Ini sangat indah.
Hamparan bunga yang bermekaran serta udara yang berhembus pelan membuat siapapun akan terlena.
Belum lagi beberapa kupu-kupu yang terbang dan hinggap di kelopak bunga untuk membantu penyerbukan semakin membuat suasana menjadi indah.
Tak henti Ify memejamkan matanya dan menghirup udara dengan rakus. Paru-parunya terasa segar dan pikirannya terasa ringan.
Ia terasa terlahir kembali.
"Fy!"
Suara bariton yang menyapanya membuat Ify membuka mata kaget.
Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda yang selama ini menemuinya sebagai sosok yang tak biasa tengah berdiri di hadapannya.
Ia sangat tampan.
Dengan stelan serba putih dan wajah yang terlihat sangat cerah. Lebih cerah daripada yang terakhir Ify lihat di kantin.
"Rio," bisik Ify pelan.
Perlahan ia sadar, ia tak tahu dimana ia berada dan bagaimana ia bisa bersama dengan Rio disini. Belum lagi ia yang menggunakan dress putih tanpa alas kaki.
Saat dilanda kebingungan, Rio mendekat dan mendekap Ify, mengukung tubuh mungil itu dalam pelukannya yang terasa hangat.
"Terimakasih," bisik Rio yang membuat Ify semakin bingung.
Dengan sedikit gemetar, Ify mengangkat tangannya untuk membalas pelukan Rio.
Selama beberapa saat, mereka hanyut dalam perasaan masing-masing. Mencoba mengabadikan hangatnya pelukan yang mereka rasakan. Ify mulai merasa aneh, seolah ada hal janggal di sini.
"Yo!" Ify melepaskan pelukannya dan menatap Rio yang kini tengah menatapnya dengan begitu dalam.
"Ada apa? Ini di mana?" tanya Ify beruntun.
Rio tersenyum, menampilkan gigi gingsulnya yang selalu membuat Ify terpana.
"Ini tempatku, dan tak seharusnya kamu ada di sini."
Ify memandang Rio tak mengerti. Entahlah, ia merasa otaknya begitu lemot untuk mencerna semua yang terjadi.
"Terimakasih sudah bersedia membantuku, mengungkap siapa orang yang memebunuhku. Dan maaf, untuk rasa yang tak seharusnya."
"Yo--"
"Biarkan aku berbicara terlebih dahulu, Fy!" Rio memotong ucapan Ify.
"Aku tak tahu sejak kapan rasa ini ada, bahkan aku sempat menyangsikan karena ya kamu tahu sendiri kalau aku bukan lagi manusia. Aku hanyalah arwah yang belum tenang karena urusan di dunia yang belum selesai. Dan aku minta maaf untuk itu. Kembalilah, ada seseorang yang menunggumu. Dia yang akan menjagamu nantinya." Rio tersenyum dengan tulus.
Tanpa sadar, Ify meneteskan air matanya. Meskipun ia tak memahami perasannya kepada Rio, tapi ia sudah biasa dengan kehadiran pemuda ini. Rasanya, hari-hari yang ia lewati akan berbeda jika pemuda ini tak lagi ada.
"Kenapa? Siapa" tanya Ify dengan serak.
Rio hanya menggeleng. "Kau akan tahu saat membuka matamu nantinya."
"Jadi, aku hanya mimpi?" tanya Ify setengah tak percaya karena ia merasakan ini begitu nyata.
Bukannya menjawab, Rio lagi-lagi tersenyum.
"Boleh minta tolong satu lagi?" tanya Rio penuh harap.
Ify hanya menganggukkan kepalanya.
"Pergilah ke rumahku, buka laci kedua di meja belajarku. Ada kado untuk ulang tahun kedua orangtuaku. Tanggal lima belas bulan ini mereka anniversary pernikahan, yah meskipun mungkin mereka tak akan tahu dan tak akan peduli satu sama lain." Rio berucap sambil tersenyum pahit.
Ify kembali mengangguk meski air mata tetap mengalir. Ia tak tahu apa yang ia rasakan, hanya sesak yang terasa menghimpit dada hingga air mata tumpah tanpa terasa.
"Kembalilah, mereka khawatir padamu." Rio berbalik setelah memeluk Ify sejenak.
Pelukan terakhir untuk orang yang telah mencuri hatinya.
"Kamu mau kemana?" suara Ify semakin serak.
"Kembalilah dan selamat tinggal!" sahut Rio dan perlahan bayangannya memudar dan menyisakan seberkas cahaya yang membuat Ify silau hingga menutup matanya. Lalu seolah ia tersedot ke suatu tempat berbeda hingga saat ia membuka mata yang ia lihat pertama kali adalah atap berwarna putih.
