"Jadi kedatangan kami kemari, pertama untuk silaturahmi!" begitulah basa-basi umum yang dikatakan orang Jawa ketika berkunjung ke rumah orang.
Setiap kedatangan mereka adalah untuk bersilaturahmi. Dan setelahnya, entah maksud apa mereka. Bisa baik, bisa buruk. Kalau baik, tentu menggembirakan. Dan bila buruk, tentu ingin sekali mengusirnya. Yah, mengusir! Tapi itu sulit kami lakukan. Budaya Jawa menuntut tepa selira. Menghormati tamu. Betapapun menyebalkannya ia harus tetap dilayani. Apalagi jika yang datang adalah seorang tokoh.
Seperti mereka malam itu. Tiga orang tokoh masyarakat; ketua RW, ketua RT, dan seorang lagi entah siapa, mungkin anak buah atau tukang pukul mereka.
Pak RW memakai kemeja keren, modis untuk bapak-bapak di atas usia enam puluhan. Bukan baju murahan. Sedangkan Pak RT memakai kemeja batik berwarna gelap dan celana hitam yang berpadu-padan. Sedangkan seorang lagi, memakai kaos berkerah agak ketat hingga menampilkan perutnya yang agak tambun.
Yang terakhir ini tampak menyeramkan. Tak sekalipun ia tersenyum atau tertawa. Raut wajahnya garang dan sadis. Mungkin karena terlalu banyak melukai orang. Baik dengan fisik maupun sikapnya. Ia tak banyak bicara; seperti kebanyakan tukang pukul.
Pak RW-lah yang banyak bicara pada malam itu. Setelah diawali dengan basa-basi yang manis, tinggal pahitnya yang muncul. "Yang kedua…"
Ini yang membuat jantung berdegub kencang. Kira-kira apa maksud mereka? Kedatangan orang penting selalu membuat was-was.
"… Mas sudah tahu benar, bahwa Mas dan keluarga harus segera pergi dari sini!"
Nah, tepat! Pahitnya memang muncul. Jadi itu maksud kedatangan mereka. Hendak mengusir kami! Seperti jarum yang disembunyikan di balik kapas. Pertama; mereka ingin bersilaturahmi. Kedua; ingin mengusir yang punya rumah dari rumahnya sendiri.
"Kenapa, Pak?!" protesku.
"Mas tahu sendiri, semua tanah di sini harus dijual, untuk pembangunan bandara baru!"
"Tapi saya tak ingin menjualnya, Pak!"
Pak RW sedikit menghela nafas. Berusaha mengatur emosinya. Apalagi berhadapan dengan anak muda yang suka memberontak sepertiku.
"Ini adalah program pemerintah, Mas!" lanjutnya, " Semua daerah ini harus dikosongkan. Harga belinya pun bagus, kan?"
"Semuanya juga telah setuju menjual tanahnya," imbuh Pak RT yang juga berusaha tenang, "Kita harus mendukung program pemerintah ini!"
"Tapi ini rumah dan tanah warisan leluhur kami, Pak!" jawabku dengan dada sesak, tak terima diusir dari tanah leluhur sendiri, "Apa kata kakek-nenek dan kakek buyut di alam sana nanti jika kami menjualnya?! Kami telah dipasrahi untuk menjaga warisan mereka!"
Pak RW menjawab, "Kami semua juga keturunan leluhur daerah sini! Mas tidak tahu, bukan? Karena Mas lama merantau di kota! Dan kami juga merelakan tanah dan rumah kami dibeli!"
"Kenapa Bapak-bapak semua rela?"
"Sekali lagi, ini program pemerintah, Mas!" sahut Pak RT dengan nada meninggi, "Apa Mas mau melawan pemerintah?!"
Yah, beginilah. Kalau sudah bawa nama pemerintah, seolah-olah rakyat harus menurut. Kalau tidak, disangka pembangkang. Pemberontak.Tapi ini kan tanah leluhur kami!
"Apa pemerintah tak bisa mencari lahan lain?" jawabku, "Daerah ini kan jauh dari kota. Dekat pantai dan perbatasan propinsi. Kenapa membangun bandara di tempat terpencil seperti ini? Kenapa tak dekat kota saja? Apa mentang-mentang ini daerah sepi, lantas mudah saja mengusir penduduknya?!"
Pak RW menjawab dengan tenang, "Pemerintah pasti sudah memiliki planning sendiri, Mas!" kata-katanya dicampur bahasa Inggris agar tampak superior. Padahal aku tahu, ia dulu cuma lulusan SMA. "Kalau di kota, tentu sudah susah untuk mendapatkan lahan!"
"Jadi, mereka dapat seenaknya menggusur orang desa?!"
