webnovel

KEMARAU YANG TERASA PANJANG

"Ayo sudah waktunya untuk pulang, langit sepertinya sudah mendung semoga saja hujan turun. Sumur di rumahku sudah agak mengering kadang pagi sebelum berangkat sekolah untuk mandipun air susah untuk keluar dari pipa" paparku terhadap Rani di depan kelasnya, sedikit memaksanya untuk mempercepat langkah kakinya.

"Sabar sebentar Bimo, ya kalaupun hujan turun syukurlah kenapa harus takut. bukankah kita semua memang sudah lama mendambakannya. Besok Hari minggu tidak ada salahnya kita bermain hujan-hujanan sedikit saja. aku rindu bermain di bawah hujan"

"sudah jangan ngomong yang aneh-aneh nanti kalau kamu sakit, aku mungkin bisa kena marah sama mamah kamu"

"lagian aku juga bingung kenapa mamah harus marah sama kamu, kamu kan cuma sahabat aku. suami aku aja kelak gak begitu khawatir sama aku. harusnya mamah aku marah sama calon suami aku kelak aja ya, hehe. itu juga kalau dia tahu siapa calon suami aku"

"udah deh, kamu kayanya kesambet hantu sekolah. makin sini makin ngelantur omongannya. lagian kan siapa tahu memang aku suami kamu kelak"

"aku berharap sih itu gak kejadian ya, jangan sampe ya"

"dih kenapa? nanti kamu nyesel loh udah ngomong kaya gitu. omongan kan sebagian dari doa"

"lah sekarang malah kamu yang ngelantur, ayo kita harus pulang Bimo....."

Hari itu siang hari di langit yang mulai mendung aku dan sahabat lamaku Rani meninggalkan sekolah, Rani adalah sahabat baikku kami sudah sering bersama sejak masa kecil dan kini kami sekolah di sekolah menengah pertama yang sama. tetapi jarak umur kami terpaut 1 tahun. Aku duduk di kelas 8 dan Rani adik kelasku. Rutinitas menunggunya saat berangkat sekolah dan pulang sekolah hampir tak pernah aku lewatkan, bahkan saat aku ada kegiatan lain dengan teman-temanku tidak jarang Rani ikut bersamaku, bahkan rasanya Rani sudah menganggapku sebagai kakanya sendiri, mungkin karena dia anak satu-satunya, sering juga dia bermanja terhadapku. padahal jauh di dalam hatiku ada perasaan lain untuknya, mulai masa remaja ini rasanya ada perasaan lain yang tumbuh untuk sahabat kecilku ini.

Setibanya kami di rumah masing-masing ternyata hujan tak kunjung turun bahkan sampai hari berganti malam hujan masih tak kunjung turun. Kemarau tahun ini memang begitu lama, bahkan berita tentang kekeringan terjadi dimana-mana. Bersyukurlah meskipun kadang air susah tapi untuk kehidupan sehari-hari air masih bisa kami dapatkan.

Mayoritas masyarakat dari tempatku tinggal adalah seorang petani kopi dan hasil bumi lainnya, mereka sangat terdampak akibat musim kemarau yang berkepanjangan ini. Aku dan keluarguku mungkin bernasib lebih baik karena tidak terdampak secara langsung dalam hal materi, Ayahku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang otomotif membuatnya hanya bisa berkumpul bersama keluarga di hari sabtu dan minggu saja. Rani tak seberuntung diriku karena kehidupan sehari-hari keluarganya memang di tanggung dari hasil kebun kopi yang di kelola ayahnya. Kehidupan Rani dan keluarga bisa di bilang sangat baik sebelumnya karena sang ayah memiliki kebun yang cukup luas, bahkan beberapa kepala keluarga di desa kami ada yang bekerja mengelola kebun milik keluarga Rani. Kehidupan mungkin selalu berputar dan nasib yang kurang baik sedang menimpa dirinya, meskipun di hadapanku dia terlihat sangat periang, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan bahwa ada kesedihan yang dia pendam.

