Trirana mempercepat langkahnya. Sebuah keberuntungan ada senjata di hadapannya. Terserah itu senjata yang sudah diberkati atau belum, setidaknya ada senjata yang mungkin mempan. Trirana lalu menyambar gagang pedang itu dan mencabutnya dengan mudah. Gemuruh petir sempat menggelegar. Seperti Trirana adalah orang yang memang terpilih. Pedang itu berwarna keemasan—pedang yang sering digunakan oleh para kesatria Eropa (Knight), berat dan kedua sisinya sangat tajam—dan berkilau.
Trirana mendadak berhenti sehingga kakinya sempat terseret di tanah—seperti bersepatu roda, dia kemudian langsung melompat balik melewati ketiga rekannya yang baru saja menyusul.
Trirana langsung menebas dua Iblis yang berhasil mengejar, satu per satu hingga darah mereka terhempas akibat tebasanya yang bagaikan gemuruh topan. Pedang yang hebat, pikir Trirana.
Para undead langsung berhenti mendadak setelah melihat kedua rekannya tewas dengan sekali tebas. Mereka perlahan mundur lalu kembali masuk ke dalam tanah.
Rina dan para pelayan terlihat takjub melihat kegagahan Trirana dari belakang. Trirana sedang mengakat pedangnya—seperti Raja Arthur—membuat para undead ketakutan.
"Nona kita ternyata orang yang hebat!" ucap Ayu.
"Apa kita sudah selamat?" tanya Rina.
"Lihat," tunjuk Ayu, "Nona sudah membereskannya!"
Tiba-tiba saja pedang Trirana terjatuh dari tangannya membuat ketiganya tidak habis pikir.
"Aw, pedang ini sungguh berat!" keluh Trirana.
Itu memmunculkan tanda tanya bagi yang lainnya.
"Nona?"
Ketiganya mendekati Trirana.
"Kau baik-baik saja, Trirana?" tanya Rina.
"Tanganku sedikit lecet!" ucap Trirana sambil meperlihatkan telapak tangannya.
Ratna langsung mengambil perban dari balik roknya, "Nona, kau terlalu nekat!"
"Sepertinya aku sedikit memaksakan diri." Ucap Trirana sambil sedikit tersenyum.
Trirana akhirnya tersenyum, walaupun hanya sesaat. Sayangnya, senyumannya itu tidak sempat dilihat oleh yang lainnya.
"Lain kali jangan nekat seperti tadi!" tegur Ratna.
Bicara tentang nekat, itu mengingatkan tentang Fu. Keduanya memang memiliki sifat yang mirip satu sama lain.
Trirana mengambil kembali pedang yang dijatuhkannya, mengangkatnya dan membiarkan ujungnya tetap menancap ke tanah.
"Nona, pedang ini barang bagus!" ucap Ayu sambil melihatnya lekan-lekan.
"Mata yang bagus!" ucap Trirana.
"Wah, Nona meragukanku ya?" gurau Ayu membuat semuanya menoleh ke arahnya. "Aku tau semua jenis senjata." ucapnya lagi.
"Kau memang benar," ucap Trirana. "Aku yakin pedang ini masuk dalam kelas legendaris."
Ratna kurang mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Trirana, "Nona maaf, sepertinya aku sama sekali tidak mengerti apapun di sini. Tentang game, dan apapun itu." ucapnya.
"Kalian jangan kawatir, kalian tidak perlu tau banyak tentang dunia ini. Yang perlu dan harus kalian ketahui, bagaimana cara untuk tetap bernafas lalu pulang dengan selamat." ujar Trirana.
"Seperti yang Nona bilang." imbuh Ayu.
"Baiklah," ucap Ratna "Dan …."
"Tunggu!" jeda Rina.
"Ada apa Prof?" tanya Ayu, sepertinya Ayu bukanlah gadis pendiam.
"Sepertinya aku ingat dengan tempat ini," ucap Rina yang mencoba mengingat-ingat kembali. "Ini … sepertinya aku pernah ikut menyaksikan pembuatan wilayah ini. Sepertinya … ya, aku sudah ingat, jika kita menuju arah timur maka kita akan menmukan permungkiman bangsa Harpy!" ujarnya.
"Tempat para gadis burung?" tanya Trirana.
"Iya, aku kira kita tidak perlu berjalan jauh." ucap Rina.
"Apa ini nyata, aku kira sekarang kita berada di dunia fantasi." ucap Ratna.
"Ini dunia nyata dan kita hampir saja mati tadi." ucap Trirana.
"Coba saja kau tampar wajahmu sendiri, maka kau akan segera tau!" tambah Ayu.
Ratna memang lugu dan dia mengikuti saran itu, "Aw sakit!"
"Benar kan?" tanya Ayu.
"Iya sakitnya nyata." ucap Ratna.
"Coba aku yang menampar wajahmu." ucap Ayu dan langsung melakukannya.
"Ah sakit!" rintih Ratna.
"Wow, ini nyata!" celoteh Ayu tanpa rasa bersalah.
Perdebatan keduanya membuat Trirana dan Rina kehilangan posisi mereka.
"Kalian, apa ini cerita hanya untuk kalian saja. Berhenti membuang-buang waktu hanya untuk bercanda!" tegur Trirana.
"Maaf Nona!" ucap keduanya.
Rina sempat tersenyum memandang ketiganya. Seandainya aku bisa seperti mereka, pikirnya.
"Prof, bisa Anda tunjukan jalannya?" tanya Trirana.
Lamunan Rina langusung terpecah, "Tentu, ikuti aku!"
Mereka kemudian mulai melangkah.
"Prof Rina sudah seperti peta hidup, kita tidak perlu lagi membuka map." ucap Ayu kepada Ratna.
"Bisakah kau diam. Kau tidak seperti penampilanmu, Ayu!" tegur Ratna.
"Ini memang gayaku." ucap Ayu.
"Terselahlah!" ucap Ratna.
Trirana mendengar jelas gurauan kedua pelayannya yang berjalan bersama di belakangnya, tapi dia memilih mengabaikannya.
"Stt, diam Ayu!" bisik Ratna. "Jangan mengganggu Nona!"
Ayu langsung menutup mulutnya, "Sorry!" ucapnya pelan.