webnovel

PERTEMUAN DUA PIHAK KELUARGA

Belum sempat Anggi menghirup oksigen untuk melepas penat, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang menahlil namanya. Anggi begitu syok, karena tanpa melihat pun ia sudah tahu itu suara siapa.

"Anggi, stop!" Dida berteriak.

Kemudian Dodi pun mengekori istrinya dari belakang. Saat ia menginjak beranda rumah Jaka, dia merasa jijik sekali. Rumah itu tak ada bedanya dengan sebuah kandang.

"Ma- Mama?" Anggi gugup dan langsung balik badan.

"Oh. Jadi ini rumah yang katamu gedung itu?" Dida memutar tubuhnya. Kedua matanya menilik atap yang terdiri dari banyak lubang.

Batin Anggi sontak bertanya-tanya kenapa orang tuanya bisa sampai di kediaman Jaka. Selain itu, Anggi juga merasa malu. Anggi masih ingat betul segala kebohongan yang ia utarakan pada orang tuanya.

"Mama kenapa bisa ada di sini?" tanya Anggi mengalihkan.

Entah sudah bagaimana pikiran wanita itu. Ketahuan bohong dan kini ia harus menerima bahwa orang tuanya juga paham jika Anggi sengaja melarikan diri.

"Jangan berkilah, Anggi!" Dodi mulai angkat suara.

Anggi gemetaran. Ia tak mampu mengelak, karena orang tuanya telah menginjakkan kaki di kediaman Jaka. Anggi hanya bisa tertunduk lesu meratapi nasib.

"Iya, Ma. Aku ngaku salah, tapi aku bahagia kok hidup begini," balasnya berusaha tersenyum.

"Hahaha. Udah tertangkap basah, baru kamu ngaku." Dida berkacak pinggang. Luar biasa sekali kelakuan anak semata wayangnya tersebut.

"Sudah Papa duga kalau kamu berbohong," timpal Dodi. Sejak tadi ia menahan air liurnya untuk tidak keluar di tempat itu.

"Bawa aja dia pulang, Mas. Aku gak rela anak kita jadi gembel di sini,"

Kembali jantung Anggi berdebar tak menentu saat mendengar kata pulang. Ia tak ingin berada di tempat yang menurutnya persis kandang singa itu.

"Mama sama Papa gak berhak bawa aku, karena aku sudah menikah," ucap Anggi mencoba melawan. Tak ingin menjadi kambing yang bisa diatur kapan saja.

"Kamu lebih pilih Jaka si miskin itu ketimbang hidup bahagia sama orang tua kamu?" tanya Dida dipenuhi rasa kesal.

"Pulang, Anggi!"

Karena tak ingin menciptakan drama, akhirnya Dodi menyeret tubuh Anggi dan memaksanya ikut bersama mobil mereka. Kejadian beberapa hari lalu kembali terulang. Anggi meronta-ronta, hingga jeritannya terdengar ke telinga Jamilah. Buru-buru wanita tua itu keluar rumah. Disangkanya Anggi telah diculik oleh orang asing.

"Stop!" Jamilah menunjukkan kelima jarinya.

Dodi dan Dida langsung menghentikan kegiatannya ketika melihat sosok asing dan renta berdiri di hadapan.

"Siapa kamu?" tanya Dida.

"Ibu Jamilah. Mertuaku, Ma." Anggi mengambil alih jawaban Jamilah.

Jamilah, Dodi dan Dida saling pandang. Tepat pada hari ini mereka dipertemukan. Jamilah tidak tahu apa-apa tentang pernikahan putranya yang tak direstui. Namun, dia dapat merasakan jika ada sesuatu yang tak beres di sini.

"Kalian orang tua Anggi?" tanya Jamilah was-was. Entah kenapa paras Dodi dan Dida menunjukkan ketidaksukaan.

Dida melangkah dan tercegak di depan Jamilah. Ia memindai bola matanya untuk menyapu tubuh perempuan tersebut.

"Bilang sama anak Anda untuk tidak mendekati putriku lagi,"

Degh!

Bagai ditusuk belati ucapan Dida bagi orang yang dituju. Jamilah mengerjapkan matanya berulang kali. Berharap jika semua ini hanya sebatas khayalan.

"Ada apa ini?" tanya Jamilah. Dadanya sontak sebah mendengar penuturan tajam dari Dida.

"Orang tua mana yang sudi kalau anaknya hidup miskin, hem?"

Dida tidak mengerti mengenai Jamilah yang tak mengetahui tentang pernikahan anaknya. Dia mengira jika perempuan itu juga ikut-ikutan membela Jaka untuk bersatu dengan Anggi.

"Mama!" seru Anggi setengah membentak. Tega sekali Dida berbicara kasar pada orang tua.

