ken tidak bisa memikirkannya lagi. Ia belum mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi kebenaran dari ingatannya yang bersembunyi. Kebenaran yang mungkin saja memiliki rasa sakit yang sama mengerikannya.
Ken berusaha menenangkan diri. Mengatur nafasnya.
Tidak ada lagi yang ingin dilakukan, Ken menuju halte untuk mengambil rute pulang.
Dalam perjalanan Ken baru sempat memeriksa ponselnya. Ada beberapa panggilan tak terjawab yang masuk. Saat akan diabaikan, sebuah panggilan masuk. Dari Tuan Putri.
"Ya?"
"Ken, kamu enggak apa-apa? Aku baru lihat di berita tentang Dani."
"Iya enggak apa-apa," Ken menjawab seadanya. "Oh iya, terima kasih, ya kado ulang tahunnya."
"Kamu sudah terima?" suara Amelia berubah riang. "Sudah diterima, ya padahal rencananya mau diberikan tepat di hari ulang tahunmu biar kamu tersentuh. Tapi kalau..."
"Maaf," Ken memotong "Apa... sebelumnya Dani pernah ngomong sesuatu ke kamu?"
"Tentang apa?"
"Tentang kasus atau tiba-tiba dia berubah aneh."
Ken masih menunggu. Suara di seberang sana tidak kunjung terdengar memberi jawaban. Mungkin sedang mengingat-ingat, pikir Ken.
"Enggak, enggak ada."
"Oh."
Ken membiarkan Amelia berbicara di telepon selama berjam-jam. Ia sedang butuh teman bicara saat ini. Meski tidak sepenuhnya seperti teman bicara karena Ken hanya memberi tanggapan seadanya dan lebih banyak diam, paling tidak ada seseorang yang bercerita padanya. Yang bisa membuat pikirannya teralihkan sesaat.
Malam sudah larut saat Ken sampai di rumahnya. Lampu depan yang terlihat masih menyala menandakan ibu pasti sendang menunggunya.
"Assalamu'alaikum," Ken memberi salam.
"Kenapa kamu pergi menemui ayahmu?!" Ibu langsung menyerang Ken dengan pertanyaan tanpa menjawab salam Ken lebih dulu.
"Ibu tahu darimana?"
"Jangan mengalihkan pertanyaan, jawab saja!" Nada bicara ibu semakin meninggi.
"Ibu... juga menyembunyikan sesuatu, 'kan?" Ken balik menyerang ibunya dengan pertanyaan. "Apa yang ibu sembunyikan? Bukannya aku berhak tahu. Karena dia ayahku dan aku anak ibu aku jadi harus tahu, 'kan?"
"Ken..."
"Ibu pasti mau bilang kalau ini demi kebaikanku. Iya, 'kan ?"
Ibu menghela nafas. Tidak akan mudah kembuat Ken mengerti. Ia kemudian memeluk Ken. Isaknya terdengar dan airmatanya tumpah membasahi punggung Ken.
Ken menghela nafas. Hal seperti ini yang sangat Ken jaga agar jangan sampai terjadi. Tapi, meski hal yang tidak diingankan tetap terjadi dan ibunya terisak sembari memeluknya, ia tetap tidak tahu harus bagaimana.
"Jangan temui lagi ayahmu," ibu berkata di sela-sela isak tangisnya.
***
Huda sedang melakukan ziarah kubur. Ini pertama kalinya ia datang dan mengirim doa langsung di makam gadis yang disukainya. Yang pernah disukainya. Setelah memutuskan untuk melanjutkan hidup dan berhenti mengenag, Huda merasa perlu menyampaikan salam perpisahan secara langsung.
Gadis di balik gundukan tanah itu mungkin sudah menjadi tulang belulang, tapi Huda berjanji doanya tidak akan pernah berhenti. Hanya doa, satu-satunya hal tulus yang bisa terus dia lakukan.
Huda bisa merasa benar-benar lega dan tersenyum setelah meninggalkan pemakaman. Ini akan menjadi hari barunya. Hari di mana ia telah mengikhlaskan kepergian gadis yang pernah disukainya, hari dimana ia sudah bulat memutuskan untuk berhenti berduka.
***
"Atmaja Ken, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Haikal menempelkan foto Ken di antara potongan-potongan surat kabar yang menumpuk di dinding kamarnya.
Rata-rata isi dari potongan surat kabar itu mengenai penculikan yang berakhir dengan terbunuhnya korban atau pelaku. Dalam benak Haikal, ini bukan sekedar penculikan biasa atau pembunuhan karena membela diri. Ada sebuah rencana jahat yang terendus penciuman anjingnya. Sesuatu yang benar-benar serius. Yang juga mengerikan.
Matahari pagi sudah menyapa sejak 2 jam yang lalu. Kamar Haikal hanya diterangi cahaya dari televisi 40 inch yang biarkan menyala semalam penuh.
Haikal membuka gorden yang menutupi jendela. Sinarnya kini masuk dengan leluasa, memandikan tubuh Haikal yang bertelanjang dada. Selama beberapa saat ia merasa matanya sakit karena silau. Ketika mulai terbiasa, ia kemudian membuka jendela lebar-lebar.
Tidak hanya cahaya, udara juga bisa masuk sesukanya.
"Sebuah kiriman paket misterius kembali memakan korban." Seorang pembaca berita mengabarkan informasi terbarunya. "Kali ini yang menjadi korbannya adalah anak-anak berumur 6 dan 7 tahun. Kasus yang tak kunjung menemukan titik cerah ini menurut kabar yang beredar akan dilimpahkan ke Tim Khusus. Petugas yang memimpin penyelidikan membenarkan berita itu."
Televisi dimatikan. Haikal harus bersiap-siap pergi kerja dari sekarang jika tidak ingin terlambat. Kasus baru sedang menanti.
-- Selesai --
Bontang, 5 September 2016 : 03.54 WITA
sumber:
-Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyelidikan.
-http://puradini.wordpress.com
Terima kasih telah mengikuti novel ini sampai akhir. Jika kalian suka silakan tinggal review dan komentarnya. Sampai ketemu di novel selanjutnya :)