Di Ubud, Prof. Rina mempunyai laboratorium rahasia yang berada di bawah tanah. Lokasi labnya berada dekat dengan hutan, tepanya di bawah perkebunan kelapa miliknya.
Untuk menjaga kerahasiaan lab milik Prof. Rina, dia membangun manipulasi lorong. Untuk mengakses labnya harus melewati lorong yang sengaja dibangun menyerupai labirin tikus. Dan sengaja dibuat agar terlihat seperti bekas pertambangan.
Lab Prof. Rina terhubung dengan sebuah lorong panjang dari sebuah galeri kecil yang berada di pusat Ubud. Tepannya dari sebuah galeri biasa yang berada di pasar seni di Ubud.
Trirana, Ratna dan Ayu mengikuti Prof. Rina melintasi lorong tanpa berkata sepatah pun. Trirana terlalu tenggelam dengan kebisuanya. Akhirnya Ratna dan Ayu hanya bisa diam sambil berjalan berdampingan mengikuti Trirana.
Semuanya berjalan dalam hening menuju tingkat yang lebih dalam dan semakin gelap. Mereka menyalakan lampu di ponsel masing-masing. Prof. Rina memimpin dengan jaket putih panjangnya. Itu jaket labolatorium, bagian dalam dia mengenakan pakaian layaknya pegawai Bank. Trirana berjalan mengikuti Rina. Penampilan Trirana tetap seperti biasa. Dia mengenakan pakaian olah raga : kaos, jaket dan celana panjang. Semuanya mayoritas putih, sesuai dengan warna rambutnya. Ratna dan Ayu selalu berada dekat di belakang Trirana. Mereka selalu dengan seragam pelayan mereka yang mayoritas berwarna hitam.
Mereka berjalan untuk beberapa waktu. Dalam kesunyian. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan. Ini mungkin karena situasi hati Trirana saat ini. Rina berjalan sedikit jauh di depan, namun yang lainnya masih bisa melihatnya.
Ada beberapa jalan buntu, terowongan yang tidak menuju kemana pun. Itu menjelaskan kalau lab Prof. Rina sangat rahasia. Keadaan trowongan dibiarkan gelap—tindakan cerdas untuk menyembunyikan sebuah aset penting—dan dibiarkan tanpa dirawat sehingga terlihat seperti bekas pertambangan.
Mereka melewati banyak alat-alat pertambangan yang telah berkarat dan jalur rel. Cukup untuk menyebut, kalau trowongan itu memang bekas pertambangan, tetapi itu hanya untuk pengalih perhatian saja.
Mereka terus melewati terowongan itu selama lebih dari satu jam. Sesekali, mereka melewati lubang ventilasi yang menghembuskan udara. Setidaknnya sirkulasi udara masih lancar walau beberapa sudah ditembus oleh akar pohon.
Prof. Rina berhenti sejenak, dia mencoba mengingat terowongan yang menuju labnya. Yang lainnya juga ikut berhenti. Trirana merasakan adanya angin basah dari arah lorong yang menuju sisi kirinya, dia yakin itu pasti arah keluar dan dia bisa menebak ada sungai atau air terjun. Tetapi, tujuan mereka bukanlah ke arah sana, melainkan ke arah kanan tepatnya ke sebuah jalan buntu.
"Di sini!" ucap Rina sambil menunjuk sebuah dinding.
Trirana terlihat diam saja, sepertinya dia sudah bisa menebak.
"Di sini?" tanya Ratna.
"Benar," ucap Rina lalu mendorong sebuah batu yang menonjol di dinding untuk membuka sebuah pintu tersembunyi, "Kita sudah sampai."
Sebuah pintu baja dengan sistem pengaman ketat terlihat setelah sebuah dinding batu bergeser. Rina membuka pintu dengan melakukan beberapa scan : sidik jari, retina, wajah dan terakhir suara. "Di sinilah, hanya aku dan orang-orang kepercayaakku saja yang tau." ucapnya.
Pintu baja bergeser dengan perlahan meperlihatkan sebuah ruang besar serba putih di baliknya.
Kedua pelayan Trirana tampak terkagum-kagum, namun Trirana sendiri tampak biasa. "Dari mana kita memulai?" belum melakahkan kaki masuk, Trirana sudah bertanya apa yang harus dia lakukan.
"Yakinkah, Nona?" tanya Ayu yang setengah tubuhnya sudah dimandikan oleh keringat begitu juga Ratna dan Rina.
"Ijinkan kami istirahat sebentar saja, Nona." pinta Ratna.
"Kalian istirahatlah dulu, tapi aku sepertinya tidak bisa." ucap Rina.
"Kenapa begitu Nona, Anda pasti lelah berjalan jauh." ucap Ratna.
"Apakah di saat tanah kelahiran kita sedang terancam kita masih bisa merasa lelah?" Trirana balik bertanya.
Semuanya terdiam.
"Jika kakakku di sini sekarang, dia tidak akan bisa berhenti sama seperti ku," ucap Trirana, tatapannya begitu serius. "Dan jika Prof juga merasa lelah, tunjukan saja apa yang harus aku lakukan dari sekarang!"
"Tidak," ucap Rina. "Aku tidak lelah, kita akan melakukannya tanpa membuang waktu lagi."
Rina segera pergi menyiapkan alat-alat yang diperlukan termasuk capsul VR yang telah dia rubah menjadi sebuah kursi.
Nantinya, alat VR yang sudah dimodifikasi memjadi sebuah kursi akan berfungsi untuk mengirim kesadaran Trirana sepenuhnya ke dalam game. Itu akan menjadi sebuah pengorbanan yang sangat besar karena tubuh Trirana akan mati suri untuk waktu yang lama. Untuk itulah Ratna ada di sini sekarang. Dan Ayu, dia tau banyak tentang hacking. Ayu di sini juga penting, itu demi melancarkan tujuan mereka dan untuk mempermudah mereka menghancurkan game dari dalam.
"Kami akan melakukan yang terbaik." ucap Ratna dan Ayu.
Selagi Rina menyiapkan alat-alatnya, Trirana tertarik dengan rak buku yang ada di bagian kanan. apa salahnya melihat-lihat beberapa buku untuk mengisi waktu menunggu, pikir Trirana. Banyak deretan buku sains di sana, kebanyakan adalah hasil riset. Entah mengapa Trirana tiba-tiba tertarik dengan buku-buku, padahal sebulumnya sama sekali tidak. Trirana menarik sebuah buku yang membuatnya tertarik, buku hasil riset capsule-engine. Rina membacanya sekilas lalu tiba-tiba sebuah buku jatuh tepat di samping kakinya.
Trirana menaruh kembali buku yang ada di tangannya kemudian mengambil yang terjatuh di lantai. Tidak ada gambar pada sampulnya dan buku itu terlihat sudah usang. Trirana membuka halaman pertamanya dan melihat satu bait kalimat lalu membacanya.
"Release the demon!"