Sore kembali menyapa. Revan berlarian di lorong setelah dipastikan orang-orang di sekolah sudah pulang. Terlebih Geng Five Sister—sebutan bagi geng Rina dan kawan-kawannya. Sebelumnya Revan sudah mengirimkan pesan pada Dika untuk menunggu di kelas, atau setidaknya di halte bis.
Revan menuju kelas Dika, dimana kelas itu berada diujung lantai tiga. Revan harus naik dari lantai dua karena memang mereka berbeda kelas dan jurusan. Dika merupakan jurusan MIPA dan Revan jurusan IPS.
Langkah kakinya yang lebar membuat Revan cepat sampai di kelas itu. Di sana masih ada beberapa anak kelas itu yang belum pulang. Sekitar tiga orang anak perempuan sedang berbincang di depan kelas itu.
"Eh liat Dika gak ?"
Salah satu dari ketiga perempuan itu melirik, "Oh cari Dika ya ? Tadi sih dia bilang ke gue kalo ada yang nyariin katanya udah nunggu di halte bis. Pasti lo kan orangnya ?"
Revan tak menjawab pertanyaan dari teman Dika itu, "Oke."
Revan berlari kembali untuk menyusul Dika di halte bis. Setelah Revan berlalu, ketiga perempuan itu langsung menjerit tertahan.
"Gue yakin sih mereka pasti ada apa-apa, secarakan Dika sama si pangeran sekolah itu gak akrab-akrab bangetkan ? Ngomong juga gue rasa gak ada tuh."
"Iya bener."
"Kalo memang ada sesuatu, otp kita nambah dong ?"
"Sumpah sih kalo emang bener. Diliat-liat juga mereka cocok gak sih ?"
"Cocok banget..."
Begitulah para fujoshi itu jika sudah menemukan hal-hal berbau percintaan antara sesama lelaki. Pengelihatan dan feeling mereka sangat kuat.
Di tempat lain, tepatnya di halte bis. Dika dengan tenang duduk sembari meminum jus kotak yang dingin. Bibir ranum merah muda itu mengapit sedotan yang mengeluarkan minuman itu. Hampir sepuluh menit Dika disini, tapi Revan belum datang juga.
"Revan kemana sih ?"
Tak lama kemudian, lelaki perawakan atletis itu muncul dengan motornya lalu berhenti tepat di hadapan Dika.
"Lama."
"Iya maaf, tadi aku udah ke kelas kamu, terus kata temen kamu katanya kamu di halte."
Dika hanya menghela nafasnya. Entah kenapa melihat Revan sedikit berantakan seperti ini membuatnya terlihat sedikit sexy menurut Dika. Dua kancing atas seragam Revan yang terbuka memperlihatkan bagaimana dada lebarnya itu. Lengan bajunya yang agak ketak memperlihatkan otot bisepnya yang menonjol. Tubuh yang indah untuk seukuran anak remaja seperti Revan.
Sadar akan Dika yang memperhatikan tubuhnya, Revan hanya tersenyum. Ditatap seperti itu sudah biasa bagi Revan, terlebih yang menatap adalah kekasihnya, itu sangat luar biasa.
"Iya aku tau ko badan aku emang bagus."
Dika pun langsung mengerejap, "A-apaan sih, PD banget."
"Mata gak bisa bohong sayang.."
Dika blushing, pipinya terasa panas dan senyuman susah untuk di tahan. Revan semakin gemas dengan Dika yang seperti itu. Jika bukan di tempat umum, mungkin Revan sudah menerkam Dika.
"Jangan keseringan blushing Dik, takut aku khilaf."
"Kamunya aja yang gak kuat iman."
"Kamu juga yang pinter banget godain aku."
"Gak ya, siapa juga yang godain kamu. Kamunya aja yang lemah, gak kuat liat aku—"
Dika menghentikan bicaranya itu, "Aku apa hm ?" tanya Revan.
"Gak. Ayo pulang." Kata Dika yang ditimpali senyum oleh Revan.
"Masih siang, kita makan dulu. Mau ?"
Dika terdiam sejenak, "Makan kemana ?"
"Udah ikut aja, ayo."
Dika pun hanya bisa pasrah. Setelah naik ke atas motor, Revan pun langsung menjalankan motornya dan melesat membawa Dika ke sebuah tempat.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Di sinilah mereka berdua. Di sebuah kafe dengan gaya vintage yang kental. Sejak pertama kali melihatnya, Dika langsung suka. Katanya melihat gaya vintage seperti itu membuat dirinya merasa nyaman karena suasananya yang hangat. Revan bersorak ria di dalam hatinya, tak sia-sia dirinya mengajak Dika makan terlebih dahulu.
Mereka sedang duduk di kursi yang berada di pojok salah satu kafe itu. Di samping mereka terdapat kaca besar yang bisa melihat langsung ramainya jalanan di luar sana. Dika tak henti-hentinya mengatakam jika kafe ini sangat cantik. Beberapa kali Dika mengambil gambar di sana, entah apa yang diambil oleh Dika, dirinya hanya tersenyum dan merasa puas. Revan yang ada di depannya hanya bisa tersenyum melihat Dika yang senang itu.
"Seneng gak ?"
"Banget. Ko aku gak tau sih ada kafe secantik ini ?"
"Makanya jangan di rumah terus, sesekali keluar Dik."