Rani sering bercerita kepadaku bahwa dia selalu bermimpi untuk bisa menjadi seorang dokter, dia senang kalau di masa depan bisa berguna bagi banyak orang, dia selalu menceritakan hal-hal yang ia bayangkan di masa depan dengan kehidupannya sebagai dokter. Aku percaya kelak dia akan bisa mewujudkan mimpinya itu, sedangkan diriku sampai saat ini aku belum tahu apa yang ingin aku wujudkan kelak. Apa yang aku inginkan masih tak menentu, layak kedatangan hujan yang masih kami pertanyakan.

Kami tinggal di sebuah desa di daerah dataran tinggi di kabupaten Bogor, jika kalian berpikir daerah itu puncak, itu salah besar. Karena Bogor tidak hanya tentang puncak. Kami Tinggal di sebuah desa di kaki gunung salak, di kecamatan Cijeruk. Sebenarnya di masa kini daerah tempat tinggalku tak terasa begitu jauh dari pusat kota bogor, karena kini akses jalan dan transportasi sudah sangat menunjang. Terkadang sesekali di saat libur sekolah, aku dan keluarga sering main ke pusat perbelanjaan atau Taman Wisata kebun raya, tetapi kembali lagi tak ada tempat yang paling baik selain disini, di desa kami, di rumah kami.

Rani memang sepertinya sudah memikirkan tentang masa depannya, dia menyusun tahap demi tahap yang harus ia lakukan. Dia berencana untuk melanjutkan SMA di pusat kota, untuk mendapatkan lingkungan yang baru yang membuatnya bisa lebih dekat lagi dengan mimpinya, mungkin. Aku percaya bahwa apa yang dia inginkan akan bisa terwujud karena orang tuanya pula yang selalu mendukung anak sewata wayangnya tersebut.

untuk Bimo tentang mimpinya? Aku merupakan anak pertama dari 3 bersaudara, satu hal yang membuatku takut untuk bermimpi terlalu jauh karena aku takut terlalu membebani kedua orang tuaku. Biarlah nanti mengalir apa adanya, kalau sudah waktunya nanti akan terlihat semuanya, ya kembali lagi mungkin seperti hujan yang akan tiba jika sudah saatnya.

kriiiing...kriiiiing....bunyi ponsel Bimo yang tak berhenti berdering. begitu pulasnya dia tertidur sampai mengacuhkan bunyi panggilan tersebut, 2 jam telah berlalu bimo terbangun dan melihat lebih dari 10 panggilan tak terjawab dari Rani tanpa berpikir panjang dia mencoba untuk menelponnya tapi kali panggilannya yang tak di jawabnya. Bimo bangun dari tempat tidurnya untuk membersihkan tubuhnya, lalu bersiap. bersiap untuk kemana atau melakukan hal apa sebenarnya belum terpikirkan olehnya, karena di saat libur seperti ini setelah mandi biasanya menuju tempat tidur kembali.

Belum selesai Bimo memakai bajunya kini suara ponsel yang nyaring itu kembali terdengar dan benar saja Rani kini menghubungi kembali.

"Bimoooo, kamu tidur atau pingsan? susah sekali buat di bangunin"

"Iya maaf semalam aku bergadang main game, kenapa Ran, tumben libur ngontek?"

"Keluar yu? Aku pengen nyari angin segar atau hal segar lainnya"

"Aku lihat motornya dulu ya, kalo gak ada yang pake aku langsung menuju rumahmu"

"Motor jangan di jadikan alasan, kalau gak ada motor disana, ini disini ada motor kebetulan yang kerja di kebun kan hari ini libur jadi ada motor yang gak di pake. Cepet kesini jangan banyak alasan"

belum sempat aku menjawab, Rani pun langsung menutup panggilan tersebut.

Aku langsung menuju rumahnya kebetulan hari motor keluargaku pun sedang tidak ada yang memakai jadi aku bisa langsung menuju rumahnya, aku memang sudah sangat mengenal keluarga Rani, begitu sampai di rumahnya aku langsung masuk dan bersalaman dengan kedua orang tuanya sembari meminta izin untuk mengajak Rani keluar rumah.

