webnovel

Senyum untuk Pihu

Kehidupan memang tidak selalu bisa di rencanakan. seindah apapun mimpi yang ingin kalian tuntaskan, sehebat apapun rencana yang kalian lukiskan, tetap tidak akan tersentuh ketika dunia sendiri yang menginginkan mu runtuh. Bukan lagi perihal duka dan lara, tangis dan kecewa, atau antara sendu dan nestapa.Tapi seorang gadis kecil, yang di paksa dewasa, di tuntut untuk selalu mengerti luka. kehidupan ini membuatnya berfikir, di dunia hanya ada derita, lara. Karena barang setitik pun bahagia tak pernah ia temukan, sekalipun tidak. Namun, gadis kecil nan polos itu hanya tersenyum menghadapinya, dengan tulus dia bernyanyi di alunan luka.

Hilall_Azizah · Adolescente
Classificações insuficientes
152 Chs

seorang pengagum

Adam tengah gusar dengan pemandangan di hadapannya, wajah tampannya sedikit berkeringat dibawah temaram lampu tidur. Matanya tak henti memandangi jendela yang mengarah langsung tepat ke asrama putri, apalagi jika bukan untuk menyaksikan wajah cantik Pihu yang kini dengan tenang memakan nasi goreng yang baru saja ia kirimkan.

Lampu kamar yang sengaja ia matikan agar wajah tampannya tidak terekspos keluar, hingga hanya siluet wajahnya yang tengah tergugu didepan jendela besar itu yang memantul di sudut tembok kamar.

Suap demi suapnya membuat hati Adam semakin mencelos, lebih-lebih ia takut jika sesuatu yang ia sembunyikan didalam nasi itu sampai tertelan oleh Pihu. Ya, Adam baru saja memutuskan untuk segera mengungkapkan perasaannya yang sudah tidak dapat ia tahan lagi dengan memberinya sebuah cincin yang sudah di pesannya secara khusus dengan bantuan Mbak Ratih.

Dua bulan sudah cukup baginya untuk menahan rasa sabar, dimana setiap hari Dia harus menyaksikan Pihu yang selalu di goda oleh para santri dan kakaknya sendiri. Cukup membuatnya geram sekaligus frustasi. Abah yang selama ini ia tunggu kepulangannya malah terjebak di kota suci dengan alasan pandemi, semakin menambah rasa kesalnya.

Maksud hatinya ingin menyerahkan cincin itu secara langsung pada Pihu, Namun rasa gugup berhasil mengalahkan nya. Hingga dia memutuskan untuk memberikannya secara diam-diam dengan perantara seorang anak kecil, meskipun akhirnya dia harus rela mengorbankan sekotak coklat agar anak itu mau tutup mulut dan tidak membocorkannya pada siapapun.

Wajahnya seketika memucat ketika Pihu tampak tersedak di sebrang sana, dia menatapnya dengan cemas takut kalo Pihu kenapa-kenapa. Namun hatinya sedikit lega ketika cincin itu meloncat keluar dari mulut Pihu, menghasilkan suara gemerincing tunggal ketika menyentuh permukaan keramik berwarna coklat itu.

Ia menghembuskan nafas lega ketika wajah Pihu tampak berseri ketika menatap cincin pemberiannya dengan mata berbinar, namun kebahagiaan itu hanya sebentar karena detik berikutnya air muka Pihu berubah keruh. Adam menatapnya gelisah, ketika Pihu yang tampak sedang menceritakan sesuatu kepada Aisyah kini terlihat menitikkan air matanya pilu.

Ada apa? Apa dia tidak menyukainya? Apa yang membuatnya merasa terluka seperti itu? Begitu banyak tanda tanya di benaknya kini. Ia terus menatapnya dengan seksama, mengapa begitu sakit hatinya melihat wanita pujaannya tengah menangis tersedu disana.

Ingin sekali rasanya ia mendatangi Pihu, sekadar bertanya apa yang membuat hatinya terluka, namun ia tidak bisa. Hukum dengan jelas melarangnya melakukan khalwat. Ada rasa bersalah yang mengganjal di hatinya kini, namun ia sendiri tak tahu entah apa yang sebenarnya telah dia perbuat? Ia sangat bingung.

"Masih di liatin aja Dam?" Ucap seorang di belakang sana sukses membuyarkan lamunan Adam yang kini tengah bergelut dengan fikirannya, Pihu sudah masuk kedalam kamarnya dengan Aisyah.

Dan sialnya, surat yang ia selipkan dibawah sterofom itu belum sempat Pihu baca, malah Pihu belum mengetahui sama sekali jika dibawah sana surat cintanya tengah menunggu sang empunya hati untuk segera dibuka.

"Saya kok ngerasa bersalah ya Gus sama Dia." Seraya beranjak dari duduknya.

"Lho emangnya kenapa? Bukannya Ente udah ngasih Dia cincin itu?" Tanya Gus Rafli yang tampak memegang secangkir kopi ditangannya.

Adam melemparkan tubuhnya diatas kasur besar itu, dinyalakannya kembali lampu yang sedari tadi sengaja ia matikan. Ia menatap langit-langit dengan gelisah, apa yang sebenarnya sedang Pihu rasakan?

