webnovel

Dia Yang Bernama Jingga

Mungkin keadaan seperti ini menjadi fase yang paling dibenci oleh semua orang. Di mana mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa ada siapa pun yang dikenali selain keluarga sendiri. Bukan hanya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang baru, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan keadaan umum yang sangat jauh berbeda dengan kondisi di tempat tinggal sebelumnya.

Menyebalkan sekali, kan?

Itulah yang dipikirkan Langit begitu menatap bangunan yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu. Semuanya baru di mulai hari ini. Entah sampai kapan Langit akan bertahan di tempat yang asing ini.

"Anak baru?" tanya salah satu siswa yang menghadang jalan Langit.

Dari sikap yang ia tunjukkan dalam memulai komunikasi, terlihat jelas jika dia bukanlah siswa yang baik. Lagi pula, Langit tahu ini sudah masuk jam pelajaran. Koridor sekolah pun sudah sepi. Hanya mereka berdua yang berkeliaran di sana.

Mungkin, mereka membolos.

"Pindahan dari mana?"

Langit enggan menjawab. Ia terlalu malas untuk meladeni sesuatu yang tidak begitu penting. Kedatangannya ke sekolah ini hanyalah untuk melanjutkan pendidikan. Bukan menambah rumit kehidupan.

"Kalau ditanya, tuh, jawab. Lo anak pindahan dati mana?" tanya siswa itu lagi.

Dengan malas, Langit menjawab, "Sleman."

Siswa itu tertawa. Begitu juga satu temannya yang lain.

"Anak baru aja belagu. Kayaknya lo perlu dikasih tau dengan baik kalau di sekolah ini kita berdua yang berkuasa," ucap siswa yang lainnya.

"Semua murid di sini tunduk sama kita berdua. Jadi, kalau lo mau hidup aman damai di sekolah ini, setiap pagi lo harus kasih kita tambahan uang jajan."

Langit bergeming. Enggan merespons apa pun yang baru saja dikatakan oleh orang-orang di hadapannya. Ekspresinya pun datar-datar saja seolah tidak merasa takut kepada dua orang itu. Sampai tiba-tiba salah satu dari mereka berdua menengadahkan tangan. Membuat Langit terheran-heran dengan kelakuan mereka.

"Bagi duit," ucap siswa itu lagi.

"Atas dasar ala gue harus kasih uang ke kalian?" tanya Langit datar.

"Karena kita penguasa di sini. Jadi, apa pun yang gue mau, lo harus kasih."

Sungguh, demi apa pun, Langit benar-benar malas melayani mereka berdua. Tidak ada untungnya juga, kan. Di mata Langit, mereka hanyalah siswa nakal yang mengandalkan ancaman tak bermutu. Hanya seonggok daging bernyawa yang berpotensi besar merusak reputasi sekolah saja.

"Kalian bukan penguasa di sekolah ini. Memangnya apa yang udah kalian kasih untuk sekolah ini sampai berani menyebut diri sebagai penguasa? Nggak ada, kan," balas Langit telak.

Seketika itu juga dua siswa di hadapan Langit terdiam karena kalah telak dalam pembicaraan ini. Hal yang membuar senyum Langit mengembang. Puas dengan apa yang baru saja dia lakukan untuk membuat kedua siswa itu diam.

Sampai tiba-tiba telinga Langit mendengar suara tawa dan juga tepuk tangan dari arah belakangnya. Lalu, tak lama kemudian seorang siswa perempuan berseragam olahraga muncul dari balik punggung Langit.

"Betul juga kata dia. Emangnya apa yang udah kalian kasih buat sekolah ini? Guru bukan, kepala sekolah bukan, pemilik yayasan juga bukan. Kalian itu Cuma benalu di sekolah ini," ucap siswa perempuan itu tegas.

Langit terpaku menatap perempuan itu. Cukup terkejut dengan ketegasan yang dia miliki. Hingga mampu membuat Langit terkejut bukan main.

"Sana pergi!" perintah perempuan itu galak. Ajaibnya, kedua siswa yang sebelumnya mengganggu Langit itu pergi begitu saja.

"Lo nggak dipukul sama mereka, kan?" tanya perempuan itu.

Langit menggeleng. "Enggak," jawabnya.

"Syukur, deh."

Tak disangka, perempuan itu tersenyum begitu manis. Hal yang tak luput dari perhatian Langit kala itu. Bahkan, karena senyuman manis yang terukir di sana, Langit merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Hingga Langit tidak sadar ketika kedua ujung bibirnya tertarik menghasilkan senyum tipis.