"Jangan pulang terlalu sore takutnya nanti hujan"

"dari kemaren-kemaren juga gak hujan-hujan pak, mungkin hujan emang gak mau datang lagi" setelah aku mengucapkan kalimat tersebut Ayah Rani pun langsung tertunduk lesu, aku merasa kalau apa yang aku ngucapkan mungkin meruntuhkan pengharapannya yang benar-benar mengharapkan hujan untuk datang dan menyirami kebun kopi miliknya lagi.

aku sungguh bodoh telah mengucap kata-kata seperti itu, tak lama berselang Rani pun keluar dari kamarnya dan kamipun bergegas untuk keluar. Sambil menyetir motor ini aku masih terpikirkan ucapan yang keluar dari mulutku barusan, aku benar-benar merasa bodoh telah menghancurkan pengharapan, semoga ayah Rani tak memasukan ke dalam hati.

"Awas itu di depan jalan berlubang"

spontan aku pun menghindar.

"Kamu kenapa Bim, kok bengong? Ada masalah?"

"Engga kok Ran, kamu kali yang lagi ada masalah tumben hari libur ngajak keluar?"

"Iya aku bosen saja di rumah, lihat Ayah banyak melamun buat aku jadi sedih. aku ingin sekali bisa membantu mereka, tapi pada saat yang bisa aku lakukan hanya berdoa dan belajar sebaik mungkin. aku bersiap kalau kelak hal buruk terjadi, aku bisa mendapatkan beasiswa untuk pendidikanku"

"semua akan baik-baik saja, terlebih tentang mimpi kamu itu. percaya ya sama aku. kita pergi ke Bukit saja yuk, disana juga ada tempat baru buat beli jagung bakar atau sekedar ngopi. dari tempat itu katanya pemandangannya bagus. mudah mudahan bisa sedikit buat pikiranmu lebih tenang".

Pemandangan dari atas bukit ini setidaknya bisa membuat pikiran Rani tampak sedikit lebih tenang, hamparan hijau sepanjang mata memandang adalah pelarian terbaik melepas penat.

"Gimana sudah sedikit tenang? sebenernya apa sih yang membuat gelisah?"

"Engga kok aku baik-baik saja Bim, hanya saja kelihatannya usaha ayahku semakin hari semakin mengalami kemunduran. Hari kemaren dia mengistirahatkan 4 petani di kebunnya karena garapan di kebun pun tak ada yang bisa di kerjakan"

"Ayah kamu pasti bisa menemukan jalan keluarnya untuk semua ini, jangan terlalu kamu pikirkan ya. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas kamu bisa membantu ayahmu dengan fokus kesana"

"Iya Bim, aku pasti fokus. Aku mulai bimbang apakah setelah lulus SMP ini jadi melajutkan sekolah di kota atau engga. Kita lihat saja nanti Bim."

"Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita ya, aku ada 1x24 jam buat kamu"

"yaelah apaan, tadi aja di telepon berkali-kali gak di jawab karena masih tidur. eh pingsan deh kayanya"

"Haha itu hpnya lagi di charge jadi agak jauh gitu gak kedengeran"

"Bisa..bisa alasan aja kamu tuh, besok ke sekolah bareng ya biasa"

"Oke siap, tapi pulangnya aku ada latihan sepak bola dulu. Gak apa-apa?"

"Gaya-gayaan kaya yang bisa aja"

"Biasa so sibuk aja biar kaya orang-orang, kalau juara kan nanti bisa terkenal di adik-adik kelas atau kakak kelas gitu"

"Kalau kamu terkenal jadi lupain aku dong Bim, kalau gitu jangan latihan aja ya"

"Ciiee kamu cemburu ya?"

"Iya aku takut 'kakak lelaki' aku jadi gak ada waktu lagi buat aku kalo sibuk sama fansnya"

"haha" tanggapan datar seperti itulah yang keluar dari raut wajahku ketika tahu kenyataan bahwa sampai kapanpun Rani hanya akan menganggapku sebagai kakak lelakinya.

