Sepasang kaki sedang sibuk mencari bagaimana harusnya bersikap nyaman duduk disebuah sofa yang berada dilobby kantor agency hanya berlantai dua. Tubuhnya pun acap kali berpindah posisi duduk demi mencari rasa tenang dalam hatinya yang akhir-akhir ini sering merasakan dilema. Namun kali ini otaknya berkali-kali meyakinkan bahwa hatinya tidak salah mengambil langkah.
Untuk kali ini, dua buah organ tubuh itu bekerja sama demi satu tujuan yang ia harap akan menjadi harapan terbaik yang dapat ia lakukan. Kedua manik lelaki itu mengerjap, menunggu sosok perempuan cantik yang tadi memintanya untuk menunggunya duduk di lobby itu kembali.
Derap langkah yang ia kenali pun muncul dengan senyum yang sangat ramah. Sedikit menenangkan saat ia berkata, "Nam Joon-ssi... Mari saya tunjukkan".
-
-
-
Jimin sedang menunggu Seul Gi didepan kelas seperti biasa. Ia menyandar di dinding dengan kedua telinga disumpal headset yang menyetel lagu-lagu kesukaannya. Perempuan yang baru saja membuka ikatan rambutnya didepan Jimin sudah jalan melaluinya memimpin.
Mereka sudah siap setelah berganti pakaian. Tinggal satu minggu lagi mereka akan mengikuti perlombaan. Seul Gi sudah memutar otak dan melatih lidahnya untuk mengatakan sesuatu yang benar pada lelaki didepannya ini.
Mereka berdua berdiri didepan kaca, Seul Gi melirik Jimin sekilas melewati cermin yang terpampag lebar didepan mereka berdua. Saat Jimin hendak menekan tombol play Seul Gi menggeser posisinya menjadi lebih dekat. Jimin mundur sesaat.
"wae wae?", ia antisipasi karena Seul Gi bersikeras untuk menguncir rambutnya lagi.
"Menurutmu lebih baik jujur namun menyakitkan atau jujur belakangan namun tetap menyakitkan?'.
Jimin memutar maniknya dan tersenyum, "pilihan macam apa itu? mana boleh begitu".
Seul Gi menarik lengan Jimin agar lelaki itu menghadapnya lagi, "pilihlah".
Tatapan Jimin berubah megikuti intonasi Seul Gi, "Kalau begitu kau memang harus jujur. Maka aku akan berusaha untuk meminum obat setelah itu", ia mengeluarkan senyuman yang membuat siapapun pasti akan merasa bersyukur bisa dekat dengannya. Begitu juga Seul Gi saat ini.
Seul Gi menurunkan tatapannya, "Kurasa kita harus berhenti latihan bersama".
Jimin merasa telinganya kali ini bermasalah. "apa yang kau bicarakan? coba ulangi".
Sosok berbaju hitam itu menarik nafas dalam-dlam dan menatap Jimin dengan dalam, "kita harus menghentikan latihan kita untuk lomba. Aku tidak bisa menjadi partnermu untuk saat ini dan aku harus membatalkan untuk ikut bersamamu namun jika kau...",
"Ada apa?", Jimin memotong, ia tidak ingin kata-kata bahwa ia harus ikut lomba ini sendirian keluar dari bibir yang Jimin harapkan tidak berbicara seperti ini.
Seul Gi menghindari tatapan Jimin, "Aku tidak bisa memberitahu alasannya padamu. Maafkan aku".
"Aku berhak mengetahuinya bukan?", Jimin tidak menyetujui perkataan Seul Gi yang kini mengendurkan pegangannya lalu tangan Jimin dengan cekatan mengganti posisi memegang pergelangan Seul Gi, "Ku mohon. Aku butuh penjelasan, kita telah berlatih keras".
"Maaf. Ku harap kau bisa mengerti".
Jimin melepas tangan Seul Gi dan berdecak sendiri, "Kau fikir aku hanya mengerti dengan caramu seperti ini? Kau berkata ingin jujur walaupun aku akan sakit".
"Aku sedang jujur padamu sekarang".
"Bagian jujur darimana kalau kau hanya membatalkan tanpa alasan yang jelas", Intonasi Jimin mulai meninggi dan Seul Gi terlihat kaget. Sudah lama mereka tidak bertengkar.
"Kurasa kau tidak memiliki hak apapun untuk mengetahui semua tentangku Park Ji Min!", emosi Seul Gi sudah diujung tanduk dan ia tidak mau bom waktunya meledak karena sekarang tatapan Jimin yang menyiratkan rasa kecewa yang begitu dalam. Dengan egoisme yang tinggi dan Seul Gi sadar, ia memilih meraih tasnya dan pergi meninggalkan Jimin.
.
.
Seul Gi tidak mengerti mengapa sekarang perasaannya begitu gusar setelah ia bertengkar dengan Jimin. Namun ia bersih kuat untuk tidak memberitahu alasan yang membuatnya mengundurkan diri begitu mendadak. Ia tahu bahwa ini keterlaluan namun Jimin bukanlah siapapun baginya. Ia tidak perlu membagi apapun yang harusnya Jimin tidak tahu.
