webnovel

sekolah hantu

Rahel harus pindah sekolah karena hantu, tapi dia memilih sekolah yang terkenal angker. Bertemu dengan arwah penasaran bernama Vito membuatnya harus membantu Vito, dan beberapa arwah yang meminta tolong. Untungnya Rahel tidak melakukan misi itu sendirian, dia di temani dengan Juna. Juna yang juga indigo tidak sengaja bertemu dengan Rahel ketika gadis itu sedang diganggu hantu perempuan di toilet.

meybulansafitrii · Terror
Classificações insuficientes
16 Chs

Rencana Pertama

Rahel mulai memejamkan kedua matanya. Tidak ada yang dia pikirkan kecuali rasa percaya pada Juna, tapi tiba-tiba saja punggungnya terasa hangat. Seperti ada energi baru yang menyentuh bagian punggung dan sesuatu yang terasa menarik dirinya.

Rahel tidak melihat sesuatu dengan jelas untuk beberapa saat, sampai akhirnya terlihat sebuah ruangan yang persis dengan toilet perempuan di dekat kelas. Bilik paling ujung menampakan seorang perempuan dengan rambut yang lumayan panjang memberikan senyum kepada Rahel, senyum singkat yang perlahan berubah menjadi seringaian.

Tak hanya senyumnya yang berubah, tapi sosok yang tadinya cantik jelita berubah menjadi sosok yang mengerikan. Rambut berantakan basah yang penuh dengan busa shampo, aliran darah pada bagian pelipis, dan pakaian yang begitu basah membuat Rahel tak bisa bernapas.

Rahel memejamkan kedua matanya segera, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Membuatnya tak bisa melakukan apa pun, bahkan hanya untuk menatap ubin lantai. Lagi, dia merasakan sesuatu yang kembali menariknya dengan cukup kuat.

"Hakh!" Rahel menutup bibirnya yang terbuka karena terkejut melihat Juna. Tempatnya kembali seperti semula, tapi lagi-lagi dia kagum dengan kekuatan yang di miliki teman barunya ini. "Wah! Gila, kok bisa?"

"Itu Ainun bukan?" tanya Juna tanpa merasa bersalah karena tidak menjawab pertanyaan Rahel.

Rahel mengangguk dengan posisi yang masih sama. "Kok bisa?" tanyanya lagi.

"Ada caranya kalau lo mau belajar."

"Ah, gitu." Rahel menjauhkan kedua tangannya dari bibir, dia kembali memberikan ekspresi normal. "Gue gak mau bisa deh kalau kaya gitu. Pasti berat banget tantangannya, terus pasti juga ada beberapa syarat yang harus lo lakuin supaya bisa sampai ada di tahap ini."

Juna hanya menatap datar Rahel tanpa merasa senang untuk pujian yang gadis itu berikan. "Makasih banyak buat info yang lo kasih, ini udah lebih dari cukup. Untung kita ketemu subuh tadi, kalau engga mungkin aja ainun gak akan bisa pulang. Sekali lagi gue bilang makasih."

"Lo mau bantuin ainun pulang?"

Juna mengangguk. "Sesuai janji gue sama ainun."

"Gue... boleh ikut?"

"Ikut apa?"

"Ikut ngasih bantuan, gue yakin lo masih butuh bantuan gue." Rahel memberikan senyum, kedua alisnya dia naik turunkan dengan rasa percaya diri yang begitu tinggi.

Juna menatap Rahel tak yakin, tapi vision yang Rahel terima membuat Juna kembali berpikir. Dia tidak pernah mendapatkan vision selama ini, tapi dia juga tidak bisa langsung menyetujui gadis payah itu untuk ikut.

Sejujurnya Juna tidak mau ada korban, dan tidak mau di repotkan. Namun, dia sadar jika informasi yang dia terima baru sedikit, tidak cukup untuk memulangkan Ainun yang sudah lama terkurung di toilet. Juna menghela akhirnya, dia kembali menatap Rahel dan kemudian berkata, "Lo yakin mau ikut?"

Rahel mengangguk dengan penuh semangat, bahkan senyumnya berubah menjadi senyum lebar. "Gue bisa jadi apa pun, mau lo suruh buat cari data atau jagain sesuatu juga gue bisa kok."

"Gue suruh beli sesajen juga bisa?" Juna memicingkan mata saking tak percayanya pada Rahel.

"Bisa banget!" sahut Rahel dengan mantap.

"Oke," kata Juna akhirnya. "Tapi lo harus janji buat gak jadi beban gue, kalau nanti lo jadi beban-"

"Gak akan ada kesempatan kedua buat orang yang selalu jadi beban," potong Rahel enteng.

****

Cowok tinggi bermata sipit itu berdiri tepat di ambang pintu kantor, dia terus memperhatikan papan nama ruangan. Sejak tadi ada yang mengganjal di dalam hatinya, tapi Juna ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat agar dia bisa istirahat dengan nyaman sebagaimana manusia normal.

