Seorang perempuan tengah duduk sendirian di taman. Menoleh dengan gusar saat orang yang ditunggunya belum juga muncul. Berkali-kali melihat jam tangan putih yang bertengger di tangannya, waktu terus berlalu dan hari beranjak sore.
Dengan kesal, perempuan itu beranjak, menghentakkan kakinya kesal dan berniat pergi sebelum sebuah seruan yang dikenalnya menyapa gendang telinganya.
"De, sorry! Nunggu lama, ya?" Seorang pemuda tampan datang dengan bunga ditangannya, menghentikan langkah sang perempuan.
"Kemana aja, sih? Capek tau nggak nungguin kamu!" ucap perempuan itu dengan kesal. Dua jam menunggu bukanlah waktu yang sebentar.
Pemuda itu membimbing sang perempuan untuk duduk lalu menyodorkan buket bunga mawar itu. "Buat kamu!" katanya kemudian.
Meski kesal, sang perempuan tetap menerima bunga itu dengan senang hati.
"Sebenarnya kamu kemana aja, sih? Dua jam aku di sini nungguin kamu."
Pemuda itu meringis. "Aku di suruh ikut rapat perusahaan, makanya telat nemuin kamu, sorry, ya!"
Perempuan itu menghembuskan napasnya lelah. Ia tak pernah bisa marah terlalu lama.
"Yaudah, sekarang kita mau kemana?"
"Makan, yuk! Laper," sahut pemuda itu yang langsung diangguki oleh sang perempuan. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk ke restoran terdekat.
****
Ify mengerjakan matanya saat suara adzan terdengar. Tangannya meraih gawai yang terletak dibawah bantal dan melihat jamnya. Pukul tujuh belas lewat tiga puluh menit. Sudah masuk waktu Maghrib.
"Hah, sebenarnya hari ini hari apa, sih? Kok aneh banget?" gumam Ify kepada dirinya sendiri.
Tangannya menyingkirkan selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah menggulung rambutnya yang berantakan, Ify berniat untuk mandi.
"Ternyata kamu hobi tidur, ya?"
"Kyaaaaaaaa!!!" Ify langsung memekik saat mendapati sesosok pemuda yang selalu mengikutinya kini tengah duduk santai di kursi belajarnya.
"Keluar! Siapa yang ngijinin kamu masuk kesini?" murka Ify. Ia tak habis pikir kenapa pemuda ini selalu mengikutinya, atau jangan-jangan akan mengikutinya kalau ke kamar mandi. Ify bergidik ngeri membayangkan hal itu.
"Kamu harus membantuku," ucap pemuda itu tak peduli pada Ify yang sudah hampir meledak.
"Aku sudah bilang tidak mau, jangan menggangguku lagi."
"Aku akan terus mengikutimu kalau begitu."
"Jangan konyol! Aku tidak mau diikuti olehmu." sergah Ify dengan cepat.
"Tapi aku mau," balas pemuda itu dengan santai.
"Aku bilang pergi! Aku tidak mengenalmu!" teriak Ify, nafasnya sudah terengah-engah menahan emosi dan kekesalannya.
"Kalau begitu perkenalkan, aku Rio dan aku tahu namamu Ify dari panggilan temanmu, jadi mulai sekarang kita sudah kenal dan kamu harus membantuku," ucap pemuda yang bernama Rio itu tak menyerah.
"Aku tidak peduli namamu Rio, Ria atau bahkan Waria, aku tidak mau membantumu."
"Kamu harus membantuku."
"Tidak mau!"
"Harus."
"Tidak mau!"
"Pokoknya ...."
"TIDAK MAU!! PERGIII!!"
BRAKK!!
"Ify, ada apa kamu teriak-teriak, ini waktu Maghrib." Gina datang dan mengomel.
Ify menoleh dan merenggut kesal.
"Lagipula kamu ngomong sama siapa? Gila apa kesurupan?" sambung Gina yang langsung membuat Ify tambah cemberut. Teganya mengatakan anak sendiri gila.
