webnovel

Siapa Bunda Ratu?

Dua rumah di hujung desa itu sudah di kepung oleh memedi. Pantas saja tadi diluar terdengar sangat ramai tak ubahnya pasar malam dadakan, memenuhi setiap jengkal dua rumah itu. Aku yang masih terpaku, memejamkan mata. Tidak berselang lama, Kakek bersorban putih tiba-tiba keluar dari kalung besi , dia mengedarkan pandangan ke semua mahluk yang ada disitu dengan tatapan geram. Terlihat jelas dari rahangnya yang beradu.

"Pergi kalian! Atau aku bakar kalian semua!" suara kakek itu lantang menggema. Tapi semua demit itu tidak bergeming. Justru terdengar suara cekikikan yang bersahut-sahutan, yang memekakan telinga. aku menutup telinga sembari menunduk memejamkan mata, tidak sanggup melihat ratusan mahluk sekaligus, pengalaman pertama yang tidak pernah kulupakan.

"Masuk ke dalam rumah. Apapun yang terjadi diluar jangan sampai kamu membuka pintu. Dan teruslah berdzikir." Kakek itu melayang lurus ke atas diikuti oleh para memedi itu . aku menelan ludah. Lalu, aku cepat-cepat untuk memasuki rumah dengan pertanyaan yang masih menggantung. Kenapa mahluk-mahluk itu memenuhi kedua rumah ini? ada apa garangan?

Sesaat ketika akan membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara manja perempuan dan laki-laki yang melengking dari rumah sebelah. Karena situasi saat itu sunyi sekali, jadinya suara itu bisa kutangkap dengan jelas. Suara lelaki itu tidak asing lagi, itu jelas Pak Wiryo, lalu siapa perempuan yang sedang bersamanya.

Aku mengurungkan membuka pintu, lalu mengambil langkah mengendap-endap ke rumah Pak Wiryo. Betapapun, misteri ini harus terpecahkan, dan aku harus memberanikan diri untuk mencari tahu. Tidak menampik jika rasa penasaranku mengalahkan kenyataan tentang hal buruk yang akan terjadi , bahkan aku juga seperti terlupa dengan pesan jin penunggu kalung ini.

Aku memicingkan mataku yang mulai beradaptasi dengan situasi rumah itu yang gelap gulita. Sialnya aku lupa membawa ponselku, mau kuambil tapi kepalang tanggung. Bodo amat, aku terus berjalan.

Sepi sekali, dimana kedua bodyguardnya? Ah mungkin lagi pergi. Baguslah, Dengan begitu aku merasa leluasa untuk menyusup. sampai diambang pintu, suara itu semakin lama semakin jelas berasal dari kamar. Dengan kaki gemetar aku menapakan kaki pelan-pelan, sebisa mungkin tidak terdengar suara. Aku memasang telinga dari kamar yang paling depan, lalu kamar yang tengah dan.... kamar yang paling belakang.

Ini adalah tempat tidurku waktu aku karantina disini. Suara perempuan itu terdengar sangat agresif, dengan desahannya yang seperti suara orang mengeram kesetanan. Derit ranjang tidak terhindarkan lagi. Asumsiku perempuan itu jelas bukan manusia, dan mungkin akar dari semua misteri selama ini.

Antara takut, ragu, cemas, namun rasa penasaran mendorongku sangat kuat, sehingga aku mendobrak pintu kamar itu. Saat pintu terbuka, tubuhku seperti terdorong sampai posisi duduk di lantai. Di bawah lampu yang temeraman. Aku bisa melihat dengan jelas. Pak Wiryo tidak mengunakan pakaian sehelai pun terbaring sementara terdapat Perempuan cantik dengan kondisi yang sama. Perempuan itu beranjak turun dari tubuh Pak Wiryo sembari menatapku datar dengan sinar merah yang menyala. Meski tanpa busana, perempuann itu masih menggunakan mahkota khas kerajaan zaman dahulu. Bau busuk menyeruak menusuk hidung .

Dia berhenti di hadapanku. dia mengulurkan tangan dimana jari-jari dikukunya mendadak berubah sangat panjang. Lalu entah kenapa aku merasakan sakit di kedua mataku dan tidak ingat apa-apa lagi.

***

Aku terbangun saat merasakan benturan mobil yang mengenai jalan yang berlubang. Aku membuka mata. Namun, semuanya terasa gelap. Dengan posisi tangan yang diikat. Sepertinya Aku berada di jok belakang mobil. Samar-samar aku mendengar suara Pak Wiryo sedang berbicara dengan dua orang yang asing.

"Goblok kamu! kenapa kamu tidak menyuruh bodyguardku untuk menjaga rumahmu kalau kamu sedang melakukan ritual? Kalau kayak gini Bunda Ratu bisa murka!" pekik wanita parubaya yang duduk di jok tengah.

