webnovel

Bab 11 - Inside Out

Angin malam bergemuruh, gemerisik dedaunan mulai gaduh, percik-percik air hujan menyambut tanah, menguatkan aroma petrikor di malam yang temaran ini. Rea menggulingkan tubuhnya ke kiri, ke kanan hingga membuat seluruh permukaan sprei berantakan. Alunan musik kalimba pun menambah suasana kamar Rea tak karuan adanya. Rea menjambaki rambut jagungnya dengan frustrasi. Bagaimana tidak, hatinya terus dibakar bara ketidaktenangan. Rea dilema, Rea tak enak diam. Gadis itu melompat dari kasur menuju jendela, membiarkan dingin semakin memporak-porandakan isi hati juga kamarnya yang terasa bagaikan sauna. Rea menerawang langit, terus memikirkan apa yang bergemuruh dalam dirinya sejak kemarin siang. Perasaan yang Rea tak tahu pasti kapan itu timbul dan tumbuh mengakar kemudian menjadi rambat yang kokoh dalam hati ke benak lalu bersayang di pikirannya.

Perasaan cintakah atau hanya perasaan takut kehilangan sebab hanya San yang Rea punya sebagai sahabat masa kecil. Seseorang yang mengerti keluh kesah Rea, dari cerewetnya, cengengnya sampai tantrumnya hanya San seorang. Apa perlu mengkhawatirkan perasaan yang tengah merundung ini, begitu pertanyaan yang berputar di kepala Rea, membuatnya larut menerawang wajah langit yang semakin temaram sisakan bercak-bercak cahaya bulan.

Pintu diketuk sebanyak tiga kali, hingga sebuah senyum di balik celahnya membuat Rea mendesah. “Rea mau makan malam bersama?” tanya San dengan kerling genit.

“Aku nggak lapar, San,” jawab Rea tersenyum lembut sambil menggeleng pelan.

“Dapurnya nanti dipakai anak-anak, loh.” San mencoba menyakinkan Rea. Sayangnya, gadis itu setia menggeleng pelan.

“Aku ada roti, kok,” ucap Rea sembari membalikkan tubuhnya kembali menghadap ke jendela.

“Kamu kenapa, Rea?” tanya San seraya mendekat pada Rea yang dengan erat memeluk tubuhnya sendirian.

“Aku nggak apa-apa, San.” Rea melirik.

San sedikit memiringkan kepalanya ke kiri dengan bahu agaknya terangkat. Gadis tomboi itu menarik tubuh Rea berhadapan dengannya. Ada tatapan mata sendu dari gadis di hadapannya. Namun, San tidak tahu perasaan apa itu, perasaan yang tengah Rea sembunyikan darinya?

San hanya bisa menebak jika Rea mungkin tengah bergelut dengan sesuatu. San mendesah pelan, kedua sudut bibirnya naik perlahan-lahan. Tangan kanan San mendarat di puncak kepala Rea, dibelainya rambut gadis itu. San berujar, “Kalau mau makan, jangan sungkan bangunkan aku. Paman Atma kirim mie instan banyak banget, aku mana mungkin makan sendirian.”

“Iya, makasih, San,” balas Rea dengan tangan kiri menepuk-nepuk bahu San.

San melenggang keluar kamar Rea, gadis tomboi itu sempat menoleh sebanyak tiga kali sebelum kakinya benar-benar keluar dari ambang pintu. Rea terlihat suram, wajahnya murung, senyumnya padam meski lebar. Sesuatu yang salah sedang berlangsung? Persetan dengan ketidaktahuan ini! bentak San dalam hatinya. Walau demikian, San tidak bisa bertanya, malu untuk memulai dan sepecundang itu dirinya sebagai sahabat. Kepala San meledak.

Segerombolan anak memanggil San, mengajaknya makan malam bersama. Sedangkan Rea di kamar, sibuk memandang langit. Suara ribut anak-anak tanpa sadar membuat air matanya berlinang. Lutut Rea lemas, beringsut tubuhnya ke lantai dengan kaki peluk. Rea menangis sesegukan.

“Sejak kapan aku seegois ini, San? Kenapa aku terus memikirkan cara untuk mendapatkanmu, sementara aku tau akan seperti apa hasilnya,” lirih Rea tak bisa mengendalikan tangis juga napasnya yang berhamburan.

Di meja makan, San hanya bisa bergeming. Gadis tomboi itu menggulirkan kedua bola matanya, mengamati satu demi satu wajah penghuni kostan yang didominasi anak-anak dari Fakultas Ekonomi. Bahu San ditepuk seseorang. Ia adalah Amnya, teman kampus Rea dan San juga.

“Rea nggak makan barengan kita, San?” tanya Amnya dengan dahi mengerut tajam

.

“Rea lagi istirahat,” jawab San tersenyum ringkas. Gadis tomboi itu segera menghabiskan semangkuk mie instan dengan lahapnya.

“San, Rea bersahabat denganmu sejak kapan? Aku lihat kalian amat sangat akrab, kalian seperti prangko,” canda Amnya terkikik pelan.