"Ayo pulang, tadi ayah kamu berpesan agat tak pulang terlalu sore takut hujan"

"Lagian kenapa harus takut dengan hujan bukankah itu yang selama ini dia tunggu ya"

"Iya tapi kan tetap dia gak mau kalau kamu sampai harus kehujanan, nanti kamu sakit"

"mungkin ini yang membuat hujan tak mau kunjung turun, kita terlalu menganggapnya jahat padahal meskipun kita kehujanan dan sakit bisa saja bukan hujan yang menyebabkan kita sakit"

"Iya iya tapi ayolah jangan berdebat, nanti malah makin sore kita pulang. Aku gak enak sama orang tuamu"

Kami bergegas untuk kembali pulang menuju rumah setelah cukup puas menikmati pemandangan dan melihat Rani dengan kondisi yang sudah mulai tersenyum kembali, aku sangat mengkhawatirkan dia karena sikapnya yang memikirkan sesuatu terlalu jauh sehingga kurang baik untuk dirinya sendiri. Secara pribadi aku dan dia memang memiliki perbedaan yang signifikan menurutku kehidupan cukup di jalani hari semi harinya, tak usah terlalu risau berpikir jauh untuk hal yang belum tentu kejadian.

Tepat sebelum matahari terbenam aku sudah sampai di rumah Rani dan mengantarkannya dengan selamat dan hujan tak kunjung turun aku jadi menepati janjiku untuk tak membuat anak semata wayang mereka kehujanan.

Mungkin Rani benar, kita hanya orang munafik yang mengingkannya datang tapi terlalu takut untuk menerima dia yang apa adanya. Semoga hujan tak sungkan untuk datang, Rani akan baik-baik saja saat engkau datang, Turunlah..

Beberapa minggu kini telah berlalu, waktu ujian kenaikan kelas pun di laksanakan, pada saat ujian seperti ini biasanya kita duduk bersebelahan dengan siswa berbeda angkatan. Kebetulan kali ini kelasku kebagian satu ruangan dengan kelas Rani, meski kita tidak duduk satu bangku setidaknya seminggu ini aku bisa melihatnya di kelas seharian dan saat jam pulang aku tak perlu harus menjemputnya ke kelas. Saat aku perhatikan ketika mengerjakan soal Rani begitu tenang mengerjakan soal itu sendirian sedangkan diriku lebih memasrahkan semua soal ujian tersebut kepada yang di atas juga teman sekelasku yang lebih pintar, bisa di bilang kalau di sepak bola saya hanya penyerang tunggal yang menunggu supply dari teman lainnya. Aku tak pandai dalam hal akademik terlebih yang melibatkan hitung-hitungan, rasanya itu gak akan begitu berguna juga kelak di kehidupan nyata. Pikirku saat itu. Kini semua ujian itu telah kami selesaikan dan hanya menunggu hasil untuk kenaikan kelas, semoga hasilnya cukup untuk membawaku naik kelas, tak usah terlalu bagus juga. Kalau sampai nilai raport ku terlalu bagus rasanya tak enak kepada mereka yang selalu memberiku contekan, secukupnya saja. Kalau Rani sih sudah di pastikan biasanya dia memang mendapatkan ranking yang baik di setiap pembagian raport dan aku tahu itu sangat berarti untuknya.

HARI BERGANTI MENANTI YANG DI NANTI

Beberapa minggu kini telah berganti, kami memasuki tahun ajaran baru. Aku memasuki tahun terakhirku di Sekolah Menengah Pertama ini, Tahun depan aku gak bakalan bisa setiap bertemu dengan Rani, tahun ini aku harus menghargai setiap waktu yang bisa untuk kami lewati berdua. Momen-momen berangkat dan pulang sekolah kelak pasti akan sangat aku rindukan.

"Bimo, aku hari ini tidak masuk sekolah. Badanku kurang enak, sedikit demam".

begitulah pesan singkat yang aku dapatkan dari Rani pagi itu, dengan semangat yang agak sedikit kendor untuk pergi ke sekolah karena tak bisa melihat senyum dari perempuan yang aku kagumi. Aku tetap memaksakan kaki berangkat menuju sekolah. Memasuki tahun ketiga aku bersama-sama dengan teman sekelasku setiap harinya, sebenarnya kadang di saat aku berada di kelas dan tidak ada Rani di sampingku, ada perempuan di kelas yang sedikit menarik perhatianku. Perempuan tersebut bernama Dita, ya kami cukup akrab saat jam pelajaran selebihnya mungkin Dita dan teman-teman lainnya sudah sangat paham waktuku banyak di habiskan dengan siapa, tapi hari ini entah mengapa aku memberanikan diri mengajak Dita berbincang lebih lama dari biasanya, banyak hal yang bisa membuat kami begitu sama dalam hal-hal yang kita sukai.