Hatinya kini berdebar tidak menentu menyalahkan kekuatan otaknya yang membuatnya berkata semenyakitkan itu. Ia tidak memiliki kekuatan untuk memutar waktu. Sekarang Seul Gi tidak boleh menyesali apapun itu. Walaupun sejujurnya ia sangat menyesali. Ia berharap esok ia akan terbangun seperti tidak terjadi apapun antaranya dan Jimin.
.
.
Pintu itu tertutup dengan kencang meninggalkan sosok lelaki yang masih berdirinya ditempat yang sama. Tangan mungilnya mengusap wajahnya dengan frustasi. Satu minggu lagi ia akan mengobati rasa rindunya dengan tampil sebagai peserta lomba. Ditambah lagi ia akan melakukannya bersama perempuan yang Jimin sadari akhir-akhir ini membuatnya berdebar.
Jimin duduk bersandar pada cermin besar yang tertempel diruangan yang sudah ia rombak habis-habisan ini. Jimin tidak mengerti mengapa jujr bagi Seul Gi hanya sebatas membatalkannya tanpa rasa adil bagi Jimin. Mata Jimin memerah menahan rasa kesal yang sedang berkecamuk dalam dadanya. Ia tidak akan memaksa perempuan itu jika ia tahu alasan apa yang membuat Seul Gi yang sangat sulit mengatakan iya harus membatalkannya disaat satu minggu lagi mereka akan tampil bersama.
Kalau boleh jujur, ia sangat membenci saat ada orang yang berharap ia mengerti apapun yang harusnya memiliki penjelasan. Akalnya tidak menerima baik dengan ucapan-ucapan omong kosong seperti itu.
Timbullah rasa bersalah pada dirinya sendiri yang berharap memiliki partner di sekolah yang memang tidak memiliki masa depan ini. Jimin kecewa dengan yang Seul Gi lakukan dan ditambah sosok itu lebih memilih untuk pergi.
Ia mengacak rambutnya dan perkataan Seul Gi berputar-putar mengenai hak yang ia miliki.
"Apa aku harus menjadikanmu milikku? Kang Seul Gi", lirihnya pada diri sendiri.
***
Lelaki yang memiliki bahu lebar dengan tinggi yang semampai itu sedang duduk dengan tenang menunggu perempuan yang sudah lama ia ingin temui. Tidak lama kemudian, pintu mengayun dan melahirkan sosok cantik dengan pakaian sexy seperti biasanya. Lelaki itu dengan cekatan memberikan jasnya pada perempuan yang mengelum senyum manis dan menyampirkan jasnya saat ia duduk dipahanya yang terbuka.
"Kau selalu terganggu Gong Yoo-ssi", goda Jin Shim saat ia sudah duduk ditempatnya memperhatikan Gong Yoo membenarkan duduknya, "Lalu mengapa kau kemari setelah sekian lama?".
Gong Yoo berdeham, sesuatu seperti mencegat kata-katanya keluar dari kerongkongannya, "bisakah kau berhenti dari pekerjaan ini?".
Oh Jin Shim langsung tertarik saat ia melihat lurus ke mata Gong Yoo, "mana mungkin. Kau tahu aku bernafas melalui pekerjaan ini bukan? Jangan bilang kau ingin menikahiku haha", tawanya begitu menyakiti harga diri lawan bicaranya.
Gong Yoo memasang baju tebalnya untuk tidak memperdulikan apapun perkataan Jin Shim yang sudah ia prediksi dari awal, "Tidak. Bukan itu. Aku ingin kau dan aku bersama membuka cafe bersama dan kau akan menjadi orang yang ku percaya".
Jin Shim merasa sesuatu menggelitik pendengarannya, "atas dasar apa kau dapat mempercayaiku Lee Gong Yoo?".
"Aku percaya dari awal saat kita bertemu, Aku percaya padamu saat aku mengetahui bagaimana hebatnya dirimu menjadi orang berharga untuk Seul Gi, aku percaya padamu saat kau tetap menolakku walaupun kau tahu siapa aku dan keluargaku".
Mendengar intonasi suara lelaki didepannya membuat sesuatu bergerak didalam diri Jin Shim namun ia tidak ingin mempercayai harapan kosong seperti ini. Mereka tidak sering bertemu maupun berkomunikasi dengan baik. Jin Shim yakin inilah sifat Gong Yoo yang membuatnya selalu berakhir menjauhi lelaki yang sudah berumur kepala tiga ini.
"Tidak perlu kau jawab sekarang. Kau bukan wanita muda lagi Jin Shim-ssi. Kurasa kau cepat keluar dari dunia malam ini. Ku harap kau dapat mempercayaiku sebagaimana aku mempercayaimu", Gong Yoo berdiri lalu ia membungkukkan tubuhnya pada sosok perempuan yang membisu.
