webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Adolescente
Classificações insuficientes
268 Chs

Strict vs Free-range

Dhaiva, Leon, dan Marisa tengah berada di kamar Noer. Mereka memilih satu drama untuk ditonton dan memakan cemilan dari lumbung pangan Noer. Random saja kegiatan mereka itu, sembari menunggu Adri dan Haikal yang belum juga datang. Katanya sih macet dari Baranangsiang ke Sentul.

"Ngomong ngomong tadi pagi udah mulai seru ya?" Leon si biang gosip menjalankan aksinya.

"Seru gimana Yon? Tegang yang ada. Jerry gitu gitu kalau udah ngoceh pusing juga Gue dengernya," bantah Noer.

Marisa mengangguk ngangguk, "Setuju. Apalagi kalau ngocehnya sambil ngeluarin dan nunjukin kejeniusan dia. Double kill, mending cabut Gue," ujarnya.

"Tapi guys, Gue suka sih sama sisi pinter dan humorisnya Prof Jerry. Cuma tuh orang gampang banget julidnya kalo Kita ngelakuin sesuatu yang gak selaras sama yang apa dia pikirin. Ya gak?"

"Iya. Tadi pagi contohnya. Sialnya itu salah Gue sih pake nyebut primbon pas Manty Jerry lagi satu meja," sesal Noer si pemantik diskusi tadi pagi.

"Tapi ... sisi subjektif Gue emang bilang kalo primbon Manty tuh gak makes sense sih," ujar Marisa.

"Yeah Mar. Kita emang boleh gak suka. Tapi caranya bukan kayak si Jerry yang langsung terang terangan di depan orangnya. Namanya gak respect tuh." Dhaiva memberikan pendapatnya.

Noer menggeleng, "Emang susah sih. Gue akui kadang Gue kesel kalau Jerry udah show off berlebihan. Tapi ya ... gak mungkin sih kalau nambah nambah perkara. Jadi biarin aja semaunya dia, semerdekanya dia berpendapat," ujarnya.

"Bener Pak Noer. Biar Bang Iqbaal atau Presiden Nalesha aja yang turun tangan tadi."

"Eh! Serius ya ..." Leon mendudukkan dirinya antusias, "Nalesha serem banget! Asli ngeri Gue. Baru tau gitu cara dia mutus konflik!"

Dhaiva mengangguk, "Hm. Serem. Tapi gak ada solusinya selain dia dapet ayam dari Ukhti Saheera. Tegas tapi gak solutif tuh percuma Yon," ujarnya terdengar sarkas.

"Sensi Lo?" Marisa lebih dulu peka rupanya.

Dhaiva menghela nafas panjang, ekspresinya ubah serius, matanya fokus pada layar monitor yang menampilkan film, "Gak juga. Kritis aja. Gue hafal cara kerjanya Nalesha, dan ... Gue sejujurnya agak gak setuju kalau dia Presiden Kita setahun ke depan."

****

Kepulan asap dan bau harum daging bakar menyeruak di halaman belakang asrama. Rayyan, Lim, dan Ndaru tengah asik membakar sosis, daging, dan seperangkat makanan khas barbeque di atas griller. Sisanya bertugas menata makanan yang sudah matang di meja, mengobrol sembari minum, dan bermain games. Games biasa, bukan digital, karena aturan disana adalah tidak boleh membawa ponsel ketika sedang acara berkumpul seperti ini. Mereka menurut, dan memang tujuannya agar selalu ada kehangatan, bukan sibuk masing masing.

"Jadi Kamu kapan naik lagi Lesh? Ajak ajak lah Ayah sesekali. Si Bunda juga katanya mau nyoba hiking gitu," ujar Haikal kemudian menyesap kembali kopi hangatnya. Dirinya tengah mengobrol dengan Nalesha dan Abidin soal kegiatan outdoor. Kebetulan hobi ketiganya sama. Nalesha terutama, Ia bahkan menjadi ketua ekstrakurikuler pecinta alam di SMAN 1 Bogor.

"Ayo lah Yah. Terdekat sih ke Lawu bulan depan. Next nya lagi Jaya Wijaya."

"Jago juga Lesh ke Jaya Wijaya. Berapa biayanya? Gak sanggup kayaknya Gue bayar," ujar Abidin.

"Gak tau sih, Saya selalu gratis kalau muncak. Ada aja yang bayarin."

Haikal tersenyum bangga mendengar kesederhanaan Nalesha, "Kamu mau Din? Sama Ayah sini dibayarin asal jangan macet tengah jalan aja."

"Ih? Gak ah Yah, gak jamin kuat, terus pasti mahal juga," tolaknya.

