Satu minggu berlalu hubungan Dika dan Revan. Mereka berdua semakin dekat dan intens. Tak terkecuali di sekolah, mereka hanya bisa saling tatap dari jauh ataupun jika berpapasan hanya mata yang berbicara.
Revan berusha mati-matian untuk tetap stay cool jika melihat Dika yang sedang tertawa dengan teman-temannya. Rasa gemas sangat dirasakan oleh Revan tat kala Dika bertingkah lucu.
"Tahan Van, tahan. Lo pasti bisa tahan." gumam Revan setiap kali melihat Dika yang menggemaskan baginya.
Begitu pun dengan Dika yang berusaha untuk tidak menatap Revan jika berpapasan. Dika merasa sangat ingin sekali dekat dengan Revan. Dika ingin seperti teman Revan yang bisa merangkulnya. Berbincang dengan Revan di kantin dan masih banyak lagi yang Dika inginkan dari Revan saat di sekolah. Dika selalu berhasil mencuri-curi waktu tat kala istirahat berlangsung. Yang biasanya hanya diam di kelas dan menikamti bekal atau makanan dari kantin, sekarang Dika lebih memilih diam di luar kelas, karena Dika bisa melihat langsung ke arah lapangan dimana terkadang Revan dan teman-temannya bermain sepak bola atau pun basket.
Menurut Dika, disaat seperti itulah hal-hal rawan yang membuatnya cemburu sering terjadi. Misalnya, sorak sorai dari anak-anak perempuan yang menyoraki nama pacarnya itu dengan menggebu-gebu dan diterima dengan senang hati oleh Revan, menerima minuman dari siapa pun itu, dan yang lebih membuat Dika cemburu ketika Geng Five Sister secara terang-terangan duduk dipinggir lapangan dan menghampiri Revan lalu memberinya handuk untuk mengeringkan keringatnya, dan Revan menerima itu dengan senyuman. Hati Dika terbakar. Dirinya ingin seperti itu. Tidak ada batas aturan lagi.
Bahkan yang lebih parahnya lagi, Revan pernah membuka bajunya di jam pelajaran olahraga saat dirinya sedang bermain basket. Itu menjadi bahan para kaum perempuan untuk menjerit kegirangan. Berlomba-lomba mengangkat ponselnya untuk memotret tubuh indah Revan. Namun si saat itu juga, Revan melihat Dika yang sedang menatapnya cemburu. Lantas Revan pun panik dan langsung memakai bajunya kembali.
Dari kejadian itu, Dika marah pada Revan tiga hari lamanya. Dika tidak ingin di antar-jemput oleh Revan. Dika tidak ingin bertemu dengan Revan. Bahkan Dika sengaja memblokir nomor Revan. Terdengar sangat kekanak-kanakan memang, tetapi Dika terlanjur cemburu. Dika tidak ingin apa pun yang ada di diri seorang Revanza Reza menjadi konsumsi publik. Teutama tubuh atletisnya. Dika ingin egois untuk Revan. Dika ingin Reavan hanya menjadi miliknya saja.
Di tiga hari itu juga, Revan uring-uringan untuk meminta maaf pada Dika. Mulai dari mengekori Dika kemana-mana di sekolah. Modus dengan dalih meminta bantuan pada Dika. Menyambangi rumahnya hingga larut malam namun dengan Dika yang tidak kunjung keluar membuat ibu Dika kasaihan melihat Revan. Memborbardir Dika dengan telepon dan pesan sampai ponselnya habis baterai. Semuanya sia-sia. Tidak ada hasilnya.
Hingga suatau kejadian dimana Revan tak sengaja menemukan buku pelajaran Dika yang tertinggal di kelas yang saat itu di bukunya terdapat tugas penting dengan deadline yang sangat mendesak. Akhirnya Revan menggunakan buku ini sebagai permintaan maafnya. Terdengar receh memang, tetapi itu berhasil membuat Revan dimaafkan oleh Dika. Revan sangat berterima kasih pada buku tersebut.
Sekarang mereka sedang berada di rumah Dika. Katanya mereka sedang belajar bersama, tapi pada kenyataannya hanya Dika yang belajar. Revan selalu saja menggagu Dika. Untung Dika adalah orang yang tidak mudah tergoyahkan fokusnya. Seberapa keras Revan mengganggunya, Dika akan teteap fokus dengan apa yang dirinya kerjakan. Karena acara mengganggunya tidak berhasil. Revan pun hanya tertidur di paha Dika yang sedang belajar itu.
"Belajarnya nanti lagi dong Dik... kan besok juga hari minggu."
"Iya bentar lagi ya, sedikit lagi nih."
"Dari tadi sedikit-sedikit lagi, tapi terus aja belajar."
"Sabar.."
Memang begitu Dika, jika sudah belajar akan lupa segalanya. Bahkan makan sekali pun. Jadi tak heran jika Dika terus berada di peringat satu baik di kelas, jurusan, atau pun angkatan. Tapi sebaliknya dengan Revan, lelaki itu tidak pernah berada di jajaran tiga besar. Berada di lima besar pun bagi Revan itu cukup membanggakan bagi dirinya. Lain halnya dengan Dika yang selalu berhasil di bidang akademik seperti menjuarai berbagai lomba dan olimpiade akademik, Revan selalu menjadi nomor satu di bidang non akademik. Lomba olahraga apa pun itu Revan selalu mendapatkan posisi satu atau dua. Di bidang seni musik, tepatnya band. Revan selalu berhasil membawa kemenangan jika band nya itu mengikuti lomba. Jika dilihat dari kelebihan masing-masing tersebut, mereka saling melengkapi satu sama lainnya.