“Perumpamaannya terlalu jadul, Nya!” timpal seorang gadis yang menguncir rambutnya dengan bandana berbentuk telinga kelinci. Ia yang tak lain adalah Ersina.

“Kami bersahabat sejak SD, akhir SD. Aku murid pindahan di sekolahnya Rea.” San merapikan mangkuk bekasnya makan.

“Waw, persahabatan kalian lebih dari lima tahun, dong?” Mesya, ia yang berdiri di depan kompor sambil memanggang sosis menoleh pada San.

“Ya, begitulah. Sadar nggak sadar, persahabatan itu terus berjalan. Aku nggak mimpi akan satu sekolah lagi dengan Rea di SMP atau di SMA, kami sama-sama mendapat beasiswa siswa unggulan. Semacam jalur undangan nilai akademik gitu,” papar San tersenyum sipu-sipu malu.

Anak-anak di meja makan berseru riang. “Enak banget punya sahabat pinter, masuk sekolah elit barengan, ngampus di kampus beken barengan juga, jangan-jangan waktu UN saling tukar jawaban lagi?” seloroh mereka sepemikiran. San tertawa, dari balik lemari pendingin diam-diam Rea berdiri, menguping pembicaran yang ramainya sampai masuk dan mengetuk pintu kamar gadis itu.

“Kalau aku bisa milih, bertukar jawaban, kayaknya aku bakal milih menerima jawaban Rea. Dia lebih pintar dari aku, dia juara olimpiade sains, dia kandidat cerdas cermat terhebat di mapel matematika dan bahasa asing.”

Rea merasakan hatinya dicabik-cabik senyum San yang lepas. Deretan gigi putihnya tampak indah dengan bias merah muda di pipi. Gadis itu buru-buru kembali ke kamarnya saat Mesya beranjak menuju lemari pendingin membawa sisa sosis yang belum dimasaknya.

“Emm, San, Rea sering traktir kamu? Apa kalian suka saling jajanin satu sama lain? Kayak nonton bioskop, belanja barengan gitu?” telisik Annye yang sedari tadi hanya menyimak.

“Nggak, kita nggak pernah ke bioskop, nggak pernah belanja barengan. Kita lebih banyak menghabiskan waktu di toko buku. Rea, kan, seorang bibliofili,” ucap San sembari terkikik.

Rea masih berdiri di belakang pintu kamarnya, mendengarkan bagaimana anak-anak menggoda San. Jelas, siapa yang bisa menolak pesona San. Ia tampan sekaligus cantik. Ia juga selalu punya topik yang menarik untuk tetap membuka telinga. Ia yang selalu hadir dengan segala hangat yang menggetarkan hati. Jika Rea bisa memilih seperti yang San lakukan, Rea juga ingin melakukan hal yang sama. Menerima jawaban San, entah itu penolakan atau sebaliknya. Rea ingin mengakui cintanya pada San. Tak perlu sebaliknya pun tidak mengapa, Rea akan senang jika pikirannya jernih kembali tanpa rasa cemburu yang menghantui seperti saat ini. Menjernihkan kegilaannya berujung waras lagi. Rea belum bisa, Rea masih selalu merasa cemburu. Entah untuk hal kecil seperti saat ini atau hal-hal seperti tindak-tanduk Aurel atau pria yang tempo hari menyapa San.

Rea merebahkan tubuhnya di atas kasur, kembali memutar alunan musik kalimba yang bersahutan gemerisik suara dahan juga tetesan hujan bersama pertikor yang belum memudar. “Jika aku bisa memilih aku nggak ingin melewatkan hari-hari baik bersamamu, San. Kalaupun aku punya kesempatan kembali ke awal pertemuan kita, aku tetap akan memilih menjadi temanmu,” ucap Rea memeluk bantalnya.

Di dapur anak-anak masih gaduh menggoda San. Bahkan Alenna yang sedari tadi diam saja, kini ia bersuara. Gadis itu duduk berdampingan dengan San. Mendaratkan tangannya di bahu San yang lebih lebar dari para gadis yang ada. Alenna dengan antusias berkicau, “Kalau San cowok pasti udah naksir Rea. Atau kayaknya kalau San Cowok pasti Rea udah naksir San, ngebet pengin jadi belahan jiwa San.”

“Secara San gantengnya lebih ganteng dari si Rexa, si Leo, si Guntur,” timpal Annye.

Amnya memukulkan sendok ke permukaan meja. “Ih, mereka mah lewat, bahkan San lebih ganteng dan lebih kece dari senior kita yang namanya Kak Rizha sama sahabatnya itu, siapa, sih?”

“Kak Wira anak DKV itu, ‘kan?” Mesya semangat empat lima. “Iya, ih, San sama Kak Rizha sama Kak Wira ganteng banget. Ah, sayang San cewek gantengnya nggak masuk itungan.”

“Kata Bude, aku cantik loh, kalian doang yang muji aku ganteng.” San menyeringai seraya membusungkan dadanya. “Omong-omong aku nggak ada niatan jadi ganteng.”

Semua anak gadis yang ada berseru mengejek ucapan San. Smentara itu, Rea di kamar sudah menutup dirinya dengan selimut ditemani musik kalimba.