webnovel

TINGKAH MORKO

"Kalau capek, kamu berhenti kerja aja, ya. Jangan dipaksa,"

Lagi-lagi Jaka memberi peringatan pada istrinya. Seharian ini hanya wajah Anggi saja yang terbayang. Membuat ia kesulitan konsentrasi dalam bekerja.

"Aku kuat kok, Mas." Anggi mencoba tersenyum. Tanpa Jaka tahu, Anggi berulang kali mengeluh karena kelelahan.

Keduanya bersantai di teras rumah setelah menyelesaikan makan malam. Anggi mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya, meskipun terkadang masih suka mengeluh.

"Apa Ibu punya keluhan lagi, Mas?" tanya Anggi. Ia kurang bisa memantau Jamilah semenjak bekerja.

"Gak ada, Sayang,"

Tidak ada sahut-sahutan lagi. Keduanya tengah berkutat pada pikiran masing-masing, hingga sebuah mobil melintasi perkarangan rumah mereka.

"Berhenti di sebelah, Mas." Anggi memanjangkan leher. Kendaraan itu terparkir di sebuah rumah kosong.

"Mas juga gak tahu. Mungkin pemiliknya yang baru," pungkas Jaka acuh tak acuh.

Semilir angin menusuk hingga ke tulang. Anggi mulai merasakan kantuk yang teramat sangat. Ia meninggalkan Jaka di luar seorang diri. Memberikan waktu untuk suaminya menyendiri.

"Aku masuk duluan ya, Mas," tukas Anggi.

Jaka berdehem tanda mengiyakan. Seberes kepergian Anggi, Jaka merasa bahwa seseorang sedang memerhatikannya dari penjuru lain. Jaka membuang wajah ke sumber dan ia melihat seorang wanita tersenyum ke arahnya.

Jaka membalas dengan anggukan kecil dan langsung menyusul istrinya ke kamar.

***

"Aduuuuh…"

Klek!

Anggi menjatuhkan gagang pel setelah mendengar teriakan dari kamar Morko. Cepat-cepat ia mengetuk pintunya untuk memastikan keadaan lelaki itu.

Dor! Dor! Dor!

"Pak. Ada apa?" serunya panik.

Anggi berspekulasi bahwa telah terjadi sesuatu pada diri Morko. Namun, dia tidak dapat memastikan karena pintu yang tertutup rapat. Beberapa menit Anggi berdiri di ambang pintu seraya meneriakkan nama Morko.

Cit…

Akhirnya pintu terbuka.

Anggi mendapati wajah Morko yang berkedut serta rambutnya acak-acakan.

"Bapak kenapa?" tanya Anggi.

"Aduh, Anggi. Kepalaku sakit banget nih. Pusing," keluh Morko. Ia memeras rambutnya sendiri.

"Bapak sudah makan?"

"Sudah, tapi gak tahu ini kenapa,"

Anggi bukanlah wanita yang berasal dari kalangan perawat. Ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi pada diri Morko. Lagi pula Anggi tidak mengerti apakah Morko memiliki penyakit bawaan atau tidak.

"Anggi, tolong pijitin kepalaku dong. Sakit banget nih." Morko menarik pergelangan tangan Anggi dan menyeretnya ke kamar.

Mendapati tingkah tidak sopan Morko, Anggi langsung terlonjak kaget dan mencoba keluar. Namun saat itu juga Morko semakin mengencangkan tarikannya.

"Bapak mau apa?" Anggi histeris.

"Kamu jangan suuzon gitulah! Aku cuma minta tolong dan gak niat macem-macem. Kamu kan pembantu di sini, apa salahnya menolongku?"

Kalimat Morko membuat Anggi sejenak berpikir. "Tapi gak di sini juga, Pak. Kan bisa di luar," pungkasnya.

"Ck!" Morko berdecak kesal, kemudian beringsut menuju sofa di ruang tengah. Ia memberi isyarat agar Anggi mengikutinya.

"Pijitin aku dulu baru lanjut kerja. Ambil minyaknya di lemari sana." Morko menunjuk benda di ruang televisi.

Anggi kurang setuju dengan permintaan Morko, tapi dia juga tak mampu menolaknya. Perlahan Anggi mengusap kepala Morko dengan minyak yang baru ia ambil tadi.

"Pelan-pelan aja," titah Morko.

Anggi dan Morko berada dalam satu sofa yang sama dan dalam posisi duduk. Anggi begitu tidak enak hati, terlebih hanya ada mereka berdua di sini.

"Jangan buru-buru dong!" perintah Morko saat jemari Anggi mulai melaju.