Mereka saling menatap untuk beberapa detik, Gong Yoo mengambil jasnya dan memutuskan keluar dari ruangan itu. Ia memberikan waktu untuk Jin Shim berfikir.
Jin Shim menyibak rambutnya. Ia tidak mengerti mengapa lelaki itu tiba-tiba datang menawarkan sesuatu yang jauh dari fikirannya selama ini. Oh Jin Shim menyadari bahwa memang benar umurnya sekarang sudah 28 tahun. Ada dambaan dari jauh dari hatinya untuk bekerja pada saat matahari sedang bersinar dan pulang untuk tidur bersama bulan yang sudah diatas langit malam.
Jin Shim sudah putus sekolah saat ia berada ditingkat kedua sekolah menengah akhir. Ia harus merelakan cita-citanya sebagia dokter karena tidak memiliki kesempatan itu lagi setelah ia dan ibunya harus pergi dari rumah Ayahnya dengan makian yang sangat menghancurkan hati.
Ia mempertaruhkan harga dirinya bekerja dari satu pub ke pub yang lain, ditempat karaoke maupun bar. Mempertahankan harga dirinya walaupun itu jauh dari kata mudah sehingga ia harus dipecat berkali-kali. Berakhir diclub yang sangat peduli terhadap tubuhnya membuatnya jauh lebih bersyukur. Namun ia tidak berfikir ada seseorang dengan tegasnya mengajaknya untuk keluar dari dunia malam yang sudah membantunya hidup hingga usia 28 tahun.
Lelaki itu bukanlah siapa-siapa selain mantan customer bodohnya yang bahkan tidak mau menciumnya. Jin Shim tersenyum pahit saat ia sadar bahwa ia tidak boleh mempercayai siapapun. Jin Shim benar-benar bingung. Ia berdiri dan memutuskan untuk meninggalkan perkataan Gong Yoo diruangan yang sekarang sudah ia tinggali.
.
.
.
Setelah mandi air hangat, Gong Yoo merebahkan tubuhnya. Ia hanya mengenakan handuk kimono putih yang membalut tubuhnya yang kekar. Ia tersenyum karena dengan beraninya ia telah mengajak Jin Shim malam ini untuk bekerja sama dengannya. Sudah lama ia memendam perasaannya pada Jin Shim dan perasaan itu semakin kuat saat ia mengetahui Jin Shim lebih dalam dari Kang Seul Gi.
Ia ingat bahwa Seul Gi pernah bercerita bahwa Jin Shim pernah berlari untuknya hanya karena Seul Gi terluka saat sedang berlari untuk mengejar ujiannya. Lalu perempuan itu sangat panik karena Seul Gi tidak bisa mengikuti ujiannya karena sudah terlambat, kepanikan Jin Shim membuatnya menangis dan mengomel sepanjang hari. Seul Gi berkata bahwa ia beruntung memiliki teman seperti Jin Shim dan dia berharap perempuan itu bisa hidup bahagia.
Banyak cerita-cerita lain yang masih bersarang baik dalam ingatan Gong Yoo. Mungkin perasaam Gong Yoo bisa dibilang sangat naif saat cinta pertama itu harus ditujukan pada seorang wanita penari yang bahkan selalu menolaknya dengan baik.
Lee Gong Yoo pernah ditinggal oleh kekasihnya karena ia harus menikahi orang konglomerat karena permintaan keluarganya. Perempuan itu adalah perempuan yang sangat baik sehingga tidak dapat membantah kedua orang tuanya dan berakhir memberikan undangan pernikahannya saat mereka anniversarry ke 3 tahun.
Saat itulah Gong Yoo memutuskan pergi ke club untuk pertama kali dan membuat Jin Shim menemaninya. Namun ia tidak bisa melakukan yang seharusnya pria lakukan saat bersama wanita cantik dan sexy seperti Jin Shim. Gong Yoo jelas mengingat bagaimana Jin Shim mengigau tidak karuan saat ia menggendong perempuan bersurai panjang itu ke atas ranjang.
Ia ingat bahwa Jin Shim menangis dan berkata, "Jangan lakukan itu padaku. Kumohon", perkataan itu ia ulang-ulang dan membuat Gong Yoo menyadari bahwa perempuan cantik ini tidak pantas diperlakukan tidak baik.
Ia jatuh hati pada sosok Jin Shim yang sangat cantik. Ia percaya bahwa sesuatu yang berada dialam bawah sadar adalah sesuatu yang jujur dan mewakilkan perasaan sebenarnya namun Gong Yoo selalu mendapati penolakan. Namun kali ini, ia tidak ingin mudah menyerah.
Ia baru akan memulai lagi bisnisnya dengan modal yang akhirnya ia dapatkan dari neneknya namun ia akan memulai dengan coffee shop maka itu ia ingin bekerja sama dengan Jin Shim. Mencoba memberikan kesempatan bagi perempuan itu untuk keluar dari dunia malam yang gemerlap. Jika ia tidak dapat membawa Jin Shim maka ia akan benar-benar menyerah dengan kata cinta.
***