Perempuan itu mengulurkan tangan ke arah Langit. Masih dengan senyuman yang enggan luntur, dia memperkenalkan diri. "Nama gue Swara Dewi Jingga. Orang-orang di sini biasa manggil gue dengan nama Jingga," katanya.

Langit membalas uluran tangan perempuan bernama Jingga itu. "Gue Langit," balasnya.

"Waw ...." Jingga terperangah. Untuk memastikan dirinya tidak salah dengar, Jingga pun bertanya, "Seriusan nama lo Langit?"

Langit hanya menjawab dengan Anggukan. Meskipun sebenarnya dia bingung dengan sikap diberikan Jingga ini. Mengapa perempuan itu tampak begitu terkejut setelah mengetahui nama Langit?

"Itu keren banget, loh. Kayaknya orang tua lo cukup kreatif sampai kepikiran buat kasih nama sekeren itu," kata Jingga terkagum-kagum.

Lagi-lagi Langit tersenyum. Selama beberapa menit ini, entah sudah berapa kali dia tersenyum. Padahal biasanya Langit paling malas mengumbar senyuman di hadapan orang lain. Terlebih lagi jika Langit belum mengenal itu.

Namun, entah bagaimana bisa respons dan kesan pertama Langit saat bertemu Jingga ini berbeda. Senyuman yang terukir manis di wajah Jingga seperti menularkan energi positif ke dalam diri Langit.

"Gue Cuma mau kasih peringatan aja. Orang-orang kayak mereka berdua tadi itu Cuma sebagian kecil di sekolah ini. Masih ada banyak orang yang mungkin bakal buat kesabaran lo teruji setiap hari," ucap Jingga.

Alis Langit saling bertaut. Menandakan dirinya tengah heran. "Iyakah? Nggak ada hukuman gitu buat mereka?" tanya Langit.

Jingga mengangkat bahu. "Udah berkali-kali mereka dihukum. Ada juga beberapa siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena berperilaku lebih parah. Tapi, menurut gue mau dikasih hukuman seberat apa pun, nggak menjamin kalau populasi siswa nakal bahkan berkurang. Karena itu semua tergantung sisi internalnya setiap orang yang nggak bisa disentuh sama orang lain," ucapnya.

Lagi-lagi Langit dibuat terkejut oleh Jingga. Setiap kata yang terucap dari bibir mungil perempuan itu memiliki makna yang luar biasa. Membuat Langit terpesona sejenak, karena ini adalah kali pertamanya Langit bertemu seorang perempuan yang terlihat menarik tanpa bertingkah seperti pengemis perhatian.

"Omong-omong lo masuk di kelas mana?" Jingga bertanya.

"Sebelas IPS 7," jawab Langit.

Jingga mengangguk mengerti. "Yuk, ikut gue," ajaknya. Kemudian perempuan itu melangkah lebih dulu untuk menuntun Langit menuju ke suatu tempat.

Hingga mereka berdua tiba di salah satu loreng kelas yang saling berhadapan. Jingga menghentikan langkahnya di sana. Menatap papan kecil yang terpasang di atas daun pintu untuk memastikan kelas yang ia tunjukkan itu cocok dengan kelas yang tadi disebutkan oleh Langit.

"Ini kelas lo. Kalau kelas gue di ujung sana," ucap Jingga.

"Ok," balas Langit.

"Tau tata cara masuk ke kelas, kan? Ketuk pintu, ucap salam, terus bilang kalau lo murid baru. Atau perlu gue antar sampai ke dalam?" Jingga menawari.

Langit tidak bisa menyembunyikan tawanya. Sambil tertawa, dia menjawab, "Gue berani masuk sendiri."

Senyum Jingga mengembang lagi. Sebelum melangkah pergi meninggalkan Langit, Jingga berkata, "Semoga betah, ya, di sini."

Jingga melangkah. Dia benar-benar meninggalkan Langit sekarang. Tiada sadar bahwa sejak tadi Langit terus menatap punggung perempuan itu.

Sambil saat jarak mereka sudah trhitung beberapa meter, Jingga menoleh kembali menghadap ke arah Langit. Dengan suara yang sedikit dikeraskan, Jingga berkata, "Kalau lo nggak mau diganggu sama murid-murid nakal di sini, lo ikut komunitas bela diri aja. Lo bisa temui gue kalau berminat untuk gabung."

Menarik. Haruskah Langit mengikuti saran yang diberikan Jingga?