webnovel
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Adolescente
Classificações insuficientes
268 Chs
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

Ujian Akhir Solidaritas

Tak ada hal lain yang dilakukan Dhaiva begitu mendapatkan kesempatan menemui Nalesha selain memeluk kekasihnya itu. Sementara Adri, Haikal, Iqbaal, Kama, dan Klarisa paham, menunggu diluar guna memberi ruang untuk mereka berdua. Terus seperti itu Dhaiva memeluk erat Nalesha, tanpa balasan pelukan hangat seperti biasa dari Nalesha. Tidak, bukan karena tangan Nalesha yang terborgol atau apa, Nalesha hanya tak bereaksi, meski mendengar penuh Dhaiva yang kembali menangis di bahunya.

Dhaiva melepas pelukannya kemudian, "Gimana ceritanya bisa begini, Lesha?" tanyanya, menggiring Nalesha duduk di bangku terdekat ruang kunjungan tahanan itu.

Nalesha, pandangannya kosong menatap lantai yang agak kusam. Matanya cekung tak ada semangat, pakaiannya yang belum diganti sejak kemarin itu lusuh, benar-benar menyedihkan di mata Dhaiva.

"Lesh ..."

Nalesha menggeleng pelan, meski matanya masih tak berani menatap Dhaiva, "Mungkin ... memang sepantasnya begini. Aku memang salah," ujarnya lirih.