webnovel

Malu

"Mampus, Sas, ini kayanya gue berada di ambang malu yang nggak ada duanya. Malu banget sialan!" Sasya merengek pelan di tempatnya membuat Sastra dan Nakaa saling tatap.

"Malu gimana? Lo kalau stress jangan bikin orang bingung, dong," ujar Naka sewot.

Sasya menghela napasnya sekali lagi. Gadis itu mengusap wajahnya kasar. Matanya menatap frsutasi pada ruang chat dengan nomor tak di kenal yang baru saja mengiriminya pesan. Belum ia balas, hanya ia buka saja. Rasanya, Sasya ingin menenggelamkan dirinya ke rawa rawa. Karena ia benar-benar merasa sangat malu sekarang ini.

Ting.

Sasya terkesiap, gadis itu segera membuka pesan yang baru saja datang. Pesan dari sang abang alias Arash. Sudah sesuai dugaan apa yang akan abang lelakinya itu kirimkan. Intinya ya tidak jauh jauh dari permasalahan jaket. Sebenarnya kalau dipikir pikir Sasya juga yang bodoh. Sudah tau mereka satu kampus, harusnya Sasya meminta jaket itu kembali ke tangannya dengan cara apa pun.

Abang jelek

Sasya, yang lo kasih itu jaket temen gue?

Whatt the hell. Sasya merasa benar-benar malu. Maka tanpa berniat membalas, Sasya memilih untuk mematikan data selulernya. Daripada mereka mengiriminya pesan lagi. Bisa dibayangkan pasti keduanya sedang melakukan acara ghibah bersama. Itu masih dugaan Sasya sendiri, sih.

"Sya, lo nggak kesambet kan?" Suara Naka mampu menyadarkan Sasya yang sibuk dengan pikirannya.

Sastra geleng-geleng kepala, ia melirik ke arah handpone Sasya, lantas meraihnya tanpa kata. Membuka room chat dan tampaknya menemukan apa yang jadi kekhawatiran Sasya.

"Nggak usah dipikirin," ujar Sastra sembari meletakkan kembali ponsel sang sahabat di meja. Ia hiraukan Naka yang menanyakan rasa penasarannya.

Sasya sendiri menghela napasnya berat. Ia menoleh ke arah Naka dengan gerakan pelan.

"Ka, gue nginep di rumah lo malam ini dong," ujar Sasya merengek.

Naka dan Sastra mendelik. Ya, tidak apa apa sebenarnya. Karena kadang Sasya dan Sastra memang menginap di rumah Naka. Namun tentunya Sasya akan tidur bersama adik perempuan Naka yang masih smp.

Tapi kali ini kan...

"Sya, lo kan tau sendiri terakhir lo nginep diomongin sama tetangga gue terang-terangan." Naka berujar demikian.

Sasya menepuk dahinya dengan pelan, "Huaaaa gue malu banget ntar pulang ketemu Abang. Mau taruh di mana muka gue? Dia pasti ya bakalan marahin gue. Secara kan itu cowo yang ternyata temennya, gue mintain duit lima puluh ribu sama gue tabrak motornya yang diem aja," ujarnya merengek.

Naka menoyor pelan kepala Sasya membuat Sastra mendelik ke arahnya yang sama sekali tak ia pedulikan.

"Ya lo mah ada ada aja, Sya. Jaket orang bukannya lo balikin malah kasih buat hadiah abang lo. Di sini udah jelas dari awal siapa yang bloon." Naka sewot sendiri, gemas sekali dengan kelakuan temannya yang satu ini. Menyebalkan campur hiburan juga sebenarnya.

Sastra sendiri menghela napasnya berat, "Nginep rumah gue aja, tapi harus izin abang lo dulu," ujarnya memberi saran.

Sasya menatap salah satu sahabatnya yang paling pengertian. Siapa lagi kalau bukan Bapak Sastra yang terhormat itu.

"Sas ... tapi kan orang tua lo lagi kurang baik?" tanya Naka pada Sastra.

Spontan Naka mendapat tatapan tajam dari Sastra. Sasya sendiri menatap keduanya bingung sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada Sastra.

"Kok lo nggak cerita sama gue, Sas? Masa lo cerita sama Naka nggak ngajak ngajak gue sih?" tanya Sasya sebal.