"Kan bisa direlakan demi kemajuan bangsa, Mas!"
"Kemajuan siapa? Nyatanya orang-orang di daerah ini tak ada yang punya duit untuk naik pesawat. Bandara itu kan hanya untuk melayani orang-orang kota dan berduit saja!"
"Kalau ada bandara itu," sahut Pak RT, "kan daerah sini bisa terangkat ekonominya, Mas!"
"Tapi terusir dari tanahnya?"
Mereka terdiam.
"Kami harus mencari rumah ke mana?" lanjutku, "Harga-harga tanah di sekitar sini sekarang melambung tinggi! Dengan uang ganti rugi itu, mana bisa membeli tanah dan rumah seluas ini lagi!"
"Bisalah! " jawab Pak RT, "Di daerah pegunungan dan pedalaman sana masih murah, Mas! Kami sudah membeli di sana!"
"Nah, kan! Kami makin terusir ke pegunungan? Jauh dari bandara baru ini! Lalu apa dampak ekonomi yang Bapak bilang tadi bagi kita?"
"Ya, kan kita senang kalau tanah kita jadi ramai! Yang mulanya sepi, jadi ada bandara internasional! Bangga, kan Mas?"
"Bangga tapi terusir?! Hanya bisa membangga-banggakan tanah yang sudah bukan jadi miliknya sendiri?"
Mereka kembali terdiam.
"Lagipula, orang-orang yang turun dari bandara akan menaiki taksi atau mungkin kendaraan pribadi untuk segera ke kota." Kukuhku, "Untuk apa berhenti di daerah kosong ini? Lalu apa dampak ekonominya bagi warga sekitar? Tak ada, kan?"
"Kan bisa buka warung-warung makan, Mas! Atau rumah kos untuk para pekerja bandara mungkin!"
"Lagi-lagi, kita cuma dapat remah-remahan kecil begitu, Pak?"
"Yah, pokoknya Mas jangan melawan pemerintah!" jawab Pak RW.
Perdebatan malam itu cukup panjang. Pak RW terlihat tenang menghadapiku. Sementara Pak RT agak naik sedikit emosinya. Dan si tukang pukul tetap diam saja. Mungkin menunggu aba-aba untuk melakukan kekerasan fisik atau ancaman lain.
"Kami tidak akan pergi dari sini, Pak!" tiba-tiba Cintya keluar dan berseru-seru, "Ini rumah kakek-nenek dan orangtua kami! Kami tidak akan menjualnya!"
Para tamu itu agak kaget dengan munculnya sepupuku yang masih duduk di kelas dua SMP itu.
"Masuklah, Cin!" balasku, "Biar Mas yang bicara!"
"Kami tidak akan pergi!" kukuh Cintya tak mau beranjak. Mirip dalam film drama.
Adiknya, Rio, turut muncul, "Yah, Mbak Cintya benar, kami akan tetap tinggal di sini!"
Kedua sepupuku itu tampak emosional. Menghadapi para pengusir yang berkedok tamu memang cukup menguras emosi.
"Dia yang membunuh papa!" seru Cintya menunjuk orang misterius yang kusangka tukang pukul itu, "Dia yang memukuli papa waktu itu!"
"Cintya, tenanglah!" balasku berdiri dan memeluknya.
"Dia pembunuh!" masih serunya.
Para tamu beranjak berdiri dan hendak pergi. Pak RW berkata untuk terakhir kalinya, "Kami tunggu tiga hari ini, Mas! Kalian harus segera pergi dari sini!"
Dan mereka pun pergi! Begitu kurangajarnya kelakuan tamu sekarang.
Kupeluk Cintya yang masih histeris dan emosional. Ia menangis di dalam pelukanku. Kuusap-usap rambutnya untuk menenangkannya.
Yah, mereka berdua adalah saudara sepupuku. Anak dari paman dan bibiku yang paling muda. Orangtua mereka telah meninggal dunia belum lama ini. Jadi tak ada yang mengurus mereka.
Cintya, umur 14 tahun, kelas dua SMP. Dan Rio, umur 11 tahun, kelas lima SD. Mereka tak mau tinggal dengan saudara-saudara lain yang kebanyakan telah merantau ke kota. Ingin tetap bertahan di desa sepi ini.
Karena aku seorang pengangguran, maka hanya aku yang dipandang punya banyak waktu luang untuk mengurus mereka. Keluarga besar menyerahi aku tanggung jawab untuk merawat mereka berdua.
Dan aku pindah kemari beberapa hari yang lalu. Yah, meskipun seorang sarjana, namun aku masih menganggur. Aku sendiri tak tahu apa yang bakal kulakukan dengan hidupku. Namun yang aku tahu – begitu juga dengan keluarga besar, aku pintar merawat anak kecil. Jadi mereka pikir, aku orang yang tepat untuk merawat Cintya dan Rio.
