webnovel

Silent Treatment

Wardana's House

Gwen merasa lapar malam ini. Ia menatap jam di nakas. Sudah hampir tengah malam. Ia asik membaca sejak tadi dan tiba-tiba saja merasa lapar. Sudah sangat lama rasanya ia tidak makan mie instan.

Gwen memutuskan untuk keluar dari kamar setelah berdebat dengan dirinya sendiri selama sepuluh menit. Jadi disinilah ia, tengah memasak mie instan sambil ditemani oleh lagu Taylor Swift yang berasal dari ponselnya.

Saar ia ingin meraih mangkuk, ia terkejut ketika Rangga memasuki dapur. Rangga juga tidak kalah terkejutnya. Pria itu memegangi gelas yang kosong di tangannnya.

Gwen merapat ke kompor dan memegang spatula erat-erat di tangannya.

"Aku.... aku hanya ingin mengambil air minum." ujar Rangga pelan dan membuka kulkas lalu menuang air ke gelasnya. Ia buru-buru melakukan itu dan berniat pergi, tapi suara Gwen menghentikannya.

"Terima kasih." Rangga menoleh. "Untuk novel-novel itu, terima kasih. Juga bunga dan lukisannya." Suara Gwen nyaris berbisik.

Rangga mengangguk dan segera pergi dari sana. Ia tidak tahu Gwen sedang berada di dapur dan tidak berniat membuat wanita itu ketakutan seperti ini. Ia memasuki kamar dan duduk termenung disana. Rasanya dadanya terasa sakit saat melihat sorot ketakutan itu di wajah Gwen. Sampai kapan wanita itu akan menatapnya seperti itu?

Gwen menatap punggung Rangga menjauh, meski hanya sesaat, Gwen bisa melihat tubuh Rangga yang sedikit lebih kurus dari yang diingatnya. Apa pria itu tidak makan dengan teratur?

Sambil memakan mie nya, Gwen terus memikirkan Rangga. Pria itu terlihat sedih, sorot matanya sendu, tidak lagi tajam dan dingin seperti awal pernikahan mereka. Gwen ingin sekali bicara dengan Rangga, tapi ia juga takut.

Tapi ada setitik rindu yang sering kali menyusup dalam hatinya. Sering kali ia berharap Rangga akan muncul di depan pintu kamarnya dan mengantarkan sendiri novel-novel itu padanya, tapi ia juga tahu, ia pasti akan ketakkutan jika pria itu muncul di hadapannya.

Gwen mendesah pelan.

Sampai kapan mereka akan seperti ini?

Keesokan paginya, Gwen duduk di atas kursi dan menatap omelet di piringnya. Termenung.

"Kenapa? Nyonya muda tidak suka?"

Gwen menoleh lalu menggeleng. "Apa Mas Rangga sudah pergi?"

"Belum, biasanya sebentar lagi Tuan Muda baru akan turun."

Gwen mengangguk. "Selama ini, apa dia sarapan di rumah, Bi?"

"Ya, Tuan Muda sudah dua bulan ini sarapan di rumah."

"Lalu bagaimana makan malamnya?" Gwen bertanya ragu.

"Setelah Nyonya muda selesai makan, Tuan muda akan makan."

"Sendirian?"

"Ya."

"Dan dia juga sarapan sendirian?"

"Ya."

"Bibi bisa panggil dia?"

Bi Yuni menatap Gwen lekat. "Nyonya muda yakin?"

"Ya." Tapi nada suaranya terdengar ragu. "Rasanya pasti tidak enak sarapan sendirian. Jadi tolong panggilkan dia untuk sarapan bersama."

"Biar aku yang panggil dia, kakak ipar"

Lukas bergerak lebih dulu sebelum Bi Yuni sempat menjawab. Dan tidak lama kemudian Rangga memasuki dapur dengan langkah ragu. Lukas langsung berlalu pergi sambil tersenyum kecil.

Gwen hanya diam dan mulai memakan sarapannya dengan kepala tertunduk, sedangkan Rangga duudk di seberangnya dan mulai mengoles roti dengan selai cokelat kesukaannya. Kedua makan dalam diam dan dalam suasana canggung. Bi Yuni tidak beranjak dari tempatnya karena ia tahu, Gwen butuh teman untuk merasa nyaman.

Mereka sarapan tanpa saling menatap. Meski beberapa kali Gwen mencuri pandang kepada Rangga yang terlihat fokus pada roti dan kopinya.

"Aku pamit." Ujar Gwen berdiri dari kursi dan meraih tasnya.

"Hati-hati, Nyonya muda," Bi Yuni menatap Gwen sambil tersenyum.

Gwen balas tersenyum, lalu menoleh ragu pada Rangga yang juga menatapnya. Tanpa mengatakan apa-apa, Gwen memalingkan wajah dan melangkah menuju garasi.

Bi Yuni lalu tersenyum menatap tuan muda-nya. Dan Rangga balas tersenyum singkat penuh makna.

To Be Continued