Bel pertanda pulang sekolah berbunyi, aku berjalan meninggalkan ruang kelas dengan santai menuju gerbang depan, dari kejauhan terdengar derap langkah yang semakin mendekat,

"Bim, kamu hari langsung pulang kerumah?"

"Iya dit, aku kira tadi siapa. Sepertinya begitu lagian gak ada latihan eskul atau ketemu temen juga hari ini. Kenapa dit?"

"Keluarga lagi pada keluar ada urusan kalau aku pulang kerumahpun gak ada siapa-siapa. temenin aku sebentar bisa gak? minum es kelapa di belakang sekolah yu? aku yang traktir"

"Yasudah kalau begitu, memang orang tuamu kemana dit?"

"Mamah anter ayah untuk kontrol kesehatannya, biasanya dari pagi cuma tetep pulang agak siang. Maklum pakai asuransi negara agak sedikit mengantri"

"Memang ayah kamu sakit apa?"

"Biasanya penyakit bawaan umur kayanya, Ayah aku beberapa tahun ini Hipertensinya sering kambuh, sempet masuk ruang perawatan juga 2 kali"

"Aku baru tahu loh, mudah mudahan ayah kamu bisa segera pulih dengan sepenuhnya ya, semangat"

sambil terus berbincang kamipun sampai di tujuan, di sebuah warung sederhana yang menjual es kelapa muda beserta cemilan tradisional yang tak lekang oleh jaman yaitu gorengan hehe dan di temani pemandangan sawah yang cukup luas terbentang. Lama kelamaan semakin aku berbincang dengan Dita dia kini semakin menarik perhatianku, membuatku nyaman dengan caranya memperhatikanku juga, menjadi pendengar dan lawan bicara yang menyenangkan. Orang yang sebelum hari ini rasanya tak pernah terlintas di benakku. Entahlah mungkin aku terlalu fokus menatapa ke arah yang tak pernah melihat ke arahku walau sekejap. Saat hari mulai menjelang sore kamipun memutuskan untuk pulang, aku mengantarnya sampai menaiki sebuah angkutan umum yang membawanya kembali kerumah. Sebelum berpamitan tak lupa kami bertukar kontak, rasanya kami mempunyai pemikiran yang sama "banyak hal yang masih bisa kami ceritakan di lain waktu".

Hari yang aku bayangkan akan terasa sepi karena teman berangkat sekolahku yang hari ini tidak masuk ternyata kenyataannya tak seperti itu, hari ini mungkin jadi awal yang baru. Hari yang berkesan dalam hidupku, sambil berjalan dan sesampainya di rumah aku langsung membersihkan tubuhku. Aku menemukan beberapa pesan yang belum terbaca setelah aku selesai berpakaian aku pun langsung membukanya, 2 pesan dari 2 perempuan yang kini menghiasi pikiranku. Dita mengabari bahwa dirinya telah sampai di rumah dengan selamat, dia tak mau membuatku khawatir dari isi pesan yang tersirat yang dia kirimkan. Sementara isi pesan Rani berisikan tentang keluhan akan sakit yang ia rasakan seharian ini, dia juga memberi kabar bahwa dia baru selesai memeriksakan sakitnya ke klinik dan dokter yang memeriksanya mengajurkan Rani untuk beristirahat setidaknya 2 hari lagi, jadi mungkin selama 2 hari kedepan aku masih tidak akan bisa menghabiskan hari bersamanya. Hanya doa yang aku kirimkan untuk membalas pesannya, setelah itu kini fokusku membalas pesan lainnya dan ini berlanjut sampai larut malam hingga mata yang mengantuk menyudahi perbincangan kami.