"Iya, Maafkan aku. aku pikir mereka tidak perlu ada di tempat selama aku melakukan rirual, jadinya aku suruh mereka pergi."

"Terus, apa yang kamu lakukan dengan anak ini?" sahut seorang lelaki dengan suara bass, khas pemuda seusiaku yang duduk disebelah wanita itu. Pasti anak yang dimaksud adalah aku.

"Lah itulah kabar baiknya, sebenarnya anak ini sudah menjadi incaran Bunda Ratu sejak lama. dia menginginkan perjaka yang lahir hari selasa kliwon. Dan kebetulan dia sedang melakukan karantina dirumahku. Tapi sialnya, setiap kali mau mengambil sukmanya pasti ada saja penghalang, aku curiga dengan kalung yang di pakainya itu. Tadi malam justru dia yang datang sendiri ke rumah. Bunda ratu juga sudah membutakan matanya sampai nanti dia ditumbalkan."

Aku tercekat. Beberapa kali aku mencoba mengedipkan mata, hanya kegelapan saja yang terlihat. Ini pasti kejadian yang semalam. Siapa Bunda Ratu yang dimaksud? Apakah wanita yang bersama Pak Wiryo semalam?

Pikiranku terpusat, mencoba memanggil jin penunggu kalung ini. Biasanya dia selalu datang di situasi genting tetapi kali ini dia tak jua muncul . Ada apa gerangan? Aku kembali memejamkan mata sampai dahi berkerut sembari terus menyebutnya, hasilnya nihil.

Terlintas pesannya semalam, pesan yang aku abaikan. Aku berdecak kesal, Seandainya aku menuruti perkataan kakek itu dan tidak nekad pasti aku tidak seperti ini. Kini hanya rasa penyesalan yang ada.

Deru motor semakin berat tatkala melewati tanjakan. Tidak sekali dua kali tetapi sering. Suasana yang ramai akan kendaraan di jalan raya berganti dengan jalanan yang sepi. Lalu melewati jalanan yang aspal yang rusak atau belum diaspal aku tidak tahu pasti. Jalan ini tentu jalan rahasia yang hanya orang tertentu yang melewatinya.

Cukup lama mobil melewati jalan yang rusak itu sampai akhirnya berhenti. Terdengar pintu terbuka dan langkah kaki menuju belakang. Ketika pintu belakang mobil di buka, seseorang membentakku sembari menggulurkan kakinya menendang-nendang tubuhku.

"Heh, bangun kamu!"

Aku yang sebenarnya sudah bangun, berpura-pura menggeliat. Kemudian dengan tertatih aku mencoba keluar dari mobil itu.

"Ayo jalan!" Pria itu mendorongku, aku membungkuk dan berjalan meski kesulitan. Sementara, Pak Wiryo dan Wanita tadi berjalan ke di depanku, aku bisa mendengar suara mereka berbincang-bincang.

Sepanjang perjalanan, lelaki di belakangku itu terus saja membentakku, menganggapku layaknya pesakitan. Rasanya jengkel juga. Iseng aku menekuk kakiku kebelakang dan menendang sesuatu yang vital darinya.

"Aduh, Sialan kamu, kenapa kamu menendang anuku." Dia merintih kesakitan, membuatku tertawa geli.

"Hei, Gus kamu kenapa?" tanya Pak Wiryo keheranan.

"Kamu harus hati-hati yang menjaga anak itu. Dia adalah aset supaya kekayaan kita berlipat-lipat. Jangan apa-apain dia, aku tidak mau melihat Bunda Ratu murka jika sampai dia terluka. Kamu mau enggak beli mobil baru?"

"Baik Buk." Sahut lelaki itu menurut kepada wanita tadi. Rupanya mereka adalah ibu dan anak. Lelaki itu menggerutu kesal, karena tidak bisa membalas keisenganku.

"Awas ya kamu."

Mungkin lelaki itu masih dibawahku, menilik tingkahnya yang kekanak-kanankan. Meski saat ini aku tidak bisa melihat tetapi aku bisa tahu posisinya dari suaranya Sepanjang perjalanan aku terus mengusilinya dengan mengarahkan kakiku ke belakang hingga mengenai kakinya. Dia menggerutu tidak karuan . Sampai tiba-tiba dia berhenti, terdengar lelaki itu berucap.

"Puas-puasin kamu mengusiliku. setelah itu kamu akan di tumbalkan, hahahaha ."

Aku pun berbalik arah, "Dasar pengikut iblis! Kenapa enggak kamu saja yang ditumbalkan hah!"

Duih.

Ada sebuah cairan yang melesat di wajahku. Ludah. Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Aku kembali mengarahkan kakiku hingga tepat mengenai perutnya. Dia berang lalu mendorongku sampai aku tidak menyadari bahwa tanah di sebelah kananku miring, aku pun guling-guling, sampai teriakanku tidak terdengar di dasar jurang.