webnovel

Merasa Indah

Lombok

Karina POV

Semua supervisor sudah berkumpul di aula saat aku meminta seorang pegawai memanggil Juan di vilanya. Seharusnya aku sendiri yang melakukannya, tetapi aku memilih menunggu di aula seperti yang lain. Lebih baik memulai basa-basinya di tengah orang banyak.

Hari ini, aku akan memperkenalkan Juan sebagai pemilik agrowisata Wardana's Resort yang baru. Dia tidak memintaku melakukannya, tetapi karena dia memang kebetulan berada di sini, jadi sekalian saja. Supaya para pekerja yang berpapasan dengannya tidak keheranan kalau Juan memilih berkeliaran menginspeksi di tempat ini selama kunjungannya.

Ketika akhirnya Juan masuk ke ruang pertemuan, aku mempersilahkan Juan duduk di kepala meja. Meja di aula ruang pertemuan diatur persegi supaya semua orang bisa saling melihat. Ruangan ini yang rutin kupakai untuk rapat evaluasi bulanan untuk mengetahui kinerja karyawan.

Bisik-bisik langsung terdengar saat Juan duduk di kursi yang biasa Ka Rangga atau aku tempati itu. Memang belum ada yang tahu perubahan kepemimpinan di tempat ini selain aku.

"Saya mengumpulkan Bapak dan Ibu semua untuk memperkenalkan pemilik baru Wardana's Resort," kataku setelah basa-basi pembuka. "Bapak Juan Arya Wardana ini sudah resmi menggantikan posisi Pak Rangga setelah mengambil alih tempta ini." Aku menoleh kepada Juan.

"Selanjutnya, saya persilahkan Pak Juan memperkenalkan diri kepada Bapak dan Ibu Supervisor yang mengawasi seluruh pekerjaan di tempat ini."

Jujur, kegiatan seperti ini tidak ada dalam bayanganku saat membuat daftar alasan kenapa aku harus bertahan di tempat ini. Aku pikir, Juan seperti halnya Ka Rangga. Dia hanyalah pemilik di atas kertas yang menerima laporanku setiap bulan.

"Terima kasih, Ruby." Juan juga menoleh ke arahku.

Aku buru-buru menunduk dan menatap catatanku. Aku tidak suka dia memanggilku seperti itu. Di sini, aku biasa dipanggil dengan sebutan 'Mbak Karina' atau 'Mbak Karin'. Nama tengahku hanya dipakai oleh keluargaku. Dimulai dari ibu, ayah, kakak dan kemudian Juan sendiri.

"Tempat ini tidak akan mengalami perubahan apa pun," lanjut Juan. "Selain perubahan kepemilikan, semuanya masih dipegang Ruby. Saya tidak akan ikut campur dalam pengelolaan karena tahu tempat ini sudah berada di tangan terbaik. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapaka dan Ibu karena sudah membantu Ruby mengelola tempat ini. Saya yakin, ke depannya, tempat ini akan menjadi tujuan wisata yang terkenal di Lombok. Tidak seperti di Jawa, agrowisata memang belum familiar disini, tapi saya percaya tempat ini akan menjadi pelopor tempat wisata berbasis pertanian dan ramah lingkungan di Indonesia."

Aku menunggu Juan menyelesaikan sambutannya, sebelum melanjutkan presentasi profil Wardana's Resort secara resmi dengan menampilkan video dan foto-foto tentang tempat ini. Setidaknya, dia harus tahu apa yang dia beli dari Ka Rangga, meskipun akan mengabaikannya di kemudian hari.

Setelah pertemuan itu selesai, dan hanya tinggal kami berdua, aku mengulurkan laporan yang sudah aku siapkan.

"Ini neraca keuangan tahun lalu, dan triwulan pertama tahun ini."

Juan menerima dan membukanya sambil lalu. Aku tahu dia tidak membaca isinya karena hanya beberapa detik dia sudah menutup laporan itu.

"Aku tidak minta perkenalan resmi seperti tadi, Ruby. Toh, kamu yang akan mengelola tempat ini."

"Bagaimanapun juga, kamu pemilik tempat ini sekarang. Kebetulan kamu datang, jadi sekalian saja." Aku mengabaikan protesnya. "Oh ya, kapan kamu pulang?"

"Aku baru datang kemarin sore, tapi kamu sudah tanya kapan aku pulang. Sekarang weekend, Ruby."

Aku menatapnya waspada. "Kamu biasanya tetap sibuk saat weekend." Aku lebih suka dia tidak tinggal di sini.

"Sekarang kan tidak biasa." Juan menjawab. Seenaknya. "Biasanya aku di Jakarta, sekarang aku di Makassar. Aku tidak punya teman dekat di sini, jadi tidak akan sibuk saat weekend."

Teman-temannya. Seketika aku teringat beberapa orang lelaki. Aku tersenyum getir.

"Aku tidak mengajak kamu bertemu dengan sahabat sekaligus saudaraku karena kamu tidak akan cocok dengan mereka," katanya dulu saat aku memintanya mengajakku berkunjung ke rumahnya. "Kamu kan agak serius orangnya, sedangkan mereka bicaranya sembarangan. Aku tidak yakin kamu cocok dengan joke-joke mereka."