Pria paruh abad itu tersenyum nakal. Ia merasakan sentuhan demi sentuhan Anggi penuh gairah. Tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada Morko. Ia hanya berpura-pura agar Anggi menuruti perintahnya.

"Badannya dong, Nggi,"

"Lah, bukannya yang sakit cuma kepala doang, Pak?" Anggi membeliakkan mata. Sudah dikasih hati malah minta jantung.

"Kamu nurut aja kenapa sih. Kamu kan udah digaji di sini,"

Anggi pasrah dan mulai menjalankan perintah Morko. Tak lama setelah itu, deru mesin mobil menyapa mereka. Buru-buru Morko bangkit dari posisinya.

"Ah, sial! Kenapa Misri udah pulang?" batinnya.

Terpaksa Morko meninggalkan kenikmatan yang baru ia rasakan dan menyuruh Anggi untuk kembali mengepel rumah.

"Kenapa kamu udah pulang?" tanya Morko pada istrinya.

Misri mencium aroma minyak pijat di tubuh Morko. Tidak biasanya pria itu menggunakan minyak di siang bolong.

"Tadi ada rapat di sekolah, jadi pulang lebih awal. Mas lagi sakit, ya?"

"Siapa yang bilang?"

"Mas pakai minyak pijat tuh," ujar Misri membidik tubuh suaminya.

Morko melirik Anggi dari ekor mata. Dia lupa untuk memberi ultimatum pada Anggi agar tidak mengadukan hal tadi pada Misri.

"Pegal-pegal aja. Misri aku minta uang!"

Misri spontan menarik oksigen mendengar penuturan suaminya. Entah sampai kapan Morko akan berlaku sedemikian rupa.

"Ambil aja di lemari. Mas kan udah tau tempatnya,"

"Kurang! Aku butuh 10 juta, Misri,"

Netra Misri membola. Seluruh kebutuhan Marko telah ditanggungnya. Lalu, untuk apa lelaki itu meminta lebih? Misri jelas bertanya-tanya.

"Hah, untuk apa, Mas?"

Anggi tidak berniat menguping, tapi percakapan sepasang suami istri itu terdengar oleh telinganya.

"Gak usah banyak tanya. Selama ini aku udah menghidupi kamu, sekarang saatnya kamu balas jasaku," kata Marko tanpa sungkan.

"Iya, tapi untuk apa, Mas?"

"Kamu berisik banget sih, Misri. Di mana uangnya? Aku butuh sekarang,"

"Mas. Aku gak bisa kasih kamu uang tanpa tujuan yang jelas," tolak Misri.

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tapi Morko tiba-tiba meminta uang pada istrinya sendiri dalam jumlah banyak. Misri jelas menolak mentah-mentah.

"Kamu melawanku?" Morko mulai terpancing emosi.

Sekujur tubuh Anggi mulai menggeletar. Ia merasakan hawa-hawa tidak enak di sini. Morko sungguh keterlaluan. Pria pengangguran itu tidak segan-segan meminta uang di depan orang asing seperti Anggi.

Seketika Morko meraba leher istrinya dan menarik kalung Misri secara paksa. Perempuan malang itu menggeol-geolkan tubuh sehingga membuat kalung emasnya terputus. Morko mengambil benda tersebut dan membawanya kabur.

"Mas!" teriak Misri.

Seberes kepergian Morko, Anggi langsung berlari menemui Misri. Ia merengkuh erat tubuh wanita itu dan meredakan tangisnya.

"Ibu, tenang, Bu." Anggi mengelus pundak Misri berulang kali.

"Keterlaluan suamiku itu!"

Misri tak mampu berbuat banyak selain berpasrah atas sikap Morko. Bukan sekali ini saja ia merampas harta benda milik Misri dan kembali setelah uangnya habis. Misri dituntun oleh Anggi untuk duduk di sofa.

"Ibu kenapa masih mempertahankan suami seperti Pak Morko?" tanya Anggi kesal. Ia menyayangkan sikap keterlaluan Morko.

Misri hanya membisu di tempat sambil sesenggukan. Ia mengusap kedua matanya yang dibanjiri oleh air mata. Sementara Anggi tetap berusaha untuk menenangkan bosnya itu.

***

"Mas!"

Jaka selalu pulang ke rumahnya saat tengah hari untuk makan siang. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Jaka berbalik badan dan mendapati wanita yang tersenyum padanya tadi malam.

"Buat Mas Jaka," katanya menyerahkan sebuah bingkisan.

Kepala Jaka spontan tersentak ke belakang. Dari mana sosok asing itu mengetahui nama Jaka?

***

Bersambung