webnovel

2

***

"Hikaru! apa kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan luar biasa!" tanya sebuah suara menggelegar disana, dan sosok anak kecil yang terdiam disana.

Srek!

melemparkan berbagai kertas ulangan seperti sebuah sampah di wajahnya.

"A--aku sudah berusaha Bu.." rintih anak kecil yang masih berusia SD itu.

"Arggh! ini tidak cukup, tidakkah kau lihat nilai-nilai kakakmu?!" seru ibunya menunjuk seseorang yang lebih besar darinya, dengan wajah yang tampan, namun jika bisa dilihat lebih jelas, wajah itu terlihat jauh lebih memucat.

dia bahkan tidak tersenyum.

dengan sebuah kebohongan yang selalu dilampirkan dalam dirinya.

"Cih bagaimana ini! keluarga kita! akan malu jika Hikaru seperti ini!" seru ibunya menjambak rambutnya dengan frustasi.

Tak!

Hikaru gemetaran ditempat, saat sebuah suara familiar bergerak ke arah nya dengan tempo perlahan.

Suara tongkat yang bergesekan dilantai.

"Sayang!" seru suara ibu gembira.

Namun, Hikaru ketakutan. menunduk, merasakan nafasnya seakan tercekat.

"Biar aku yang mengurusinya, kau pergi saja, Sayang.." seru suara berat itu.

"Baik!" seru ibunya gembira dan suara langkah kaki yang perlahan menjauh.

'Jangan pergi..'

Hikaru merasakan kakinya mendadak kehilangan pergerakkannya.

'Jangan...ayah..'

Lebih baik ibu memarahinya, lebih baik ibu yang menghinanya. Lebih baik ibu yang menghukumnya....dengan keras.

Daripada ayah yang memarahinya dan akan membuat Hikaru merasakan nightmare yang membuatnya seperti terperangkap dalam penjara sesak.

'Jangan tinggalkan dia bersamanya..'

suara langkah kaki yang lambat laun menghilang, ibunya sudah pergi. dan langkah kaki pelan mendekatinya, dan membuat Hikaru sangatlah ketakutan.

hingga tidak mampu bergerak.

Hikaru semakin ketakutan, mundur namun sebuah tongkat diarahkannya tepat di depan kakinya. seakan berniat untuk memutuskan kaki kecil Hikaru.

"Kenapa kau seperti ini lagi, Hikaru?" tanya ayahnya dengan suara berat.

"A..aku tidak bi-"

Tak!

kali ini tongkat itu berada tepat di samping kakinya, membuat Hikaru berdiri ditempatnya tanpa bergerak.

"Apa maksudmu Hikaru?" tanya ayahnya dengan nada yang terlalu menekan.

hingga sebuah suara menghentikannya.

Suara yang sangat disukainya.

"Ayah, hentikan. Hikaru masih kecil-"

Buk!

dan Hikaru merasakan suara ringisan kesakitan kakaknya, dan gantian suara memukuli hingga Hikaru bisa melihat tubuh kakaknya yang terjatuh, dan meringkuk menutupi wajahnya dengan tongkat yang terus memukulinya tanpa henti, hingga kakaknya tidak bergerak.

"Kakak.." gumam Hikaru tanpa bersuara, tongkat itu diarahkan padanya.

Hikaru menunduk lagi, tidak berani.

"Jika kau tidak mau berakhir seperti kakakmu yang pemberontak, maka kau harus menjadi yang terbaik!" seru ayahnya dengan nada memerintah, waktu yang terasa berhenti dan genangan darah merah perlahan mengenang, dan mengalir membentuk aliran sungai yang terasa menakutkan.

"Iya.." Hikaru menjawab tanpa pikir panjang, tidak ingin menjadi seperti kakaknya. tidak ingin menderita.

tidak ingin menjadi sasaran tongkat itu.

***

Hikaru pulang, memandangi kertas ulangan dengan wajah pucat pasi.

masuk ke rumah dengan gugup, dan segera menuju ke kamar kakaknya.

kakaknya yang terlihat sangat tampan. dan mungkin terlihat sedang lelah.

tanpa Hikaru ketahui alasannya.

"Ada apa Hikaru?" tanya kakaknya dengan senyuman hangat membuat Hikaru merasakan sedikit kehangatan di rumahnya yang selalu sangat dingin.

Hikaru meremas kertasnya, wajahnya sangat memucat dan sangatlah gugup.

kakaknya menahan tawa.

"kau mendapat nilai buruk lagi?" tanya Kakaknya dengan ramah. Hikaru hanya mengangguk pelan, Hikaru kecil yang lucu membuat beban kakaknya yang semakin berat, terasa sedikit terangkat melihatnya. kakaknya mengusap lembut rambut Hikaru, dan tersenyum lebar.

"Sini..biar kakak yang kasih tau.., kau akan baik baik saja..ya..kau harus baik baik saja..," seru kakaknya dengan nada yang terdengar sedikit menyedihkan.

Hikaru mengerjapkan matanya.

dan memberikan kertasnya, seharusnya Hikaru tau. Hikaru tidak memberikannya dan Hikaru seharusnya tau, bahwa kakaknya tidak perlu semakin menderita dan masalahnya semakin memberat.

Hikaru bisa mendengarkan suara pukulan tanpa henti di ruangan ayah nya, Hikaru ketakutan karena Hikaru mengetahui alasan dari suara itu.

tidak ada teriakan. hanya pukulan.

hingga pintu terbuka, menampilkan sosok kakak yang terlihat menyedihkan, bajunya yang robek dan bau amis darah.

Kakak hanya tersenyum.

menepuk puncak kepala Hikaru yang mendekatinya dengan khawatir.

"Tidak apa Hikaru.., kakak tidak apa"

Kata yang selalu sama.

berkali-kali.

wajah kakak yang semakin pucat.

hingga kakak yang perlahan mulai terlihat berubah, kakak keluar dari ruangan. bukan masalah Hikaru, Hikaru tidak mengetahui apapun.

itu adalah masalah kakaknya.

masalah penghargaannya. kakaknya hanya melihat Hikaru sekilas dengan pandangan mata yang semakin kosong.

dan perlahan beranjak pergi.

Hikaru melangkahkan kakinya mengikuti kakak. hanya kakak yang selama ini selalu dekat dengannya, Hikaru terdiam di celah pintu kamar kakaknya.

melihat kakak yang menatap kosong ke hamparan penghargaan yang ada.

foto kakak yang tersenyum bahagia dengan penghargaan di tangannya.

kakak menjatuhkannya dan pecah, tepat di wajah kakak yang tersenyum.

"Sialan! Sialan!" umpat kakaknya, dan Hikaru menjauh dari sana. menutup mulutnya dan perlahan menangis, dan melarikan diri dari sana. mencari sebuah tempat persembunyian, di sana. di halaman rumahnya yang begitu luas. tempat yang menjadi bagian dari kesendiriannya, tempat Hikaru terdiam.

Hikaru duduk disana, di pojokan.

dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya tanpa bersuara.

***