webnovel
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Adolescente
Classificações insuficientes
268 Chs
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

"Ngomongin Dirimu Sendiri?"

Dhaiva menyuapkan es krim vanillanya agak malas, membuat Nalesha didepannya merasa bersalah. Memang, perubahan ekspresinya itu adalah karena Nalesha sendiri. Hafal benar kalau Dhaiva sudah kesal itu bagaimana; mengabaikan.

"Maaf ya, Saya gak merencakan ini sebelumnya, tapi ini penting," ulang Nalesha meminta maaf. Dhaiva malah mengedikkan bahunya tak acuh.

"Jangan marah dong, kan Kita sama-sama lagi berprogress nih. Ini pengalaman baru dan bagus buat Saya, juga Kamu," bujuk Nalesha memberi pemahaman, ikut menyuap es krim a la carte yang dibeli berdua.

Dhaiva menghela nafasnya sejenak, mengangguk kemudian, "Kenapa pas banget sih? Kan udah beli tiket, udah janji, udah rencana ini itu, kesel."

Nalesha bertopang dagu di meja, tersenyum-senyum sendiri, "Kesel ya? Sama, Saya juga. Tapi gimana?"

"Ya gimana? Yaudah sana aja ke Bandung," ketus Dhaiva.