"Udah Gus, barusan saya udah kasih cincinnya tapi gak langsung. Saya masukin ke nasi goreng, dia suka nasi goreng. Itupun santri kecil yang anter kesana," ucapnya pelan seperti bergumam.

"La? Kenapa gak Ente kasih langsung aja biar Dia tahu maksud dan tujuannya?"

"Saya gak bisa Gus, saya sudah berjanji hanya akan menemuinya ketika saya sudah mendapat izin Abah untuk segera mengkhitbahnya. Dan, saya selalu gugup tiap ketemu sama Pihu makanya saya gak bisa ketemu dia sekarang."

"Sampean ini Dam, wanita itu pengennya di perjuangkan, kalo dia saja gak tahu kalo kamu punya rasa sama Dia, gimana Dia mau bales perasaan kamu?" Ucapnya gemas sembari menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin.

"Saya udah selipin surat kecil didalamnya, tapi dia belum sempat baca. Malah ..."

"Malah apa?" Balasnya ragu sembari menautkan kedua alis tebal miliknya.

"Malah dia nangis, apa saya ngelakuin kesalahan Gus?"

"Mungkin ada penyebab lain, perempuan itu sensitif. Pengalaman saya selama beberapa bulan ini menikah ya gitu, mungkin ada suatu hal yang bikin perasaannya terluka,"

"Entah Gus saya bingung." Sembari melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi.

"Mau kemana?"

"Mau wudhu Gus, pengen istikhoroh biar tenang." Meninggalkan Putra dari gurunya yang  terpaut lima tahun lebih tua darinya itu.

____

"Jangan Bah!" Pekiknya menggema di ruangan luas itu, Adam terlonjak dari tidurnya ketika mimpi yang menakutkan itu hadir dalam tidurnya.

Gus Rafli yang kala itu tengah nyenyak dalam tidurnya, seketika terkesiap mendengar teriakan kawan lamanya yang tengah terbaring di sampingnya, ia melirik jam dinding yang masih bertengger di tembok samping. Masih pukul dua lewat empat puluh.

"Dam! Ente kenapa?" Ucapnya seraya menepuk pundak Adam yang masih terlihat takut dengan wajah yang penuh dengan keringat.

"Astagfirullah, ya Allah mimpi apa saya tadi," gumamnya dengan nada bergetar.

"Ente mimpi apa emang?"

"Saya mimpi Abah mau jauhin saya sama Pihu Gus." Mengusap wajahnya kasar.

"Wes, itu cuma mimpi Dam. Sudah sekarang sampean wudhu, tahajud biar tenang."

Adam hanya mengangguk pelan, sembari melangkahkan kakinya gontai ke kamar mandi. Fikirannya masih melayang entah kemana, mimpi yang baru saja di alaminya begitu menakutkan. Bagaimana mungkin Abah kala itu ingin menjodohkan Pihu dengan orang lain Sedangkan Adam sudah sangat menginginkan Pihu untuk menjadi istrinya.

Membuat hatinya tak tenang, kegelisahan menghantam keras hati dan fikirannya. Bukan karena dia tidak yakin dengan ketetapan Allah, tapi pasalnya semalam dia baru saja melaksanakan istikhoroh untuk ketenangannya. Namun sekarang? Kegelisahannya malah semakin bertambah.

Ditatapnya pantulan cermin di dalam kamar mandi itu, menampilkan wajah yang tampak begitu ketakutan. Sebegitu besarkah ketakutannya kehilangan Pihu? Dalam waktu sesingkat itu Pihu sudah begitu dalam menguasai setiap pelosok hatinya.

____

Mentari mulai kembali dari persembunyiannya, mengintip sedikit dari sebalik awan-awan yang mulai meninggi. Gus Rafli sudah siap dengan ransel hitam yang sejak beberapa minggu menemani perjalanannya mengitari kota-kota yang belum tersentuh ajaran islam.

Dengan rela ia meninggalkan istri yang baru di nikahinya beberapa bulan untuk sekedar mengamalkan ilmunya kepada manusia-manusia yang membutuhkan, dan hari ini adalah hari terakhirnya menahan rindu kepada belahan hatinya.

Setelah kemarin dia menyempatkan diri untuk menyambangi kawan lamanya ketika melintasi daerah ini, Adam adalah seorang santri yang beberapa tahun lalu sempat menetap di pondok milik Abahnya. Kepribadian Adam yang baik dan ramah membuat mereka cukup dekat, namun itu tak bertahan lama karena setelah dua tahun Adam memutuskan untuk memperluas ilmu pengetahuannya ke negri seribu menara, Kairo Mesir.

Ia menatap kawan lamanya itu dengan tersenyum senang, Adam tampak sedang mengajar ngaji di aula cukup besar. Rafly menggelengkan kepalanya pelan, tak pernah ia sangka seorang Adam yang dahulu begitu acuh dengan lawan jenis sekarang begitu takut kehilangan seorang wanita.

Bahkan saat mereka masih bersama menimba ilmu di pondok Abahnya, Adam memiliki banyak penggemar namun tak satupun yang ia tanggapi. Namun sekarang? Rasa takutnya semalam sudah cukup menjelaskan betapa ia begitu menyayangi santriwati itu.

"Ternyata teori Ente dulu itu salah Dam," ucapnya menggeleng pelan sembari menyeruput kopi hitam dengan sepiring gorengan di sebelahnya.

____