Haikal dan Nalesha terkekeh, "Emang berat sih medannya. Dingin juga kan."

"Kayaknya kalau Kamu udah pro ya Lesh? Atau udah siap mendaki everest?"

Ketiganya tertawa hangat, lanjut mengobrol topik yang kemudian bercabang cabang. Selalu asik kalau ada Haikal. Pasalnya pejabat berpengalaman itu selalu berjiwa muda.

Sementara disisi lain, ada Adri, Saheera, dan Iqbal. Berbeda dengan grup Haikal yang asik asik saja, grup yang satu ini agak terlihat serius.

"Jadi gitu, tahun ajaran baru Kamu langsung daftar jadi Ketua OSIS?" tanya Adri pada Iqbaal usai yang bersangkutan menceritakan rencananya ditahun kedua Sekolah Menengah Atas.

Iqbaal mengangguk, "Begitu rencananya sih Bun. Cuma gak tau juga ya, apa ada yang milik Aku apa enggak, haha," ujarnya.

"Halah Bang Iqbaal pasti banyak yang milih lah. Ya gak Bund? Talenta muda dan merakyat, baik kepada semua orang," bantah Saheera, membuat Iqbaal menggelengkan kepalanya menolak dipuji.

Adri mengangguk-ngangguk, "Bener Bal. Bunda yakin sih kalau dari karakter Kamu itu pas memimpin organisasi sebesar OSIS. Tinggal diusahakan aja yang terbaik selama kampanye nanti. Kerahkan semua tuh fan base Kamu," candanya.

"Ah, berlebihan Bunda nih. Aku cuma manusia biasa Bun."

"Manusia tampan ya Bang Iqbaal?" Leon tiba-tiba melintas sembari membawakan baskom stainless berisi sayuran. Sebelum diroasting oleh Saheera dan beberapa yang mendengar percakapan mereka, Iqbaal cepat berinisiatif membantu Leon. "Sini Gue bantuin Yon. Istirahat sana, gerak mulu Gue perhatiin," ujarnya.

Leon tersenyum senyum genit, "Makasih Bang," ujarnya kemudian bergabung bersama Adri dan Saheera menggantikan Iqbaal yang kini bergabung dengan tim pemanggang.

"Bunda, Amanda kenapa gak diajak?" tanyanya menanyakan keponakan Adri yang sudah beranjak dewasa seumuran mereka.

"Oh? Gak boleh main dia mah sama Ayahnya. Biasalah, Kak Abi tipikal orangtua strict," ujar Adri mencibir Kakaknya sendiri.

Saheera dan Leon tertawa pelan. "Tapi Bunda juga strict kok, turunan Om Abi," ujar Leon.

Adri mengerutkan dahinya, "Ah masa sih? Yang strict mah si Ayah tuh," bantahnya, menunjuk Haikal dengan anggukan dagu. Merasa terpanggil, Haikal menoleh, "Apa Bund?"

"Katanya Ayah strict!" lapor Saheera, mengundang reaksi macam-macam. Sepertinya memang terbalik karakter mereka berdua.

"Kebalik gak sih? Yang free-range itu si Ayah. Ayah kan partner in crime nya Nalesha sama si Tommy," ujar Noer yang mulai kewalahan dengan asap barbeque.

Adri mendelik tajam pada Haikal, "Partner in crime apa nih? Gak usah aneh-aneh deh!"

"Uuuuuw strictttt!" ledek mereka semua, sukses membuat Haikal menjulurkan lidahnya meledek. Adri hanya mencebik kesal. Pasrah saja dibilang strict, meskipun diam-diam membenarkan. Adri gengsi saja, karena anak-anak disana cenderung menyukai orang tua dengan pola asuhan free-range dibanding strict.

"Tapi Ayah sama Bunda kan saling melengkapi. Kalau terlalu free-range nanti Kita semena-mena guys, pun kalau terlalu strict, Kita kaku banget," ujar Saheera menengahi.

"Mantap Ukhti Heera," celetuk Lim yang disahuti tawa yang lain. Pasalnya pria itu yang paling pendiam, sekalinya bicara malah ditertawai seperti ini.

"Intinya gini aja ... Kita terbuka ya. Kalau dari Ayah atau Bunda ada yang kurang berkenan di hati kalian terkait cara Kami mendidik, mohon diingatkan aja," ujar Haikal akhirnya. Serius kali ini, mendapat anggukan dari semuanya termasuk Adri.

"Selalu ingat, apapun masalah yang terjadi diantara kalian, sebisa mungkin dikomunikasikan. Oke?"

"Oke Yaaah!"