Semangat menyambut hari berganti, hati penuh riang mengiringi langkah kaki menuju sekolah. Pagi itu ada senyum yang menyambutku di depan kelas, dengan nama "Dita Amanda" menempel di baju sekolah yang ia kenakan. Setelah apa yang kami lewati berdua di hari kemarin hubungan kami semakin dekat, kebetulan karena hari ini aku ada pertandingan Futsal, Dita menawarkan diri untuk menemaniku saat pertandingan. Di terik matahari siang yang sangat menyiksa tenggorokanku, Dita membawakan minuman isotonik saat istirahat pertandingan. Hal-hal kecil yang dia tunjukan membuatku yakin bahwa mungkin kami bisa lebih dari sekedar teman, mungkin Dita mempunyai perasaan yang lebih. Juga akupun saat ini rasanya merasakan hal yang sama. Peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan telah di tiup, kami kalah dan tersisih dari kejuaraan tapi saat bersamaan ada senyum yang menguatkanku, kembali memberiku semangat serta menemaniku di perjalanan pulang. Meski lelah sehabis bertanding, rasanya tak begitu terasa. Senja itu aku di menggenggam tangan seorang perempuan yang membuatku merasa kuat, dan aku memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan di saksikan matahari menjelang kembali ke tempatnya. Bibir kering ini mendarat di keningnya, sambil matanya yang terpejam untuk beberapa saat. Kala itu mungkin dia juga merasakan apa yang aku rasa seolah waktu berhenti berputar untuk beberapa saat. Setelah momen itu kami kembali berjalan mencari angkutan umum agar bisa lebih cepat sampai di rumah. Hari ini mengajarkanku bahwa mungkin kita tidak pernah sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikan kita lebih, dan menantikan kita untuk memperhatikannya juga. Saat kita sadar ternyata dia juga lah selama ini seseorang yang kita nantikan. Dita menjadi pacar pertama dalam hidupku meskipun sepertinya cinta pertamaku bukan dirinya, melainkan pada orang lain yang tak pernah bisa aku utarakan dan tak akan pernah dia sadari juga. Hari-haripun kini telah berlalu, pagi itu aku kembali menjumpai 2 pesan dalam ponselku, ajakan untuk menjemputnya dan berangkat ke sekolah bersama. Rani sudah sembuh, aku senang mendengar kabar tersebut, ada yang membuatku sedikit berpikir terus menerus. Tentang diriku beberapa hari belakangan yang mungkin belum dia ketahui, aku takut nanti malah kelak dia tahu dari orang lain dan marah kepadaku. Di lain sisi aku merasa memangnya penting tentang diriku menjalin hubungan dengan orang lain untuk dirinya rasanya selama ini untuk soal perasaan Rani saat cuek terhadapku, aku takut malah nanti di tertawakan olehnya. Tapi sepertinya dia lebih baik tahu akan yang sebenarnya dan aku berencana memberi tahunya di perjalanan kami menuju sekolah. aku berjalan dan kini hampir sampai di rumah Rani, dari kejauhan aku sudah melihatnya berdiri di depan rumah menunggu kedatangananku.

"Selamat pagi, kamu yakin sudah sehat?" *sambil ku tempelkan telapak tanganku di keningnya*

"Sudah kok Bim, lagian seharian cuma tiduran itu gak enak banget"

"Sebenarnya kamu sakit apa kemaren?"

"kata dokter demam, sama asam lambungku naik. Penyebabnya bisa karena pola makan atau karena banyak pikiran. aku baru tahu kalau banyak pikiran bikin asam lambung kita jadi gak ke kontrol"

"rasanya menurutku yang kedua lebih mungkin yang menjadi penyebab kamu jatuh sakit, kamu terlalu banyak pikiran"

"padahal aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk lebih santai dalam menjalani hidup dan mencapai impian tapi tetap saja rasanya tidak bisa, tapi aku akan terus mencoba lebih chill menyikapi apapun demi kebaikan kesehatan mentalku"

"Nah begitu seharusnya, itu baru Rani yang aku kenal. oh iya aku ada sedikit kabar bahagia yang mau aku bagikan"

"apa? kamu kemaren juara ya turnamen futsal terus mau teraktir aku? iya kan?"

"kalau soal turnamen itu aku kalah Ran"

"terus apa dong kabar bahagianya?"

"Aku sekarang punya pacar" Tiba-tiba Rani menghentikan langkah kakinya sejenak dan terdiam, aku di belakangnya pun ikut terdiam sesaat.