"Mama, ih! Tega banget ngomong anak sendiri gila," protes Ify.
"Ya lagian waktu Maghrib gini kamu malah teriak-teriak sendiri. Maghrib itu waktunya makhluk halus keluar. Ya, Mama takutnya kamu kesurupan," sahut Gina tanpa berdosa.
Bukannya surut, tingkah kekesalan Ify semakin bertambah apalagi melihat Rio yang tertawa geli.
"Jangan tertawa! Atau aku sumpahin gigimu ompong semua!" bentak Ify yang sebenarnya tertuju pada Rio, tapi karena Gina tidak melihat dan yang di situ hanya ada dirinya, tentu saja ia mengira ucapan Ify tertuju padanya.
"Apa kamu bilang? Mau jadi anak durhaka nyumpahin orang tua?" Gina melangkah ke arah Ify dan langsung menjewer telinganya.
"Aduh! Ify nggak nyumpahin Mama, serius!" ucap Ify sambil meringis. Telinganya benar-benar panas dan sakit.
"Sudah, sekarang cepat mandi dan sholat Maghrib, kamu itu jadi perempuan jangan terlalu malas, nanti tidak dapat jodoh baru tahu rasa," ucap Gina lalu keluar dari kamar Ify.
Sepeninggal Gina, Ify menghentakkan kakinya kesal, melangkah ke arah Rio dan berniat untuk memukul tapi berakhir memukul meja hingga tangannya memerah. Tubuh Rio tembus tak dapat ia sentuh.
Rio terkekeh hingga terlihat gigi gingsulnya.
Manis. Pikir Ify.
Sekejap kemudian, Ify menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran nakal yang tiba-tiba hinggap.
"Sebenarnya kamu itu siapa, sih? Kenapa mengikutiku terus?" bentak Ify sebal.
"Aku sudah bilang namaku Rio," balas Rio santai.
"Aku tidak peduli namamu tapi aku tanya siapa kamu, darimana asalnya dan kenapa kamu bisa sampai di sini? Sebenarnya kamu ini makhluk apa? Kenapa kamu tembus tapi tubuhmu seolah nyata?" tanya Ify dengan sekali nafas.
Rio terdiam takjub begitu pula Ify sendiri. Ia tidak pernah berpikir bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Saikoji.
"Ternyata kamu bisa nge-rap juga, ya?" tanya Rio.
"Itu nggak penting, dan jawab dulu pertanyaanku," sahut Ify tak ingin pembicaraan dialihkan.
"Well, sepertinya kamu bukan orang yang sabar, tapi kamu harus berjanji ...."
Rio menggantungkan ucapannya membuat Ify diam menunggu.
"Kamu harus membantuku karena hanya kamu yang bisa melihatku," lanjut Rio.
"Membantumu apa? Dan kenapa harus aku?"
"Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan, dan itu tidak bisa kalau aku sendiri, aku butuh bantuanmu untuk mengungkap kematianku," jelas Rio.
Mata Ify membola lalu mundur selangkah. "Jadi kamu setan? Kenapa tidak terbakar saat adzan tadi?"
"Aku bukan setan, aku hanya arwah yang belum bisa kembali ke tempatku karena beberapa hal, dan kamu harus membantuku atau aku akan terus mengikutimu." Rio sedikit mengancam.
"Berarti kamu bisa melayang? Menghilang dan muncul tiba-tiba?"
Rio terkekeh. "Sebaiknya kamu mengurangi menonton film horor."
Ify termangu. Otaknya bekerja keras mencerna penjelasan Rio. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Aku simpulkan pertanyaanmu sebagai persetujuan untuk membantuku, ...."
"Tunggu! Aku bahkan belum mengatakan setuju," protes Ify. Mungkin semasa hidup pemuda ini adalah sosok yang diktator dan pemaksa.