Dan telah kalian ketahui, rumah peninggalan leluhur ini harus dijual paksa untuk pembangunan bandara baru! Sebenarnya bandara baru itu sudah berdiri. Walau belum selesai - mungkin masih sekitar 25%, namun sudah bisa beroperasi.
Rencananya bandara itu akan dibangun menjadi yang terbesar di negeri ini. Bandara internasional! Desain yang beredar di internet sangatlah megah. Dari pintu masuk hingga ke area bandara sendiri tak kurang dari satu kilometer. Dan itu tentu membutuhkan lahan yang tak sedikit. Desa kami juga kena imbasnya. Bakal dijadikan perluasan kawasan bandara! Hanya perluasan!
Orang-orang di desa telah merelakan tanah dan rumahnya dijual. Namun tidak dengan paman dan bibiku. Mereka tetap ingin mempertahankannya. Katanya, sebagai satu-satunya anak yang tak merantau, mereka diberi amanah untuk merawat rumah ini oleh kakek-nenekku.
Kakekku memang sentimentil terhadap segala warisan leluhur. Termasuk apa yang pernah ia katakan padaku bahwa setiap rumah memiliki jiwa. Ia selalu mengajariku untuk membersihkan dan merawat rumah ini. Dan aku pun selalu rajin melakukannya sebelum ikut orangtuaku merantau ke kota.
Kakek mengajariku bagaimana membetulkan bagian-bagian rumah yang rusak. Juga membersihkan sarang tawon seminggu sekali di langit-langit rumah.
Kata kakekku, sarang tawon yang berada di rumah dapat membawa ketidakberuntungan. Begitu pula dengan rumah yang kotor dan tak rapi. Bisa menolak rejeki dan keberuntungan. Karena itulah, ia menaruh perhatian dalam kebersihan dan keindahan rumah.
Yang asyik, kadang larva-larva tawon yang kami dapati dari sarangnya ia masak. Digoreng! Rasanya lezat! Entah kenapa aku doyan dahulu! Padahal sekarang, membayangkannya saja hendak muntah.
Hanya itulah kenangan bersama kakekku dalam merawat rumah ini. Paman dan bibi tentu mendapatkan lebih banyak kenangan dan wejangan tentang rumah ini. Pernah suatu kali mereka bercerita bahwa di berbagai sudut rumah terdapat benda wasiat yang menjaga bangunan ini.
Entah apa maksudnya, tapi benda-benda itu sangat bertuah. Jika ada orang yang sembarangan memugar, atau merenovasi, atau merobohkan rumah ini akan kualat!
Mungkin itu pula salah-satu alasan mereka tak mau menjual tanah dan rumah ini. Takut kualat! Atau takut orang yang membeli yang bakal kualat. Namun sang pembeli adalah pemerintah. Dan pemerintah tak pernah takut kualat!
Yah, rumah ini memang warisan dari leluhur kami. Dari kakek-nenek buyut kami. Tentu sudah lama berdiri sejak kakek-nenek belum lahir. Kapan tepatnya, tak tahu. Yang jelas, masih dalam masa penjajahan bangsa Eropa.
Bentuknya Joglo yang sangat klasik. Kayu-kayu utamanya masih asli dan berumur tua sekali. Hanya beberapa bagian saja yang direnovasi dan diperbaiki dari waktu ke waktu. Paman dan bibi pun kulihat juga telah melakukan perbaikan di sana-sini tanpa merubah struktur aslinya.
Dan waktu terjadi gempa besar belasan tahun yang lalu, rumah ini termasuk salah-satu yang tak roboh. Hanya rusak di beberapa bagian saja. Begitu kokohnya ia. Apakah mungkin itu hasil perawatan dan penghormatan yang kakek lakukan dan ajarkan dahulu? Paman dan bibiku betul-betul menjaga pesan dari kakek dan nenek.
Dan kini, berbagai tekanan mereka dapatkan untuk melepaskan rumah ini. Seperti Pak RW dan Pak RT yang datang pada malam itu. Aku yakin mereka telah sering datang sebelumnya. Namun paman dan bibi tetap tak bergeming.
Dan mereka berdua meninggal dunia belum lama ini. Aku tak yakin betul apa penyebab mereka meninggal. Katanya sakit jantung. Namun penyebab pastinya aku tak tahu. Benarkah kata Cintya jika mereka dibunuh? Oleh seorang misterius tadi?
Kami tak pernah mendengar jika ia dipukuli. Aku harus bertanya pada Cintya nanti jika sudah tenang. Sementara ini, kami menghadapi masalah yang cukup sulit. Penggusuran!
****
(Bersambung)