webnovel

Serendipty

"Umur bukanlah tolak ukur, antara dua orang yang saling mencintai." - Serendipty Bagaimana jika jadinya dua orang yang tak saling mengenal tiba-tiba dipertemukan oleh semesta dengan caranya. Membuat getaran rasa yang tumbuh sepihak atau malah membuat mereka berdua jatuh dalam pesona masing-masing? Langit Aldebaran, laki-laki yang lahir dari keluarga berada, dengan beribu barang mewah, tak membuatnya bahagia. Langit hanya mampu memeluk kelam menaruh warna hitam tanpa berniat memberikan warna terang. Yang ia tau, warnanya abu-abu. Hingga, sebuah rasa memberinya warna utuh yang mampu membuat laki-laki itu jatuh dalam pesona Rinai Hujan. Jangan lupa tinggalkan jejak ya

Mitha_14 · Adolescente
Classificações insuficientes
218 Chs

Debaran Rasa

Langkah kaki yang begitu cepat membuat lorong yang semula nya hening mulai berisik. Gadis dengan tas Navy terus mengeratkan tangannya. Jika saja semalam ia tak keterusan membaca buku yang tebalnya hampir sama seperti buku ensiklopedia pasti dirinya tidak akan terlambat.

Untungnya Pak satpam mengizinkan nya masuk dengan dalil ulangan dan pupy eyes andalan nya membuat ia mampu sampai didepan lorong ini.

Kacamata yang sesekali melorot membuat ia membenarkan letak kacamatanya. Entah kesalahan apa yang pernah diperbuatnya hingga disaat genting seperti ini, ada saja sesuatu yang menghalanginya. Saat ia ingin berbelok dan menginjakan kakinya dianak tangga pertama, tak sengaja bahunya bertabrakan dengan bahu seseorang.

Tanpa gadis itu sadari buku kesayangannya jatuh dari tas yang sedikit terbuka, akibat insiden bangun kesiangan dan terburu-buru.

"Maaf, aku nggak sengaja." tanpa melihat kearah lawan bicarannya, gadis itu berlari melewati laki-laki didepan nya.

Sedangkan laki-laki itu hanya menatap bingung gadis yang baru saja melewatinya. Langkahnya kembali membawanya kearah koridor 11 IPS. Netra hitam legamnya menatap buku bersampul bunga Anyelir, ia kembali menghentikan langkah kakinya.

Tangannya terulur mengambil buku itu, ia memegang tulisan timbul disampul buku.

"Rinai Hujan." gumamnya.

Ia memasukan buku itu kedalam tas nya dan kembali melangkahkan kakinya yang sempat terhenti.

***

"Lo kenapa Rin?" siswi dengan rambut sebahu itu melihat kearah Rinai bingung.

"Buku dari Bunda hilang Ra." siswi yang dipanggil dengan sebutan 'Ra' menepuk jidatnya.

Yuira Anatasya gadis yang lebih tinggi dari Rinai, pemilik rambut pirang sebahu itu adalah sahabat Rinai sejak masa putih biru.

"Lo terakhir kemana?" Rinai menatap nanar Yuira, ia mulai berfikir dimana terakhir kali ia melihat buku itu.

Namun nihil, Rinai benar-benar lupa. Rinai hanya bisa menggelang lemah menandakan ia tak tahu.

"Coba lo inget lagi deh," Yuira membuka tas biru milik Rinai dan membantunya.

"Nggak ada Ra," Rinai menepuk jidatnya kala ia mengingat sesuatu. Ia berlari keluar kelas.

Kini keduanya sedang berada di lorong dekat tangga yang memisahkan koridor antara 12 IPA dan 11 IPS.

"Lo yakin disini?" Yuira mengangkat pot bunga yang ada dihadapannya.

"Iya Ra, aku yakin disini tadi tuh aku nabrak laki-laki terus—" Rinai menghentikan perkataannya. Yuira menatap Rinai penuh tanya.

"Buku aku pasti ditemuin dia. Tapi aku gak tau dia siapa." Rinai menatap kearah koridor 11 IPS dengan wajah lesuh.

"Gue yakin dia anak 11 IPS, karena gak mungkin kalau 12 IPA pasti mereka tau lo siapa dan pasti lo tau dia siapa. Lo juga sih terlalu introvert jadi gak tau kan." Yuira memutar bola matanya malas.

"Aishh Yuira, kok malah marahin aku sih." Rinai cemberut.

"Iya-iyaa gue minta maaf, ayo balik ke kelas bentar lagi pelajaran IPA. Bu Endang bisa marah kalau ada muridnya yang gak dikelas pas pelajaran IPA." Yuira menarik tangan Rinai berlalu dari tempat itu, menuju kelas mereka.

***

Jam istirahat adalah surga bagi murid sekolah termasuk murid-murid di SMA Alam Nusantara. Tak ada satupun dari mereka yang absen memesan makanan dikantin, bagi mereka terlepas dari pelajaran hari ini adalah sebuah nikmat.