Hembusan napas cukup berat dia keluarkan sebelum mengetuk pintu kantor beberapa kali, dan kemudian dia buka sendiri. Ruangan penuh dengan meja dan buku itu tampak sepi, tapi untungnya ada satu guru yang sangat dia kenal. Juna langsung menghampiri wanita berkacamata bulat dengan senyum yang lumayan manis.

"Siang Bu Reta," sapa Juna begitu ramah.

"Siang Juna." Reta tak bisa menatap lawan bicaranya, dia sibuk dengan banyaknya lembar jawaban ujian yang harus segera di koreksi. "Tumben ke sini, mau nemuin wali kelas ya?"

"Mau nemuin Ibu sih, hehe!"

"Saya?" Reta mengernyit, kali ini dia mulai menatap lawan bicaranya. "Kenapa? Ada perlu apa?"

"Um, gini Bu sebenernya saya mau... liat berkas alumni beberapa tahun yang lalu, tapi saya gak tau harus minta tolong ke siapa lagi selain ke Ibu. Saya kenal akrab ke Ibu aja soalnya."

"Berkas alumni buat apa? Saya pikir kamu gak punya saudara yang pernah sekolah di sini, buat apa emangnya Juna?"

"Ada Bu sepupu saya. Jadi tuh sepupu saya ini mau ulang tahun, saya mau ngasih kejutan gitu pakai foto jaman SMA dia," bohong Juna. "Boleh ya Bu? Saya minta tolong banget ke Ibu supaya dapet ijin."

Reta menghela pelan, ekspresinya berubah menjadi iba. "Gimana ya Juna, sebenernya perpustakaan itu gak boleh di masukin selain guru. Berkas alumni pun cuman boleh mereka aja yang liat, gak ada yang boleh tau selain alumni sama staf guru."

"Ayo, dong Bu Reta bantuin saya kali ini aja deh!"

Reta mencoba untuk berpikir beberapa saat, dia kemudian menoleh ke arah jam dinding yang masih menunjuk pada pukul dua belas siang. "Jangan lama-lama ya, biasanya jam setengah satu itu staf guru yang lain udah selesai makan siang."

"Gak akan Bu, saya janji cuman butuhin waktu lima belas menit dari sekarang."

"Ruangannya ada di sebelah, tolong di rapihin lagi supaya gak ada yang curiga!"

"Siap!" Juna memberikan hormat pada Reta dengan senyum, "Sekali lagi saya ucapin terima kasih banyak kepada Bu Reta. Kalau gitu saya permisi dulu, selamat siang Bu Reta," lanjut Juna sebelum melipir ke ruangan sebelah.

Ada banyak berkas besar di bagian atas lemari, sementara di bagian bawah dan tengah hanya berkas-berkas kecil nan tipis. Juna mulai mencari berkas alumni dari tahun 2008 sampai 2019. Dia buka dengan cepat sambil memperhatikan nama-nama dengan cermat.

Untungnya nama setiap siswa tidak begitu sulit, hanya ada beberapa nama yang memiliki empat sampai enam suku kata. Kebanyakan hanya dua sampai tiga suku kata, dan nama Ainun dan Ragil pun cukup jarang dia temukan di buku tahun 2008 sampai buku yang dia pegang sekarang.

Juna melihat jam dinding yang hampir menunjuk setengah satu. Dia buru-buru dengan perasaan tak karuan, dan untungnya nama beserta foto Ainun dia temukan. Di urutan terakhir dia menemukan cowok dengan nama Ragil Dwi Subandono, satu angkatan dan satu kelas dengan Ainun.

Juna tidak berpikir dua kali lagi, segera dia foto informasi pribadi Ragil sebelum menata ulang sesuai tempat berkas, dan sesuai urutan tahun meskipun buru-buru. Suara berat seseorang tertawa membuat Juna mempercepat kegiatannya sebelum berjalan keluar, pintu ruangan terbuka ketika dia berada di belakang Reta.

"Juna, tumben sekali di kantor jam segini," ucap Darto - guru matematika kelas X IPA. Di belakangnya terdapat beberapa guru lain yang tidak Juna kenal.

"Lagi bantuin Bu Reta tadi Pak bawa lembar jawaban anak kelas sebelah," sahut Juna.

"Sudah makan siang?"

"Belum Pak."

"Sana makan siang dulu sebelum bell, nanti kamu pingsan lagi di kelas kalau gak sempet makan."

Juna tersenyum kikuk karena menurutnya guyonan Pak Darto sama sekali tidak lucu. "Saya ke kantin ya Pak, kalau gitu saya permisi dulu ya Pak, Bu."

"Oh, iya hati-hati Juna!" sahut Reta, dan Darto bersamaan.