Pukul sepuluh pagi akhirnya Dika sudah selesai belajar. Saat dirinya menunduk, Dika mendapati Revan sudah mendengkur halus di pahanya. Mata tajamnya tertutup dengan rapat, hembusan nafasnya sangat tenang. Dika tidak ingin menggangu pacarnya itu. Tapi tangannya sangat gatal untuk mengelus wajah tegas Revan. Dengan pelan, jari lentiknya yang indah menelusuri garis wajah Revan. Mulai dari alisnya, hidungnya, rahangnya, hingga terakhir bibir penuh Revan yang terkatup rapat. Bibir itu yang behasil mencuri ciuman pertama Dika waktu itu. Memang hanya sekilas, tapi rasanya Dika candu dengan bibir itu.
Dengan perlahan, Dika mendekatkan wajahya pada wajah Revan yang sedang tertidur. Sedikit demi sedikit bibirnya dangan bibir Revan akan segera bertemu. Namun, didetik berikutnya mata Revan terbuka hingga membuat gerakan Dika terhenti.
"Mau apa sayang ?"
Lantas Dika pun langsung menjauhkan wajahnya dari Revan. Pipinya memanas dan malu secara bersamaan. Revan berhasil memergokinya untuk melakukan hal yang tidak-tidak.
"Aku gak nyangka kalo seorang Dikara Chandra punya sisi binal."
"A-apaan sih, orang tadi cuma-"
"Cuma pengen cium ?"
Dika terdiam kaku, "Enggak, siapa juga yang mau cium. PD banget."
Revan hanya terkekeh. Dengan gerakan yang kilat, Revan meraih tengkuk leher Dika lalu menariknya hingga bibir mereka beradu. Tak menunggu lama, Revan melumat bibir itu dengan tennag. Tidak ada nafsu dalam ciuman itu. Dika yang menerima ciuman itu terkejut. Mata mereka berdua saling tatap, namun lama-lama mata mereka tertutup. Menikmati ciuman mereka untuk kedua kalinya.
Revan tidak beraksi hanya sampai di sana. Dirinya bangkit dengan tak melepaskan ciuman itu dari bibir ranum Dika. Revan mengakat tubuh Dika ke sofa lalu menindihnya. Dengan spontan tangan Dika mengalung di leher Revan, sesekali meremas rambut Revan karena pasokan uadara yang semakin menipis.
Setelah beberapa menit kemudain, Revan pun melepaskan ciuman itu. Menatap Dika dan menciumnya lagi. Itu dilakukan dengan terulang-ulang hingga berhenti ketika suara ibu Dika memanggil anaknya itu.
"Didik.. bantu ibu bawaain belanjaan nih !" suara ibu dari lantai bawah.
Revan masih menindih Dika dan saling bertatapan dengannya.
"Apa ?" kata Dika.
"Mau lagi." kata Revan.
"Udah, ibu manggil aku."
Dika mendorong Revan dan kemudian berjalan keluar kamar. Namun sialnya, Revan menariknya lagi dan menciumnya dengan cepat.
"Manis." Kata Revan.
Dika hanya menatapnya, kemudain keluar dan turun dari kamarnya dan meninggalkan Revan yang sedang tersenyum tidak jelas itu. Dika sempat mengusap bibirnya yang basah, takut-takut ibu menyadari jika bibirnya itu sudah diraup oleh Revan. Sesampainya di lantai bawah, Dika melihat ibunya yang sibuk memasukkan barang belanjaan dari luar rumah.
"Didik cepetan bantuin ibu masukin barang belanjaan."
"Iya bu."
Dika berjalan ke luar, betapa terkejutnya saat barang belanjaan ibu sangat banyak, "Ibu ko banyak banget belanjaannya, emang mau ada apa ?"
"Lho ? Kamu lupa ? Kan kakak kamu mau ada acara minggu depan." kata ibu sembari menghampiri Dika.
"Acara apa bu ?" suara Revan tiba-tiba terdengar dari belakang dan membuat Dika dan ibu menoleh.
"Eh ada Revan, udah lama di rumah ?"
"Dari ibu pergi ke pasar."
"Oh.. pantesan ibu gak liat kamu. Bisa bantu bawain ini gak nak ? Takut Dika kecapean kalo sendirian yang bawa."
"Ibu..." protes Dika.
"Udah gapapa, biar aku bantu."
Ibu pun tersenyum dan kembali masuk ke rumah. Revan dan Dika pun membawa barang belanjaan itu masuk.
"Mau ada acara apa sih Dik ?"
"Gak tau aku juga atau akunya yang lupa."
"Masa acara keluarga gak tau ?"
"Ya emang aku gak tau Van. Aku aja baru tau ibu ke pasar pas aku baru bangun tidur."
Mereka pun sampai di dapur dam meletakkan belanjaan itu.
"Ini taro di mana bu ?" Kata Revan yang membawa tumpukan telur.
"Simpan aja di meja." Kata ibu.
Revan pun menyimpan telur itu di tas meja.
"Ada acara apa bu.. ko aku gak tau." Kata Dika.
"Kamu lupa ya, kan seminggu lagi kakak kamu mau tunangan."
"Hah ? Tunangan ?"
"Tuh kan kamu lupa. Makanya jangan belajar gila-gilaan Didik." kata ibunya sembari berlalu mengambil barang belanjaan lagi yang masih tersisa di luar.
Dika dan Revan hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh ibu.
"Tuh kata ibu kamu juga, jangan belajar gila-gilaan. Nanti kalo gila beneran, terus kamu stres, aku jomblo lagi dong ? Gak mau ya."
"Apaan sih Van, gak jelas." Sembari meninggalkan Revan di dapur.
"Emang ya kalo saling melengkapi namanya jodoh, gue bucin tapi tuh anak tsundere banget."
—tbc.