Rinai dan Yuira menatap kantin dengan wajah bingung, sebanyak ini mereka harus mencari laki-laki yang dimaksud Rinai dimana?

Rinai menatap sekitar dengan wajah yang begitu serius, netranya malah menangkap penjual roti bakar makanan favorite nya yang mampu membuat perut Rinai bergemuruh.

"Ra, roti bakar dulu yuk, aku laper." Rinai berjalan memasuki kantin terlebih dahulu. Yuira hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat sahabatnya itu malah ingin makan disaat seperti ini. Yuira mengikuti Rinai toh dia juga lapar apa salahnya kan?

Akhirnya Rinai dan Yuira berjalan kearah penjual roti bakar, setelah memesan ia duduk dibangku pojok kantin, tempat strategis untuk melihat manusia yang berlalu-lalang dikantin. Sedangkan dimeja pojok yang hanya terpisahkan lima meja dari Rinai dan Yuira, sekerumunan siswa kelas 11 sedang tertawa.

"Buku siapa? Lang." teman disebelah laki-laki yang dipanggil 'Lang' bertanya bingung.

"Gue nemu dikoridor." Langit memutar-mutarkan buku itu ditangannya.

"Btw  ya, tumben amat lo cape-cape ngambil buku itu?" tanya teman yang rambutnya berantakan.

"Entah, gue juga bingung." sontak keduanya mengangguk-anggukan kepala bersamaan.

Setelah menghabiskan makanan masing-masing. Rinai menatap bangku disampingnya, netranya menemukan apa yang ia cari.

"Ra, liat deh lima bangku dari samping kita." Yuira melihat kearah yang dimaksud Rinai.

"Buku lo tuh," Yuira menunjuk kearah yang dimaksud Rinai.

"Iya, ayo kesana." Rinai berdiri dari duduknya.

"Eh tunggu deh, itu bukannya Langit Aldebaran ya?" Rinai mengerutkan dahi tanda tak mengerti dengan pertanyaan Yuira. Pun bagaimana dia bisa tau kalau dia saja tak hafal semua murid disekolah ini, kecuali angkatannya.

"Lo beneran gak tau? Anak kelas 11 yang famous itu. Ayahnya dokter sekaligus pemilik rumah sakit terbesar di Jakarta, dan Mamanya CEO di perusahaan Aldebaran Corporation. Bahkan nih ya anak perusahaan nya tuh ada dimana-mana udah terkenal sampai dikanca internasional, juga pemilik saham terbesar nomor dua se Asia. Kaya banget nggak sih?" Yuira menjelaskan dengan senyuman yang tak pernah luntur. Rinai hanya bisa menggelengkan kepala sebegitu famous  kah seorang Langit? Hingga sahabatnya ini tau semua seluk beluk laki-laki itu. Toh disekolah ini yang memiliki latar belakang orang berada tidak sedikit.

"Astaga, aku gak perduli Yuira. Yang aku mau buku aku balik."Rinai menarik lengan Yuira membuat gadis itu hanya bisa pasrah.

Butuh keberanian besar untuk Rinai bisa berdiri didekat meja tempat Langit berada. Memang benar apa yang dibilang Yuira sebegitu sangat terkenalnya seorang Langit Aldebaran, hingga bebarapa pasang mata menatap kedua gadis itu dengan pandangan yang berbeda-beda.

"Permisi, aku mau tanya kamu nemuin buku aku gak?" Rinai bertanya to the point, saat ia sudah berdiri dihadapan Langit.

"Oh, ini?" Langit mengangkat buku bersampul Bunga Anyelir.

"Iya, itu buku aku." Langit memberikan buku itu kearah Rinai.

"Thanks  ya." Rinai tersenyum. Tanpa Rinai sadari bahwa jantung lawan bicaranya berdetak ubnormal cukup lama, Langit hanya diam menatap Rinai tanpa menjawab perkataan gadis didepannya. Hingga sebuah senggolan tangan membuat ia kembali kealam sadarnya.

"Nama lo siapa?" Langit menatap Rinai lekat.

"Rinai Hujan." Rinai sedikit gugup dipandang begitu lekat oleh sosok pemilik mata hitam legam itu.

"Gue, Langit Aldebaran 11 IPS."

"Langit aku duluan ya." Rinai dan Yuira berjalan keluar kantin, sampai punggung Rinai hilang ditelan belokan. Langit masih setia memandang.

"Noh, fans lo pada kaya singa mau nerkam mangsanya." Regan tertawa.

"Jangan jadi fakboy, masih polos kasian." Tritan pemilik rambut acak-acakan ikut menimpali.

Langit hanya mengedikan bahu mendengarkan kedua sahabatnya yang terus saja berceloteh. Tentu saja sambil memakan makanan nya kembali karena sempat terhenti.