"Apa? Kamu mau bela mertua kamu ini? Kalian semua sama aja,"

Jamilah semakin tidak mengerti. Seketika kepalanya berat dan jantungnya berdegup laju.

"Anggi, ada apa ini?" Jamilah kembali bertanya.

Anggi telah terjebak dan tak dapat lari. Mau tak mau dia harus mengatakan yang sejujurnya pada Jamilah. Bagaiamana respon Jamilah, hal itu akan menjadi urusan kedua.

"Maaf, Bu. Sebenarnya Mama sama Papaku gak pernah merestui hubungan kami,"

Dezing!

Hati Jamilah tercabik-cabik. Kenapa Anggi baru mengatakannya sekarang? Inilah yang ditakutkan Jamilah selama ini. Putranya pasti dianggap remeh jika bersanding dengan wanita kaya.

"Jadi, dia gak tahu kalau kami membenci Jaka?" Dida terus saja mengoceh.

Anggi dan Jaka berhasil menyembunyikan semuanya dari orang tua mereka. Sialnya, sesuatu yang ditutupi itu tak berangsur lama.

Anggi menggeleng samar. Perasaannya sudah diliputi rasa bersalah pada Jamilah. Ditatapnya wajah mertuanya yang sekarang sedang memerah.

Tidak tahu harus memberi respon seperti apa, Jamilah pun mengambil langkah untuk masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Ia merasa kaget bercampur kecewa. Jamilah juga tidak terima atas tindakan Dida yang telah menghina putranya habis-habisan.

Anggi hendak mengejar Jamilah, tapi pergelangan tangannya dicekal oleh Dida. Sementara itu, Dodi memeriksa keadaan sekitar. Merasa agak risih karena pengguna jalan mulai menyorot mereka.

"Aku gak mau pulang, Ma!" Anggi melepas rengkuhan itu.

"Ayo, Anggi! Kamu jangan mau jadi gembel di sini," cercah Dodi. Matanya tetap awas pada lingkungan rumah.

Terjadialn tarik menarik antara tiga manusia di sana. Jamilah yang mendengar jeritan Anggi hanya mampu mengintip dari jendela kayu. Ia sudah pasrah jika wanita itu akan dibawa pulang oleh orang tuanya. Jamilah pun tidak sudi jika Dodi dan Dida semakin menghantu-hantui hidup Jaka.

"Jangan paksa atau aku bakal teriak!" Anggi mengancam.

Wanita berkulit putih itu benar-benar sudah jengah melihat kelakuan orang tuanya sendiri. Dia pun memutuskan untuk bersikap tegas. Anggi bukan anak kecil yang setiap pergerakannya harus diatur oleh Dida dan Dodi.

"Aku udah besar, Ma. Aku bisa nentuin hidupku sendiri. Kalian pulang aja sana!" Nada bicara Anggi mulai kasar.

"Oh, sudah berani melawan kamu, ya," sungut Dodi geram.

"Anggi. Kalau kamu masih ngotot untuk tinggal di sini, jangan harap kami bakal anggap kamu sebagai anak." Dida gantian mengancam putrinya.

Leher Anggi bergerak naik turun. Dida tidak main-main dengan ancamannya. Meski begitu, Anggi tak akan mundur. Rasa cintanya terhadap Jaka telah mengubah kehidupan suram itu sebagai syurga dunia. Bagaimanapun, Anggi tetap memperjuangkan rumah tangganya.

"Terserah kalian aja!"

Anggi pun ngacir tanpa menunggu jawaban orang tuanya. Sementara itu, Dodi dan Dida dibuat tercengang oleh pilihan Anggi. Bisa-bisanya anak itu lebih mementingkan Jaka ketimbang kenikmatan yang mereka beri.

"Anak gak tahu diri!"

BRAK!!!

Dodi menendang pintu yang terbuat dari kayu itu hingga bagian bawahnya roboh. Kekesalannya pada Anggi tak dapat terbendung. Begitupun dengan Dida, ia merasa menyesal karena sudah melahirkan anak keras kepala seperti Anggi.

"Sudahlah, Mas. Lebih baik kita pulang aja. Kalau sudah tahu rasanya hidup susah, pasti Anggi bakal pulang,"

Dida merangkul lengan suaminya guna menyalurkan ketenangan. Jangan sampai Dodi nekat dan mendobrak pintu rumah Jaka, lalu membawa Anggi secara paksa.

Anggi menangis dalam diam di balik pintu yang sudah rusak itu. Situasinya benar-benar pelik kali ini. Dilihatnya pintu kamar Jamilah yang tak kunjung terbuka. Anggi tidak berani mengganggu ketenangan wanita itu. Karena bingung harus melakukan apa, akhirnya Anggi berinisiatif untuk menanti kepulangan Jaka sampai ia tertidur di balik pintu.

***

Bersambung