"Dari perkataanmu, itu sudah menyatakan persetujuannmu. Jadi langkah pertama, tolong datang ke rumahku mungkin di sana ada petunjuk," ucap Rio.
"Memangnya tidak ada polisi yang mengurus kasusmu? Kenapa harus aku?" sahut Ify dengan enggan.
"Polisi sudah menutup kasusku dan itu yang membuatku harus kembali, ada yang tidak beres di sini."
Ify menghembuskan nafasnya lelah. Melangkah menuju kasur dan menghempaskan bokongnya. Berdiri lama cukup membuatnya pegal.
"Sepertinya aku memang tidak punya pilihan lain," sahut Ify pasrah yang disambut dengan senyum kemenangan dari Rio.
****
"Dasar anak tidak tahu diri, apa yang kamu lakukan seharian, hah?" Bentakan itu membuat seorang gadis tertunduk ketakutan.
"Ma--maaf, Yah. Agni ketiduran," sahutnya yang langsung mendapat hadiah sebuah tamparan di pipi kirinya.
"Kamu itu menyusahkan seperti Ibumu, seharusnya kamu tidak lahir kalau saja Ibumu yang jalang itu tidak mempertahankanmu."
Agni menatap ayahnya dengan pandangan terluka. Sebegitu tidak berartinyakah hidupnya? Ia juga tidak menginginkan untuk lahir di dunia jika saja ia tahu hidupnya akan berakhir seperti ini. Tidak pernah ada anak yang menginginkan lahir hanya untuk disakiti.
"Maafin Agni, Yah."
Pria paruh baya yang dipanggil Ayah oleh Agni itu melengos tak peduli, menendang Agni yang tengah berlutut lalu pergi meninggalkan rumah.
Agni tersedu, satu-satunya keluarga yang ia miliki tak lagi menginginkannya. Satu hal yang membuat Agni bertahan hanya satu, ucapan dari Ibunya.
"Dengar, Nak! Allah tidak akan menguji hambanya diluar kemampuannya, dan Agni harus yakin, kalau Agni disakiti, pasti Agni akan bahagia akhirnya nanti. Bersabarlah, karena seorang pemeran utama akan bahagia di akhir cerita, jadi Agni harus tetap menjadi anak yang kuat demi Ibu."
Nasehat itulah yang selama ini menguatkan Agni, menggagalkan setiap niat bunuh diri yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula ia masih punya Ify, satu-satunya sahabat yang tidak pernah meninggalkannya, hanya saja untuk urusan keluarga Agni belum siap untuk berbagi. Bukannya tidak percaya, Agni hanya takut ditinggalkan oleh Ify jika Ify tahu bagaimana keadaan keluarganya yang sebenarnya. Selama ini yang Ify tahu, Agni telah kehilangan sang Ibu sejak duduk di bangku SMP, dan ia akan memberikan seribu satu alasan jika Ify berniat datang ke rumahnya.
Dengan sedikit tertatih, Agni masuk ke kamar, melihat pantulan dirinya yang begitu menyedihkan di cermin. Ada ruam kebiruan di sudut bibirnya, terasa nyeri dan perih.
"Ibu, sampai kapan Agni harus bersabar?" bisiknya pedih.
Entah sejak kapan Agni menerima kekerasan fisik, ia sudah tidak ingat lagi. Jika dulu ada sang Ibu yang menjadi tamengnya sehingga ia tidak terlalu terluka, kini ia harus menanggung luka ini sendirian. Sang Ibu sudah berpulang karena sakit kanker yang ia derita dan Ayahnya yang tak pernah peduli. Agni telah kehilangan malaikatnya, tapi Agni juga bahagia setidaknya Ibunya tidak akan lagi merasakan sakit. Agni yakin, Ibunya akan bahagia, Ibunya adalah malaikat tanpa sayap yang selalu melindunginya.
****
See u next chapter 👋👋
Thanks
_Dee
Sidoarjo, 07 Maret 2020