***

Langit memarkirkan motor sport miliknya didepan mension megah. Ia melangkahkan kakinya memasuki mension dengan wajah dingin.

Laki-laki dengan jas formal membukakan pintu untuk Langit. Mension megah dengan rancangan arsitek terkenal akan memanjakan mata siapa saja yang melihat, beberapa guci besar yang dipesan khusus dari eropa membuat decak kagum yang melihat. Semua furniture yang ditata begitu rapi dengan harga yang terbilang tidak murah menambah kesan betapa kaya nya si pemilik rumah.

Langit Aldebaran sejak kecil laki-laki itu sudah tinggal ditempat ini. Dengan kemewahan yang diberikan kedua orangtua nya.

Langit menginjakan kakinya menaiki tangga tanpa mau melihat kesekitar. Suara panggilan dari Mamanya membuat Langit menghentikan langkah kaki. Rasa bingung yang memenuhi kepalanya membuat ia diam sejenak. Mamanya sudah pulang padahal ini masih sore, biasanya ia akan pulang saat malam dan tentu saja saat Langit tidak dirumah.

"Langit, kamu sudah pulang?" perempuan dengan mini dress dan blazer hitam yang melekat ditubuhnya berjalan mendekati anak semata wayangnya.

"Iya." Jawabnya singkat dengan wajah yang tak mau melihat kearah Mama nya.

"Mama udah siapin makanan kesukaan kamu dibantu bibi. Kamu makan bareng Mama ya." Langit menatap meja yang mulai penuh dengan beberapa hidangan pelayan dengan baju hitam dan apron putih menaruh beberapa makanan kesukaan Langit.

"Nggak perlu basa-basi, apa mau Mama?" Langit menatap Mamanya dengan perasaan terluka. Bagaimana tidak ternyata sama seperti kemarin-kemarin Liliana hanya bersikap sangat baik jika ia memerlukan bantuan Langit.

"Nanti malam, ada acara makan malam antara rekan bisnis Mama, dia membawa putrinya, kamu harus ikut."

Langit menghela nafas kasar, selalu saja begini. Bisa tidak sehari saja keluarganya tak perlu selalu mementingkan pekerjaan juga citra baik didepan rekan bisnisnya. Jika sudah begini selalu Langit yang akan terjerat masuk kedalamnya, menolak pun tak ada gunanya bukan?

"Iya." Setelah menjawab ajakan Mamanya, Langit kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

***

Langit menatap dua keluarga dengan tatapan dinginnya, tidak ada senyum ramah yang tercetak disana. Ia memang tak ada niatan sedikitpun untuk sekedar basa-basi, bagaiman pun ini hanya kebohongan belaka.

Langkah kakinya membawa ia mendekati meja makan, netranya menatap Papanya yang sudah tiba dirumah dengan jas kebangaan nya.

Brata tersenyum kearah anak semata wayangnya itu. Langit hanya tersenyum simpul dan mulai duduk disamping Mamanya.

"Langit sudah besar ya, kelas berapa sekarang?" tanya wanita seumuran Mamanya, saat Langit baru saja duduk.

"Kelas 11, Angel." Jawaban itu tentu saja bukan keluar dari bibir Langit, melainkan Mamanya.

"Wah seumuran sama Derai."

Perempuan dengan gaun berwarna putih tersenyum kearah Langit, namun Langit tak mengubrisnya sedikitpun.

"Derai Anantha." uluran tangan milik Derai membuat Langit menatap uluran itu dingin, tanpa ada niatan untuk membalas uluran itu.

"Langit!" gertakan yang keluar dari bibir Liliana membuat  Langit mendengus kasar. Bagaimana pun juga Liliana adalah Mamanya ia harus menurut.

"Langit Aldebaran." tangan yang telah lama terapung diudara ia jabat.

Derai tersenyum begitu manis namun tidak bagi Langit. Bersamaan dengan itu Derai menyukai semua tentang Langit dan bersumpah akan mendapatkan Langit.

***

Cinta pada pandangan pertama mungkin begitulah julukan yang cocok untuk seorang Langit Aldebaran. Ia mulai menyukai gadis yang baru beberapa jam yang lalu ia tabrak dan baru beberapa jam yang lalu mendatanginya dikantin hanya demi buku bergambar Bunga Anyelir. Aneh memang namun begitulah yang terjadi.

Langit membaringkan tubuhnya diatas king size nya, setelah makan malam yang menurutnya sangat membosankan akhirnya ia bisa bernafas lega.

"Gue gak mungkin kan suka sama Rinai Hujan?" Langit mengacak rambutnya frustasi.

Langit memilih memejamkan matanya dibandingkan memikirkan hal-hal yang membuatnya pusing sendiri. Nafas yang berubah teratur menandakan ia sudah terlelap dan masuk kedalam alam mimpi.

•••