Waktu itu aku berpikir Juan melakukannya untuk kenyamananku, dan aku butuh waktu utuk menyesuaikan diri. Bodohnya aku. Ternyata dia memang sengaja tidak melibatkan aku dalam kehidupan sosialnya karena di tahu kalau aku tidak benar-benar permenan dalam hidupnya. Aku adalah bagian yang harus disimpan di satu tempat, sementara dia menjalani bagian hidupnya yang berbeda di tempat lain.

"Aku mau ke kantorku." Aku bangkit dari kursi. Aku tidak akan mengenang masa lalu sementara Juan duduk di dekatku. "Kalau kamu mau tur keliling perkebunan atau tempat lain di sini, aku akan minta seseorang untuk menemani kamu."

"Kenapa bukan kamu saja? Kamu pasti lebih kenal tempat ini daripada orang lain."

Tujuanku mengirimnya tur adalah untuk menghindari. "Aku ada pekerjaan lain," kataku sembari berjalan menuju pintu. Juan menggiringku. "Jadi, mau tur?"

"Nanti saja. Kantor kamu di mana?"

Aku menghentikan langkah. "Kenapa? Kamu mau disiapkan kantor sendiri?" Ka Rangga tidak memiliki kantor di sini karena dia memang tidak membutuhkannya. Pertemuan kami biasanya tidak formal, dan dilakukan di ruanganku.

"Tidak. Bukan begitu. Aku tidak butuh kantor di sini. Aku hanya mau lihat kantor kamu saja."

Aku menghela napas panjang. Bersikap profesional itu terkadang tidak mudah. Aku melanjutkan langkah keluar dari aula.

"Kantorku di situ." Aku menunjuk salah satu pintu di dekat aula.

Juan berjalan mendahului dan membuka pintu ruanganku yang memang tidak terkunci. Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.

"Tempatnya nyaman." Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum duduk di sofa. "Tapi formal. Khas kamu. Tetap tidak meletakkan apa pun yang sifatnya pribadi di kantor."

Aku hanya mengawasinya tanpa mengatakan apa pun. Aku akan mengatur rumahku sesuai kepribadianku, tetapi tidak akan mendandani kantor. Aku tidak akan membawa barang pribadi ke kantor. Aku pernah melakukannya sekali dan menyesalinya.

Waktu itu, aku mengambil salah satu foto terbaikku dengannya dan meletakkannya di meja kantor. Dia pasti tertawa dalam hati saat melihat foto itu di sana. Mungkin dia malah tidak hanya tertawa sendiri, tetapi juga membagi lelucon itu dengan teman-temannya.

"Kalian semua harus lihat bagaimana berdedikasinya pacar jadi-jadian aku pada acara konyol kami. Dia pikir aku akan hidup selamanya sama dia. Kasihan."

Aku memilih duduk di kursiku dan menghidupkan laptop. "Kalau tidak mau tur, kamu sebaiknya balik ke vila dan istirahat saja."

"Aku sudah cukup istirahat. Tidurku nyenyak semalam."

"Kamu akan merasa bosan kalau tidak melakukan apa-apa. Atau kamu ke Batam saja." Aku bisa menyuruh sopir mengantarnya ke sana.

"Kamu mau ke Batam? Ya sudah, kamu kasih aku tur di Batam saja. Kalau ke Batam ruteku hanya hotel dan bandara saja. Aku belum pernah benar-benar melihat kota itu yang sebenarnya."

Aku nyaris memutar bola mata. Siapa juga yang mau mengantarnya berkeliling. "Aku tidak ke Batam saat weekend."

"Ya sudah, kita di sini saja. Di Batam yang bisa dilihat hanya macet dan gedung-gedung juga, kan?"

Di Batam banyak yang bisa dilihat selain macet dan gedung, tetapi aku malas menanggapi. Aku kemudian sibuk dengan laporan masuk. Kejelekan menjadi control freak sepertiku adalah, aku jadi ingin tahu semua hal sampai ke detail. Jadi aku selalu melakukan double check untuk semua laporan masuk dan mencocokkannya dengan semua bagian.

Hampir satu jam kemudian lamanya, Juan masih duduk santai di ruanganku sambil bermain dengan iPad-nya.

"Kamu tidak bosan di situ?" Kehadirannya membuatku merasa tidak nyaman, meskipun dia hanya diam dan tidak menggangguku bekerja.

"Aku baik-baik saja di sini. Teruskan saja kerjanya."

Aku tidak suka bekerja di bawah pengawasannya, meskipun statusnya sudah menjadi bosku sekarang.

"Aku akan temani kamu tur sekarang." Lebih baik berada di ruang terbuka daripada di kantorku yang tertutup berdua. Aku juga sudah kehilangan konsentrasi bekerja.

"Jo Malone Blackberry&Bay" kata Juan pelan, nyaris berbisik saat aku membuka pintu. Dia berdiri persis di belakangku. Suaranya membuat bulu kudukku meremang. "Kamu masih pakai parfum yang sama."

Tidak, aku tidak akan mengingat saat-saat intim yang kami habiskan. Itu bagian yang benar-benar ingin aku hapus. Teganya dia membuatku merasa diinginkan dan dipuja sebagai perempuan hanya sebagai pemuas nafsu semata.

To Be Continued