Dika terkekeh, "Ya gimana mau keluar rumah, orang mau jalannya juga sama siapa ?"
"Sama aku."
"Maksudnya tuh dulu, sebelum kita pacaran."
"Emang kamu gak ajak temen atau siapa gitu ?"
"Enggak, males aja."
Revan menggelangkan kepalanya. Semakin dekat dengan Dika, semakin tahu pula kegemasan Dika yang lainnya. Revan kira Dika itu kaku, dingin dan sombong. Ternyata hanya perlu memahami dan menyesuaikan diri dengan Dika. Sedikit agak menyesal Revan tidak dekat dari dulu dengan Dika. Tapi itu tidak menjadi masalah, yang terpenting sekarang Dika adalah pacarnya. Orang yang harus Revan bahagiakan bagaimanapun caranya.
Di saat itu juga, pesanan mereka datang. Dua wafel dan dua minuman dengan beda rasa. Dika memesan rasa stroberi dengan minuman jus lemon dan Revan memesan rasa cokelat dengan minuman kopi latte. Keduanya memiliki selera makanan yang sangat berbeda.
"Selamat makan..." Kata Dika yang di balas kekehan oleh Revan.
Dika makan dengan lahap, sedangkan Revan hanya menatap pacarnya itu. Dika lebih menarik dari pada makanan yang ada di hadapannya. Dika yang manis sedang makan makanan yang manis juga. Semoga Revan tidak diabetes.
Merasa di perhatikan terus menerus membuat Dika sedikit malu. Dirinya menghentikan makannya itu dan menyuruh Revan untuk makan.
"Makan Van.. jangan liatin aku terus. Aku gakan ilang ko."
"Manis."
Dika mulai malu lagi, "Van..."
"Kamu manis Dik."
Semakin malu saja Dika dibuatnya, "Revan.."
"Aku beruntung bisa punya pacar semanis kamu."
"Revanza cukup !"
"Kenapa ?"
"A-aku malu."
Ingin rasanya Revan menculik Dika lalu menyandera sangat lama. Tingkah Dika membuatnya panas dingin. Sekali lagi jika ini bukan tempat umum, Revan pasti sudah melumat bibir manis Dika. Revan tak kuat. Semoga Revan tidak mati hanya karena kemanisan dari seorang Dika.
"Pasti ibu ngidam yang manis-manis ya pas lagi hamil kamu ?"
"Iya, ibu ngidamnya makan gula tiap hari."
Revan tak kuat mendengarnya, akhirnya dirinya pun tergelak tawa. Dika panik saat tawa Revan yang menggelegar begitu saja.
"Revan diem !"
Tidak berhenti hingga Dika mencubit tangannya, "Aw! Ko pake cubit segala. Emang aku kue cubit apa ?"
"Ya lagian kamu sih ketawanya kerasa banget."
"Heheh maaf."
Setelah itu mereka pun makan lagi hingga semuanya habis. Mereka belum ingin bernjak dari sana, keduanya masih duduk dan menatap satu sama lain.
"Apa ?" kata Dika.
Revan menghela nafasnya sejenak seperti ada yang mau di sampaikan.
"Ada yang mau aku bicarain Dik."
Dika pun memperbaiki posisi duduknya mejadi tegak, "Apa ?"
"Soal hubungan kita."
Mendengar hal itu, Dika kembali mengingat kejadian tadi pagi. Dirinya merasa bersalah setelah berada di kelas, harusnya Dika paham maksud Revan.
"Oh itu.. kenapa ?"
Revan menghela nafasnya kembali, "Bisakan kita, aku sama kamu bakal tetap ngerahasiain hubungan kita ?"
"Aku usahain Van."
Revan tersenyum, "Aku harap begitu. Aku juga sebenarnya gak pengen hubungan kita terus disembunyiin lama-lama. Tapi mengingat hubungan kita itu tabu di lingkungan kita, aku khawatir kamu kenapa-kenapa."
"Iya, aku paham."
Revan mengmbil tangan Dika lalu digenggamnya, "Dika.."
"Iya."
"Aku gak akan janji apa pun sam kamu. Aku cuma mau ngebuktiin kalo aku emang cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu."
"Iya Van..."
"Aku yakin suatu saat hari nanti, kita gak perlu sembunyiin hubungan kita lagi. Aku bakal cari waktu yang tepat buat publish hubungan kita."
Dika menatap kedua mata tajam Revan, ada kesungguhan yang mendalam di matanya itu.
"Tapi gimana sama orang tua kita Van ?"
"Aku yang akan buat mereka paham."
Dika terdiam sejenak, "Kamu yakin ?"
"Iya, akan aku usahain."
Akhirnya Dika bisa tersenyum. Revan benar-benar mencintainya. Lelaki dua tahun lalu yang hanya sekedar kenal lewat nama saja, sekarang dirinya meyakinkan Dika bahwa dia akan tetap bersamanya. Akan membuktikan kalo memang dia benar-benar mencintai Dika.
"Semoga kamu ngerti Dik sama keadaan kita sekarang."
"Aku ngerti Van. Juga aku minta maaf soal pagi tadi, aku belum paham sama omongan kamu."
"Gapapa."
Akhirnya Revan bisa tersenyum, Dika sudah paham dengan hubungan mereka. Giliran Revan yang harus membuat pembuktian cintanya untuk Dika.
"Ya udah, ayo pulang." Kata Revan yang dianggukki oleh Dika.
—tbc.