Sastra menghembuskan napasnya dengan pelan, "Gue nggak mau lo ikut mikirin gue juga. Lagian bokap sama nyokap gue kayanya udah nggak papa kok. Lo kalau mau nginep enggak apa-apa, tidurnya sama Kak Seina."

Sasya menghela napas berat dan menggelengkan kepalanya kuat. Kadang ia menginginkan teman perempuan juga disaat seperti ini. Bayangannya, ia bisa nginep di rumah temannya, atau temannya bisa mengingap di rumahnya dan tidur sekamar. Karena sesuai sudut pandangnya, memiliki teman perempuan sepertinya enak. Sayangnya, ia tak punya. Dulu pernah, teman Smp. Tapi sekarang sudah berpisah sekolah ya seolah sudah punya jalan masing masing. Pada akhirnya hanya jadi penonton story satu sama lain.

"Bener? Lo berani ngadep Bang Arash? Kalau gue sih malu banget itu. Sok sok an ngasih barang mahal taunya punya orang." Naka ini, bukannya jadi teman pengertian malah semakin membuat Sasya overthingking saja.

Gadis itu mendengus sebal, ia menatap Naka dengan dagu terangkat lantas menepuk dada pelan, "The power of Sasya. Mana ada kata malu."

Bohong, padahal Sasya sudah merasa malu tingkat dewa.

***

Arash terpaksa memakai jaket yang Sasya berikan untuk pergi ke kampus. Pasalnya, jaket-jaketnya yang lain sudah ia masukkan ke mesin cuci. Bodoh sekali. Tapi namanya juga manusia, kadang lupa lupa ingat.

"Huh, untung aja Sasya kasihnya jaket. Seenggaknya bisa berguna sedikit." Arash bergumam sembari meletakkan helmnya ke ke motor.

Lelaki itu lantas turun dari motornya dan berjalan menuju ke kelasnya. Menyusuri koridor dengan langkahnya yang pelan. Berhubung ia berangkat sedikit awal, tidak seperti biasanya yang mepet dengan jam mata kuliah.

"Rash!"

Arash menghentikan langkahnya dan segera menolehkan kepala, lelaki itu mengulas senyum saat melihat salah satu sahabatnya itu. Bumi, namanya.

"Tumben lo berangkat pagi," ujar Bumi dengan pelan.

Arash terkekeh pelan, "Bunda maksa gue berangkat lebih awal. Padahal sedikit khawatir karena dia di rumah sendiri."

Bumi menganggukkan kepalanya dengan paham. Sahabat sahabat Arash cukup mengerti atas kondisi keluarga lelaki itu. Keduanya lantas berjalan beriringan menyusuri koridor. Bumi sendiri mengajak Arash ke taman kampus lebih dulu. Sebab katanya kedua sahabat mereka yang lain ada di sana.

"Rash," panggil Bumi di sela-sela perjalanan mereka.

Arash menoleh ke arah lelaki itu dengan alis terangkat, "kenapa?" tanyanya pelan.

Bumi mengamati jaket yang Arash pakai kali ini. Lelaki itu berdehem lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan. Sampai akhirnya keduanya sampai di taman kampus yang tampak asri. Mereka berdua langsung menghampiri kedua sahabatnya yang sudah nongkrong di sana.

"El? Kok lo bengong?" tanya Arash pada salah satu sahabatnya yang tampak menatapnya dengan dahi berkerut.

"Lo syok kali ya, El, jaket lo ada yang ngembarin di sini. Arash lagi yang ngembarin," ujar Diko, lelaki itu sahabat Arash juga selain El dan Bumi.

Bumi terkekeh pelan di tempatnya, "Gue kira cuma perasaan gue aja jaketnya Arash sama kaya punya El."

Arash sendiri tersadar, lelaki itu segera melepas jaketnya, "Ini jaket di kasih sama adek gue. Nggak tau juga kenapa dia bisa dapet ini. Padahal setau gue merk ini kan merk ternama gitu kan ya, El?" tanyanya pada sang sahabat.

El berdehem dan menganggukkan kepalanya pelan, "Gue boleh liat?" tanyanya sembari meraih jaket Arash.

Lelaki itu membentangkan jaket itu di depan mukanya. Mengamatinya cukup lama. Lantas melirik ke arah Arash dan meletakkan jaket itu di meja taman.

"Adek lo cewek? Boleh liat potonya?"