****
Sudah satu minggu dan matanya masih setia terpejam. Gabriel masih setia menunggu Ify hingga gadis itu membuka matanya. Ia bergantian dengan keluarga Ify untuk menunggu gadis itu. Seperti saat ini, ia hanya duduk diam sambil memandangi wajah Ify yang terlelap damai.
Berbeda dengan Gabriel yang saat ini kacau, entah sudah setebal apa kantong matanya sekarang karena ia kesulitan untuk tidur. Bayang-bayang saat melihat pisau itu menembus perut Ify adalah hal terburuk yang ia lihat. Hingga darah merembes keluar dan Ify ambruk begitu saja. Riko dan Della berniat untuk kabur tapi tiba-tiba sudah ada polisi yang datang dan meringkus mereka berdua. Kini proses hukum dijalankan dan mereka terkena pasal berlapis.
Berbekal rekaman milik Ify, Riko pun tak bisa mengelak lagi. Orang tua Riko mengamuk, karena ini juga berimbas ke bisnisnya.
Para investor asing berbondong-bondong menarik saham mereka setelah mendengar kabar Riko tertangkap dengan tuduhan pembunuhan. Pelan tapi pasti, usaha keluarga Riko dan Della mengalami pailit.
Orang tua Riko juga sempat mendatangi Gabriel dan keluarganya untuk meminta pertolongan, tapi tak digubris.
Dulu, mereka juga pernah berada di bawah, meminta pertolongan kepada keluarga Riko tapi yang didapat hanya cacian dan hinaan.
Biarlah.
Semua ada masa dan balasannya.
Gabriel percaya dengan peribahasa 'Apa yang kau tanam itu yang kau tuai'.
Makanya sebisa mungkin, Gabriel menekan tingkah kenakalannya hanya sebatas wajar nakalnya remaja.
"Argh!"
Gabriel tersentak mendengar erangan Ify. Secepat kilat ia mendekat ke ranjang dan melihat Ify yang tengah meringis dengan mata yang masih menutup. Tak ia pungkiri, letupan kebahagiaan membuncah di dadanya. Dengan cepat, ia memencet tombol darurat untuk memanggil dokter. Tak berapa lama, dokter dan suster datang lalu memeriksa keadaan Ify sementara Gabriel menunggu di luar dengan harap-harap cemas.
Lima belas menit berlalu dan pintu ruangan dibuka oleh dokter.
"Bagaimana, Dok?" tanya Gabriel tak sabaran.
"Kondisinya mulai ada peningkatan. Mungkin sebentar lagi pasien bisa sadar."
Gabriel menghembuskan napas lega lalu mengangguk saat dokter itu pamit undur diri.
Dengan perasaan yang lebih ringan, Gabriel masuk ke ruangan dan menghampiri ranjang Ify. Gadis itu masih setia terpejam dalam mimpi.
"Duh, gue lupa!"
Pemuda itu menepuk keningnya karena lupa mengabari orangtua Ify perihal kondisinya yang mulai membaik.
Gabriel memilih untuk sedikit menjauh lalu menghubungi orangtua Ify dan menutup telephone setelah orangtua Ify berkata akan datang sebentar lagi.
"Hey putri tidur, nggak bosen apa tidur mulu? Ntar badan kamu kaya triplek beneran loh!" Gabriel terkekeh dengan ucapannya sendiri. Andai Ify sadar, pasti ia akan terkena geplakan atau paling ringan omelan.
"Badan kamu makin kurus, mirip banget sama triplek, tambah pucet kaya tembok, tambah ceking kaya lidi ...." Gabriel terus bermonolog sambil menopang dagunya tanpa menatap ke arah Ify. Pandangannya lurus ke arah pintu karena menunggu orangtua Ify yang berjanji akan datang.
"Coba deh, kalau kutiup dikit pasti ter-adaw!"
Gabriel meringis saat kepalanya terkena geplakan, memang tak terlaku keras, malah terlalu lemah, tapi karena ia tengah bermonolog sendirian sambil memandang pintu, tentu saja ia terkejut. Apalagi saat mengingat ia hanya di ruangan ini sendirian bersama Ify yang masih belum sadar.
Eh, Ify!
Gabriel menoleh dan mendapati Ify tengah melotot padanya.
"Eh, Ify udah sadar?" tanya Gabriel dengan cengiran lebarnya.
Plak!
"Aduh mak, kena lagi!"
****
_Dee
Sidoarjo, 15 Maret 2020